NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Guru Baru

Istri Rahasia Guru Baru

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cinta Seiring Waktu / Idola sekolah / Pernikahan rahasia
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: ijah hodijah

Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.

Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.

Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?


Baca selengkapnya hanya di NovelToon

IG: Ijahkhadijah92

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MANTAN

Emily masih berdiri beberapa langkah di belakang Haidar, yang tetap mematung di depan jendela. Tadi suasana tegang, sekarang berubah jadi… aneh. Bukan marah, bukan juga romantis. Tapi hening. Dan canggung.

“Eh… jadi…” Emily berdehem pelan, mencoba memecah keheningan. “Bapak... suka saya beneran? Atau tadi cuma... kalimat sambil emosi?”

Haidar tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu sedikit, masih dengan punggung menghadap Emily.

“Gak tahu juga. Tapi yang jelas, aku kesel. Dan aku gak suka kesel kalau gak ada alasannya.”

Emily menggigit bibirnya. Ia maju dua langkah, lalu berhenti lagi. Suasana makin aneh. Matanya melirik pintu, seolah pengin kabur tapi kakinya ogah gerak.

“Wah, wah… serem banget, nih. Bapak yang biasanya datar banget sekarang bisa ngomong kayak gitu.” Emily nyengir kaku. “Bapak... demam, ya?”

“Emily…” suara Haidar terdengar parau.

“Iya, iya. Maaf. Saya tahu saya bar-bar. Tapi Bapak juga tadi cemberutnya mirip ayam kehilangan jagung. Eh—” Emily buru-buru menutup mulutnya sendiri. “Lupakan kata-kata barusan.”

Haidar akhirnya menoleh perlahan. Tatapan mereka bertemu. Tapi tak ada yang bicara. Dua-duanya hanya saling menatap... awkward maksimal.

Emily akhirnya bersandar ke dinding, menatap langit-langit. “Bapak gak ngerasa ini… aneh? Kita nikah, satu rumah, satu kamar, tapi kayak… gak tahu harus ngomong apa.”

“Aneh banget,” sahut Haidar, duduk di sisi ranjang, mengusap rambutnya. “Kadang aku lupa kalau kita udah nikah.”

“Sama. Saya juga. Bahkan saya masih suka ngira ini cuma pura-pura.”

Hening lagi.

Emily menatap Haidar dari samping. Haidar menunduk, menggoyangkan kakinya. Emily tiba-tiba mendekat dan duduk di lantai, bersandar ke ranjang dekat kaki Haidar.

“Pak…” katanya pelan.

“Hmm?”

“Kalau suatu hari nanti... kita beneran saling suka, Bapak bakal seriusin?”

Haidar menunduk menatapnya. Tak ada jawaban langsung. Lalu ia mengangguk pelan.

“Kalau sampai hari itu datang, iya. Aku bakal serius. Tapi untuk sekarang... kita jalanin aja.”

Emily mengangguk. Lalu buru-buru berdiri.

“Oke, cukup awkward-nya. Saya mandi dulu! Takut kebaperan, nanti meleleh kayak lilin.” katanya sambil lari ke kamar mandi.

Haidar hanya menggeleng pelan. Tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Dasar istri bar-bar…”

***

Malam harinya

Lampu kamar sudah redup. Hanya ada cahaya lembut dari lampu meja di pojok ruangan. Suasana terasa tenang. Tapi hati Emily dan Haidar justru sebaliknya—tidak tenang sama sekali.

Mereka duduk bersisian di ranjang. Haidar bersandar santai sambil memainkan ponsel, sedangkan Emily duduk bersila, memeluk bantal di pangkuannya.

“Pak…” panggil Emily pelan.

Haidar melirik. “Hmm?”

“Saya... mau minta satu hal. Dan tolong jangan tersinggung.”

“Oke?” Haidar meletakkan ponselnya. Kini ia fokus menatap Emily.

