Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Kegelapan Tiara dan Cahaya Alea
Kekalahan telak di kantin sekolah meninggalkan luka yang menganga di hati Tiara. Amarahnya membara, bercampur dengan rasa malu dan frustrasi yang tak tertahankan. Alea yang dulu lemah dan penurut kini telah berubah menjadi sosok yang dingin, tajam, dan tak tersentuh. Setiap upaya Tiara untuk memprovokasi selalu berbalik menghantamnya, membuat ia semakin geram. David dan Devan pun merasakan hal yang sama, kebencian mereka pada Alea semakin dalam, namun mereka tak berdaya. Kevin, kakak sulung mereka, hanya sesekali melirik Alea dengan tatapan rumit, tak lagi ikut campur dalam bullying terang-terangan, namun tak juga membela. Hanya terkadang Kevin datang diam-diam ke sekolah hanya untuk melihat Alea.
Malam itu, di kamar mewahnya di rumah Richard Amstrong, Tiara mondar-mandir gelisah, ponselnya menempel di telinga. Wajahnya ditekuk dalam kemarahan yang membabi buta. "Aku tidak peduli! Aku ingin dia hancur! Sehancur-hancurnya sampai dia tidak bisa lagi melihat matahari!" desis Tiara, suaranya sarat kebencian. "Aku sudah muak dengan tingkah sok sucinya itu! Dia harus merasakan bagaimana rasanya menjadi sampah yang diinjak-injak!"
Ia terus berbicara di telepon, memberikan instruksi dengan nada yang semakin rendah dan kejam. "Aku ingin kalian memberinya pelajaran yang tidak akan pernah dia lupakan. Buat dia menyesal telah dilahirkan! Pokoknya, buat dia tidak bisa lagi mengangkat kepalanya di depan umum. Dan jangan sampai ada jejak yang mengarah padaku! Bahkan jika kalian harus memperkosanya secara bergiliran, lakukan saja! Aku ingin dia trauma seumur hidupnya!"
Di seberang telepon, suara serak menyanggupi dengan antusias. Tiara memutuskan panggilan, napasnya terengah-engah. Seringai dingin dan mengerikan terukir di bibirnya. Ia membayangkan wajah Alea yang berlinang air mata, memohon ampun, dan itu memberinya kepuasan yang brutal. "Rasakan itu, Alea! Kau pikir kau bisa lolos begitu saja setelah mempermalukanku?! Ini baru permulaan nerakamu!"
Sementara itu, di kediaman keluarga Dirgantara, suasana jauh berbeda. Axel, dibantu oleh Jonathan, Dion, Jeremy, Thomas, Arya, Putra, Michael, dan Jordan, serta yang paling penting, para Mommy dan Daddy dari keluarga Dirgantara, sedang sibuk mempersiapkan kejutan besar untuk ulang tahun Alea yang ke-15. Pesta itu akan diadakan di salah satu hotel bintang lima paling mewah di kota, yaitu hotel milik keluarga Jeremy, dan semua persiapan dilakukan di bawah kedok "dinner perusahaan keluarga Dirgantara."
Indira dan Harun Dirgantara, bersama dengan orang tua dari geng Axel, dan Arman yang mewakili Alexander untuk urusan publik, bekerja sama dengan antusias. Mereka ingin memberikan yang terbaik untuk Alea, gadis yang telah melewati begitu banyak kesulitan dan kini mulai menunjukkan sisi kuatnya.
"Axel, kau yakin Alea tidak akan curiga?" tanya Mommy Indira, menata bunga casablanca putih yang elegan di tengah meja buffet. "Ini sudah seperti acara besar perusahaan sungguhan. Terlalu mewah untuk sekadar 'dinner keluarga besar'."
Axel tersenyum penuh rahasia. "Tidak akan, Mom. Aku bilang ini adalah makan malam keluarga besar untuk merayakan kesuksesan Daddy dan Om Arman. Dia pasti percaya. Lagipula, dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri di sekolah. Dia tidak akan sempat memikirkan hal lain."
