Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 33 Menyalakan Lilin Di tengah Luka
Tiga bulan telah berlalu sejak sidang itu berakhir. Langit di atas Rumah Cahaya Aira tampak cerah, meski hari itu hujan turun rintik-rintik. Di halaman depan, kursi dan meja kayu ditata rapi. Hari ini adalah hari yang istimewa.
Rumah Cahaya Aira yang selama ini hanya dikenal di kalangan komunitas penyintas resmi menjadi yayasan perlindungan dan pemulihan perempuan. Bukan hanya untuk Aira, tapi untuk semua perempuan yang pernah terdiam karena luka.
Aira berdiri di depan podium kecil yang dibangun dari barang bekas:
kayu palet, papan tulis lusuh yang kini dicat warna pastel, dan pot-pot kecil hasil karya tangan para penghuni rumah aman.
Santi ada di sampingnya, memegang lilin besar yang nanti akan dinyalakan sebagai simbol perjuangan.
Di hadapan mereka, hadir puluhan tamu: relawan, LSM, jurnalis, penyintas dari berbagai kota, serta dua orang perempuan muda yang datang langsung dari luar provinsi setelah membaca blog Aira.
“Rumah ini dulunya sunyi,” ucap Aira perlahan.
“Tapi kini, ia punya suara. Dan suara itu berasal dari luka-luka yang dulu kami pendam dalam diam.”
Ia melanjutkan pidatonya. Tapi ini bukan pidato biasa. Ini adalah surat terbuka untuk semua perempuan yang masih berada dalam kekerasan, dalam keraguan, dalam ketakutan:
“Untukmu yang masih terperangkap, aku tahu rasanya. Rasanya seperti hidup dalam bayangan yang panjang, yang tak pernah selesai.
Rasanya seperti ingin berteriak, tapi suaramu tak punya tempat. Tapi aku ingin kau tahu:
luka yang kamu miliki, bukan aib. Bukan kelemahan.
Luka itu adalah bukti bahwa kamu bertahan, bahwa kamu masih hidup.”
“Dan ketika kamu siap, kamu bisa berjalan keluar. Tak perlu langsung berlari. Tak perlu
langsung kuat. Cukup satu langkah menuju dirimu sendiri.”
“Rumah ini akan selalu ada. Bukan untuk menghakimimu. Tapi untuk memelukmu. Untuk menyambutmu. Untuk menyalakan lilin di tengah lukamu.”
Setelah membaca surat itu, Aira menyalakan lilin besar yang dipegang oleh Santi. Perlahan
seluruh hadirin menyalakan lilin kecil masing-masing. Satu per satu api itu menyala.
Halaman rumah itu berubah menjadi lautan cahaya kecil. Dan di tengahnya, Aira berdiri dengan mata berkaca-kaca.
Bukan karena sedih. Tapi karena bahagia melihat cahayanya menyebar.
Malam harinya, ketika semua sudah tenang, Aira kembali ke ruang kerjanya.
Di atas meja, tergeletak naskah buku pertamanya
“Rumah dari Luka, Dinding dari Doa.”
Seorang editor dari penerbit besar sudah menghubunginya untuk membicarakan kontrak cetak dan distribusi.
Aira tersenyum kecil.
“Dulu aku menulis untuk menyembuhkan.
Sekarang aku menulis untuk menguatkan.”
Ia menatap keluar jendela. Hujan telah reda. Bintang-bintang perlahan muncul di langit.
Dan dalam diamnya, ia tahu:
Perjalanan ini belum selesai. Tapi luka itu kini telah bersuara.
Suara yang Tak Pernah Terdengar.
Satu sore yang biasa, Aira duduk sendirian di kafe kecil dekat Rumah Cahaya Aira.
Ia baru saja selesai meeting dengan editor bukunya yang kini sudah memasuki proses cetak massal. Hujan turun pelan.
Aira mengenakan sweater abu-abu dan syal rajut pemberian Santi.
Seorang perempuan muda masuk. Usianya sekitar 24 tahun, mengenakan hoodie hitam dan kacamata besar.
Ia menoleh ke arah Aira , lalu diam di tempat. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aira menatapnya heran.
“Kamu… butuh sesuatu?”
tanyanya pelan.
Perempuan itu hanya mengangguk pelan, lalu berjalan menghampiri.
“Maaf… Saya enggak tahu harus mulai dari mana,” katanya terbataterbata bata.
“Tapi… aku udah lama nunggu momen ini.”
Ia duduk. Tangannya gemetar, memegang sebuah buku lusuh dengan judul yang sangat dikenali Aira.
“Rumah dari Luka, Dinding dari Doa.”
Namun ini versi cetakan awal yang terbatas.
“Aku nemu tulisan Kakak waktu malam-malam aku mau mati,”
ucap perempuan itu, menunduk.
Aira terdiam.
“Waktu itu aku udah nulis pesan terakhir di HP. Aku udah enggak tahan, Kak.