“Jangan sentuh saya dulu. Sampai saya lulus.” Suaranya lirih, tapi tegas.

Haidar mengerutkan kening. “Kenapa?”

Emily menunduk, memeluk bantalnya lebih erat. “Soal sore tadi... waktu bapak bilang ‘kita jalanin dulu’. Kata-kata itu kayak… kayak aku ini percobaan. Sementara.”

Haidar terdiam. Sorot matanya berubah.

“Saya takut gak kuat kalau ternyata saya berharap lebih tapi bapak ternyata gak benar-benar mau. Saya gak mau ngerasa dimanfaatkan. Jadi, lebih baik… kita jaga batas.”

Beberapa detik Haidar tak berkata-kata. Lalu ia menghela napas dalam.

“Emily…”

“Iya, saya tahu. Mungkin saya terlalu sensitif. Tapi saya cuma butuh waktu buat ngerasa aman.”

“Aku ngerti,” ucap Haidar akhirnya. “Aku gak akan maksa. Maaf kalau ucapanku tadi bikin kamu merasa kayak gitu.”

Emily mengangguk. Suasana jadi hening. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang... tenang. Nyaman.

Beberapa menit kemudian, mereka malah mulai bercanda kecil.

“Eh, Pak. Bayangin, nanti kalau saya udah lulus, kita honeymoon-nya ke mana?” tanya Emily sambil menggoda.

“Hmm… mungkin ke pantai. Biar kamu bisa lihat aku pake kemeja hawaiian bunga-bunga.”

“Ew! Tolong banget jangan. Nanti aku kabur.”

“Loh, kenapa? Kemeja hawaiian tuh romantis.”

“Romantis dari Hong Kong!” Emily tertawa kecil, menyandarkan kepalanya ke bantal.

Haidar tertawa pelan, lalu pelan-pelan mendekat. “Tapi kan... aku bisa romantis juga kalau mau.” bisiknya.

Emily menoleh. Bibir mereka nyaris bersentuhan. Sejenak, keduanya larut. Haidar menatap mata Emily lekat-lekat, lalu tanpa berpikir panjang, ia mencium bibir Emily—perlahan, hangat, dan penuh perasaan.

Emily sempat terdiam. Tapi ia membalas. Hanya sekejap, lalu kembali terlarut.

Tangan Haidar bergerak naik, menyentuh pundak Emily, lalu semakin turun... hingga menyentuh bagian dadanya.

Seketika itu juga Emily tersadar.

“Pak!” Emily menepis tangan Haidar. Nafasnya memburu.

Haidar langsung tertegun, wajahnya berubah panik.

“Maaf… aku…”

Emily menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia menggeser duduknya menjauh dari Haidar.

“Saya udah bilang, kan? Jangan sampai kita keterusan.” suaranya bergetar, antara marah dan kecewa. “Kalau bapak gak bisa nahan diri, lebih baik kita pisah kamar.”

Haidar menunduk. Bukan karena malu... tapi karena hatinya remuk sedikit demi sedikit. Ia tahu Emily benar. Tapi ia juga baru menyadari—ia tak sebodoh itu untuk mengabaikan perasaannya sendiri. Mungkin... ia memang mulai menyukai Emily lebih dari sekadar formalitas pernikahan.

“Maaf,” ulang Haidar pelan. “Aku gak akan ulangi.”

Emily tak menjawab. Ia hanya beringsut ke sisi ranjang, membelakangi Haidar dan menarik selimutnya tinggi-tinggi.

Hening kembali menyelimuti kamar. Tapi kali ini, hening yang menggigit.

***

Suara salawatan terdengar pelan di luar sana. Udara kamar terasa sejuk, wangi tubuh Emily dan aroma sabun mandi Haidar bercampur dalam selimut yang mereka bagi berdua.

Haidar perlahan membuka mata. Dan yang pertama kali dilihatnya adalah Emily—dalam jarak yang sangat dekat. Kepalanya bersandar di dada Haidar, satu tangannya melingkar di pinggang suaminya itu, napasnya teratur dan damai.