"Betul tuh, Tante," timpal Jeremy sambil meniup beberapa balon perak. "Alea itu fokusnya kalau sudah soal sesuatu, bisa lupa dunia."
Arman, yang sedang memeriksa daftar tamu undangan di tabletnya, tersenyum tipis. "Rencana ini sempurna, Axel. Dan bagian konferensi persnya, itu akan menjadi kejutan terbesar yang mengguncang banyak pihak. Dunia akan tahu siapa Alea yang sebenarnya, tanpa mengungkapkan terlalu banyak detail. Ini akan menjadi deklarasi yang kuat."
"Aku tidak sabar melihat wajah Alea saat dia tahu ini semua untuknya," kata Axel, matanya berbinar-binar seperti anak kecil. Ia sudah menyiapkan hadiah spesial yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati, sesuatu yang sangat personal dan penuh makna.
"Hadiahmu sudah aman, Bro?" tanya Dion sambil membantu memasang backdrop berpayet emas.
"Aman! Jauh lebih aman daripada rahasia negara," jawab Axel, mengedipkan mata. "Aku ingin dia tahu betapa dia berharga bagiku, setelah semua yang dia lalui. Bukan hanya sebagai pasanganku, tapi sebagai dirinya sendiri."
"Wih, penasaran nih!" seru Michael, tangannya berlumuran pita. "Pasti mahal banget ya?"
"Bukan soal harga," kata Axel serius, tatapannya melembut. "Tapi soal makna. Aku ingin dia tahu, betapa aku bersyukur dia ada di sisiku, setelah semua yang terjadi. Dia pantas mendapatkan lebih dari ini."
Jordan, yang biasanya pendiam, menatap Axel dengan senyum tipis. "Kau benar-benar mencintainya, ya, Bro. Cinta mati."
Axel mengangguk, tanpa ragu. "Sangat. Dia segalanya bagiku. Dan aku akan melakukan apa saja untuk melindunginya, dan membuatnya bahagia. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh dan menyakitinya lagi."
Mereka terus berdiskusi, merencanakan setiap detail, mulai dari dekorasi, hidangan istimewa, daftar tamu yang mencapai ratusan orang dari kalangan atas, hingga timeline acara. Semuanya harus sempurna untuk Alea, sang ratu di hati Axel, yang sebentar lagi akan diakui secara tak terduga. Di tengah semua intrik dan balas dendam yang sedang berlangsung, persiapan ulang tahun ini menjadi oasis kehangatan, pengingat bahwa ada cinta dan kebahagiaan yang juga tumbuh subur di antara mereka.
Malam yang ditunggu-tunggu tiba. Hotel milik keluarga Jeremy, sebuah properti bintang lima termewah di kota, bersinar terang. Seluruh area grand ballroom telah diubah menjadi sebuah mahakarya elegan yang didominasi warna perak dan emas, serta aroma hidangan mewah yang menguar dari buffet panjang. Para tamu undangan, yang terdiri dari kolega bisnis kelas atas, kerabat dekat, dan teman-teman Axel, mulai berdatangan dengan gaun dan jas terbaik mereka. Mereka semua percaya ini adalah acara makan malam perusahaan biasa.
Alea tiba bersama Axel, mengenakan gaun malam off-shoulder sederhana namun anggun berwarna dusty pink yang dipilihkan Axel. Gaun itu menonjolkan kulit putihnya dan lekuk tubuhnya yang ramping. Ia terlihat begitu cantik dan berkelas, meskipun tatapan matanya masih menyimpan ketegasan yang baru. Ia sedikit terkejut melihat kemewahan acara itu, lengkap dengan deretan mobil mewah yang mengular di valet parking, tapi ia mengira ini memang standar makan malam perusahaan keluarga Dirgantara.
"Wah, ramai sekali, Yang," bisik Alea pada Axel, matanya memindai kerumunan orang-orang penting yang hilir mudik.