Di rumah… aku cuma dianggap beban.
Pacarku manipulatif banget, sampai aku percaya aku enggak punya arti.
Tapi pas iseng buka blog dan ketemu tulisan Kakak…
tulisan yang bilang
‘Suara perempuan itu penting, bahkan kalau dia hanya berbisik pada dirinya sendiri.’”
Perempuan itu menangis.
“Aku tutup HP. Aku hapus pesan terakhirku. Dan sejak itu, aku mulai cari tahu soal Rumah Cahaya Aira.
Kakak nggak tahu… tapi Kakak nyelametin aku. Diam-diam. Tanpa sadar.”
Aira menahan napas. Air matanya mengalir pelan.
Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu… momen ini adalah bukti bahwa benih yang ia tabur dengan luka, benar-benar tumbuh menjadi kehidupan untuk orang lain.
Aira menggenggam tangan gadis itu. Hangat. Penuh empati.
“Kamu punya nama?”
“Dina.”
“Dina... sekarang kamu tidak sendiri.”
Beberapa minggu kemudian, Dina bergabung menjadi sukarelawan.
Ia membantu mengelola email komunitas, memfilter pesan masuk dari para penyintas, dan bahkan mulai menulis kisahnya sendiri dengan nama pena yang belum ingin ia ungkapkan.
Aira hanya tersenyum setiap kali melihat Dina sibuk mengetik, menyeduh teh untuk para tamu, atau berdiri di depan kelas literasi sambil memberi semangat.
Karena kadang… orang yang kita bantu
diam-diam, justru datang membawa cahaya yang kita butuhkan untuk terus berjalan.
Dan dalam hati Aira, ada satu bisikan yang kini ia yakini sepenuh hati:
"Aku selamat... dan kini aku hidup untuk menyelamatkan."
Dina datang ke Rumah Cahaya Aira untuk pertama kalinya di hari Jumat sore.
Langit mendung, dan gerimis turun ringan seperti menyambut kedatangannya.
Ia memeluk ransel kecil yang hanya berisi tiga baju ganti, satu buku harian, dan dompet berisi uang 75 ribu rupiah.
Aira menyambutnya di teras dengan payung biru. Tak banyak bicara.
Hanya pelukan hangat dan kalimat sederhana,
“Selamat datang di rumah yang tidak akan membuatmu merasa salah karena ingin bahagia.”
Dina menangis saat itu juga. Bukan karena sedih tapi karena akhirnya ia merasa diizinkan untuk bernapas.
Hari-hari berikutnya menjadi titik balik bagi Dina. Awalnya ia hanya diam, tidak bicara banyak. Tapi tiap pagi, Aira menyapa tanpa memaksa,
“Mau bantu cuci gelas?” atau “Kita bikin poster bareng, ya?” hingga perlahan, Dina membuka dirinya.
Suatu malam, di ruang tengah, Aira menemukan Dina duduk sendirian sambil mengetik sesuatu di ponselnya.
Saat Aira mendekat, Dina menyembunyikan layar ponselnya sambil tersenyum malu.
“Aku lagi nulis...,”
“Tentang... aku sendiri.
Tapi fiksi. Biar nggak terlalu berat.”
Aira tersenyum lebar...
“Kamu tahu, menulis fiksi dari luka itu cara paling indah menyembuhkan. Aku dulu juga begitu.”
Dina menatap Aira, penuh harapan.
“Boleh aku kirim naskahku buat dibaca, Kak?”
“Kirimin. Aku tunggu.”
Beberapa minggu kemudian, tulisan Dina pertama kali dimuat di platform kecil.
Komentar pertamanya dari seorang perempuan remaja:
“Cerita ini bikin aku sadar kalau aku nggak harus terus kuat sendirian.”
Dina menangis membaca komentar itu. Aira memeluknya.
“Kamu lihat, Din? Suara kamu didengar.”
Dan sejak hari itu, Dina menjadi api kecil yang menyala terang, membantu mengelola media sosial komunitas, mengangkat kisah-kisah inspiratif, hingga suatu saat tanpa diduga ia mewakili Rumah Cahaya Aira untuk tampil dalam seminar nasional tentang penyintas dan literasi.
Dalam pidatonya, Dina berdiri di atas panggung dengan suara sedikit bergetar.
“Saya bukan siapa-siapa. Tapi dulu, saya pernah ingin mati.
Lalu saya membaca tulisan seseorang yang saya tak kenal.
Saya tidak tahu wajahnya, tapi suaranya menyentuh luka saya.
Dan hari ini… saya berdiri di sini karena tulisan itu.
Dan karena seseorang yang menyalakan lilin di tengah luka bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk saya.”
Di barisan belakang, Aira mendengarnya dengan mata basah. Kali ini, bukan dia yang bicara,tapi suara yang pernah ia selamatkan, kini mulai menyelamatkan yang lain.