Sekilas, Haidar ingin bergeser, tapi urung. Ia malah terdiam menatap wajah Emily yang tertidur pulas. Tanpa make up. Tanpa polesan. Tapi ada sesuatu di wajah itu yang entah kenapa... membuatnya betah menatap.

Cantik itu relatif, pikir Haidar. Tapi Emily... seperti punya daya tarik yang tak bisa dinalar.

Pelan-pelan, Haidar mendekatkan wajahnya. Ia menatap bibir Emily. Dan tanpa banyak berpikir, ia mencivm bibir itu—lembut, perlahan, seakan menyapa pagi lewat rasa yang terpendam.

Emily mengerutkan alis, tapi tidak membuka mata. Tubuhnya menggeliat sedikit, tapi tak melepas pelukannya. Ia seperti sedang bermimpi indah… dan dalam mimpinya, ia membalas c1uman itu dengan manja.

Civman mereka bertahan lebih lama dari seharusnya. Bibir yang saling mencari, saling menjawab, seperti tak ingin berpisah.

Sampai akhirnya Haidar sadar saat Emily terlihat kehabisan napas. Ia segera menarik diri, menatap istrinya dengan perasaan campur aduk.

“Maaf…” gumamnya lirih. “Aku kembali sulit mengontrol.”

Ia mengusap wajahnya sendiri, mencoba menahan gejolak yang kembali menyerangnya. Haidar menunduk, memandangi Emily yang masih tertidur di pelukannya. Atau mungkin… pura-pura tidur?

Pakaian tidur Emily yang tipis dan seringkali tidak sengaja tersingkap, hanya membuat segalanya lebih sulit bagi seorang laki-laki normal sepertinya. Dan Haidar tahu—dia masih manusia biasa, yang bisa tergoda.

Tiba-tiba, Emily bergumam. Suaranya pelan… nyaris tak terdengar.

“Saya takut hamil.”

Haidar menegang. Ia menoleh. Emily masih memejamkan mata. Tapi tidak melepas pelukannya. Bahkan, tubuhnya semakin menempel pada Haidar.

“Emily…”

“Saya tahu bapak gak jahat. Tapi saya belum siap kalau harus punya anak sekarang. Saya takut. Saya belum lulus sekolah. Belum selesai merdeka.”

Suara itu masih lirih, masih dari balik mata yang terpejam. Tapi terasa jujur. Terasa dalam.

Haidar menatapnya lekat-lekat. Ia mengusap kepala Emily perlahan.

“Aku ngerti. Kita gak akan melangkah sejauh itu… kalau kamu belum siap.” bisiknya. “Tapi jujur, kadang aku bingung. Aku gak tahu harus bersikap seperti apa di antara status kita.”

Emily membuka matanya sedikit, menatap Haidar dari bawah bulu matanya yang lentik.

“Kita suami istri. Tapi berasa kayak dua orang asing yang tidur sekasur.”

“Setidaknya saya gak tidur sama orang yang bikin saya ilfeel.” Emily menjawab sambil menyeringai kecil, menahan canggung.

Haidar tersenyum tipis. “Itu artinya… aku nggak terlalu buruk di mata kamu?”

“Belum terlalu.” Emily mengedip sebelah matanya, lalu menarik selimut menutupi wajahnya sendiri, sembunyi.

Haidar terkekeh. Tapi hatinya… entah kenapa lebih hangat dari biasanya.

Mereka belum saling mencintai sepenuhnya. Tapi sepertinya... mereka sudah mulai belajar mencintai.

"Jangan bikin aku gemas, takut gak bisa kontrol lagi," ucap Haidar.

"Wew... Harus bisa." Emily memeletkan lidahnya. Kemudian ia menyibakkan selimutnya. Dan...

"Aaaa!"

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!