"Tentu saja, Boo. Ini kan acara penting," jawab Axel, senyum misterius tak lepas dari bibirnya. Ia menggenggam tangan Alea erat, membimbingnya masuk ke dalam ballroom yang megah. Lampu kristal memancarkan kilau, memantul di lantai marmer yang mengilap. Alea mengenali beberapa wajah dari majalah bisnis dan berita utama, termasuk beberapa pejabat tinggi negara, petinggi partai, jajaran pengusaha kakap, jenderal dari angkatan darat, laut, dan udara, kepala kepolisian, serta komandan korps khusus lainnya. Tidak ketinggalan, ada juga beberapa artis dan selebriti ternama yang ikut memeriahkan suasana, berbaur dengan para pebisnis dan pengusaha sukses besar yang jumlahnya tak terhitung. Lingkaran sosial yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah ia lihat di rumah Amstrong.
Di dalam, musik klasik dari orkestra kecil mengalun lembut. Para tamu berbincang-bincang dengan gelas wine di tangan, dan di salah satu sudut, terlihat Kevin, David, Devan, Tiara, Dita, dan Sari. Wajah mereka terlihat kesal, campur terkejut, melihat kemewahan acara itu, dan terutama, melihat Alea yang kini tampak begitu berkelas di samping Axel, berinteraksi dengan para elit. Mereka tidak menyangka Alea akan muncul di acara sekaliber ini, apalagi sebagai pusat perhatian.
"Lihat itu!" desis Tiara, matanya melotot. "Si anak tak tau diri itu beraninya muncul di sini! Dia pikir dia siapa?! Paling juga cuma numpang tenar sama si Axel! Ini kan pesta 'perusahaan', kok dia bisa ada di sana?!"
"Dia datang sama keluarga Dirgantara!" sahut Dita, suaranya tertahan, menunjuk ke arah Harun dan Indira yang menyambut Alea dengan pelukan hangat. "Mereka bahkan terlihat akrab sekali dengannya!"
"Cih, dasar penjilat!" timpal Tiara sinis. "Pasti dia merayu si Axel dan keluarganya. Dasar murahan! Pesta ulang tahunku dulu juga di hotel bintang lima, tapi hanya di ruangan biasa, tidak sebesar dan semeriah ini! Ini jauh lebih mewah!"
David dan Devan hanya diam, tatapan mereka pada Alea bercampur antara kebencian, kecemburuan, dan rasa tidak percaya. Mereka melihat bagaimana Alea, adik yang mereka buang, kini berdiri di tengah lingkaran sosial yang dulunya tak terjangkau baginya, dan itu membuat perut mereka mual. Mereka merasa seolah mereka adalah pengemis yang tak diundang di pesta tersebut.
"Dia... dia terlihat berbeda," bisik Devan, nyaris tak terdengar, ketakutan mulai merayapi hatinya.
"Omong kosong! Dia tetap Alea yang dulu!" David menggeram, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun hatinya dipenuhi keraguan dan rasa terintimidasi.
Tiba-tiba, lampu di ballroom meredup. Sebuah sorotan cahaya menyorot panggung di depan. Axel menggenggam tangan Alea erat, membimbingnya perlahan ke depan panggung, membuat beberapa tamu menoleh dan berbisik penasaran.
"Selamat malam, hadirin sekalian," suara Harun Dirgantara menggema dari mikrofon, memecah bisikan dan obrolan. "Terima kasih atas kehadiran Anda semua di acara makan malam keluarga kami malam ini."
Harun melanjutkan dengan pidato singkat tentang kesuksesan perusahaan Dirgantara, menyebutkan beberapa proyek besar yang baru saja mereka selesaikan. Alea mendengarkan dengan sopan, masih belum menyadari apa yang akan terjadi. Ia mengira ini hanyalah formalitas biasa dalam acara bisnis.
Kemudian, Harun tersenyum lebar, tatapannya beralih pada Alea dan Axel di sampingnya. "Namun, malam ini, ada satu hal penting yang ingin kami rayakan dan umumkan. Bukan hanya kesuksesan bisnis, tapi juga kehadiran seseorang yang sangat berarti bagi keluarga kami. Seseorang yang telah melalui banyak hal, namun selalu berdiri tegak dengan kekuatan, ketabahan, dan kecerdasannya yang luar biasa."
Jantung Alea berdebar perlahan. Ada nada aneh dalam suara Harun, tatapan Axel yang penuh rahasia, dan kini semua mata tertuju padanya.
Axel menoleh ke Alea, senyumnya semakin lebar, matanya berkaca-kaca karena kebahagiaan yang tulus. Ia membisikkan kata-kata yang membuat dunia Alea berhenti sejenak. "Selamat ulang tahun, Boo. Ini semua untukmu, Sayang."
Mata Alea membulat sempurna. Ia menatap Axel, lalu ke Harun, dan kemudian ke seluruh ruangan. Sebuah layar besar di belakang panggung menyala, menampilkan slideshow foto-foto Alea dari masa kecilnya yang samar, hingga beberapa foto dirinya saat ini yang diambil secara candid, diiringi musik yang lebih ceria. Di atas panggung, sebuah kue ulang tahun tingkat menjulang tinggi, dihiasi angka 15 yang berkilauan, didorong ke tengah panggung.
"Ini... ini pesta ulang tahunku?" bisik Alea, suaranya bergetar antara terkejut, tak percaya, dan haru yang mendalam. Sebuah senyum tipis, murni, dan penuh kebahagiaan terukir di wajahnya. Ini adalah ulang tahun pertamanya yang dirayakan dengan megah, dengan orang-orang yang peduli padanya. Ini adalah mimpi yang tak pernah ia berani impikan.
"Tentu saja, Boo!" Axel memeluknya erat, menenggelamkan wajah Alea di bahunya sejenak. "Selamat ulang tahun yang ke-15, Sayangku. Ini semua untukmu. Kau pantas mendapatkan yang terbaik."
Air mata mulai menggenang di mata Alea, namun kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan kebahagiaan yang meluap. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan pesta ulang tahun semewah ini, apalagi setelah semua yang ia alami. Ia melihat Mommy Indira dan Daddy Harun, serta orang tua geng Axel, tersenyum hangat padanya, wajah mereka memancarkan kebanggaan. Bahkan Arman pun mengangguk padanya dengan tatapan lembut. Ini adalah hadiah terbesar yang pernah ia terima, sebuah penerimaan yang tulus.
Di sisi lain ruangan, Tiara, Kevin, David, dan Devan ternganga lebar. Rahang mereka sejatuhnya bisa menyentuh lantai. Wajah mereka pucat pasi, lebih dari sekadar marah atau cemburu. Mereka benar-benar tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Pesta ulang tahun Alea, si "anak yang seharusnya tak pernah ada" dan selalu mereka injak-injak, kini jauh lebih megah dan meriah daripada pesta ulang tahun Tiara sendiri dahulu yang "hanya" diadakan di ruangan biasa di hotel bintang lima.
"Tidak... tidak mungkin!" desis Tiara, lututnya lemas, ia hampir terjatuh jika Dita tidak menahannya. Air mata kemarahan, keputusasaan, dan rasa iri mulai menggenang di matanya. "Bagaimana bisa?! Dia... dia bukan siapa-siapa! Dia tidak pantas! Ini pasti tipuan! Dia tidak pantas mendapatkan kemewahan ini!"
Kevin, yang selama ini diam, kini menggenggam erat gelas di tangannya, buku-buku jarinya memutih. Matanya tak lepas dari Alea, ada penyesalan yang mendalam di sana, namun juga ketakutan. David dan Devan juga sama terpukulnya, kekalahan mereka terasa begitu mutlak. Mereka menyadari bahwa dunia mereka yang stabil dan penuh kekuasaan tiba-tiba bergeser drastis.
Sementara itu, di luar ballroom, Richard Amstrong, yang baru saja tiba dan mengira ini hanyalah acara makan malam bisnis biasa, melihat kerumunan wartawan dan lampu flash yang menyambar-nyambar. Ia mendengar samar-samar nama "Alea" dan "Callahan" disebutkan. Rasa curiga dan kemarahan mulai menjalar di hatinya. Ia menyangka bahwa setelah semua yang ia lakukan, Alea akan hidup sengsara dan menyesal. Namun, apa yang ia lihat dan dengar sekarang seolah menamparnya. Ini bukan kesengsaraan, ini adalah pengakuan, dan kemewahan yang jauh melebihi apa yang bisa ia berikan. Richard mengepalkan tangan, amarahnya memuncak.
Setelah momen kejutan yang mengharukan, suasana berubah menjadi lebih formal. Mikrofon-mikrofon baru dengan logo berbagai media disiapkan di depan panggung, dan sejumlah wartawan mulai mengerubungi area panggung, kamera dan ponsel siap siaga. Para kuli tinta itu tampak antusias, berbisik-bisik, dan saling berebut posisi terbaik. Ada aura antisipasi yang kuat di udara, seolah mereka tahu akan ada berita besar yang meledak malam ini.
Harun Dirgantara kembali ke mikrofon, kali ini didampingi oleh Arman. Alea berdiri di samping Axel, masih sedikit terkejut, namun kini dengan tatapan penasaran yang mendalam. Ia merasakan getaran kegembiraan di tangannya yang digenggam Axel.
"Hadirin sekalian, dan rekan-rekan media yang kami hormati," kata Harun, suaranya tegas dan jelas, menggema di seluruh ruangan. "Malam ini, kami juga ingin membuat sebuah pengumuman yang sangat penting dan bersejarah. Terkait dengan insiden yang menimpa putri kami, Alea, beberapa waktu lalu, dan untuk memastikan perlindungan serta masa depannya, kami, atas nama keluarga besar Dirgantara dan Callahan, telah mengambil keputusan besar."
Para wartawan mulai berbisik lebih kencang, pena mereka bergerak cepat di atas buku catatan. Mata mereka tertuju pada Alea, mencoba membaca ekspresinya.
"Mulai hari ini," lanjut Harun, menatap Alea dengan bangga, suaranya meninggi sedikit, "Alea akan secara resmi menggunakan nama keluarga Callahan. Ia akan dikenal sebagai Alea Callahan."
Seketika, ballroom itu meledak dalam kegaduhan yang nyaris tak terkontrol. Lampu flash kamera menyambar-nyambar seperti badai kilat, menerangi setiap sudut ruangan. Para wartawan berteriak histeris, saling berebut untuk melontarkan pertanyaan, mikrofon mereka teracung tinggi, nyaris menusuk udara.
"Nona Alea, apakah ini berarti Anda memiliki hubungan darah dengan keluarga Callahan yang selama ini tertutup? Apakah Anda adalah pewaris yang selama ini dirahasiakan?" teriak seorang wartawan, suaranya paling lantang, penuh ambisi untuk mendapatkan berita eksklusif.
"Apakah Anda adalah putri dari Tuan Alexander Callahan yang selama ini menghilang dari publik?" sambung wartawan lain, matanya berbinar ingin tahu, melihat potensi cerita yang mengguncang dunia bisnis.
"Bagaimana dengan Tuan Richard Amstrong? Apakah ini berarti Anda memutuskan hubungan dengan keluarga Amstrong secara total? Apakah ada konflik besar di baliknya yang menyebabkan perubahan nama ini?"
"Mengapa pengumuman ini dilakukan sekarang, setelah insiden penculikan yang misterius itu? Apakah ini ada kaitannya dengan kasus tersebut? Apakah Anda diculik karena identitas Callahan Anda?"
"Apa status Anda di keluarga Callahan, Nona Alea? Apakah Anda akan memegang posisi penting di perusahaan Callahan? Apakah ini pertanda merger atau akuisisi besar?"
Berondongan pertanyaan itu tak henti-hentinya, satu demi satu, memenuhi ruangan dengan antusiasme yang membara, mencerminkan rasa haus publik akan berita besar. Alea merasa sedikit terkejut dengan intensitasnya, namun ia tetap tenang, bahkan tersenyum tipis. Aura kepercayaan diri dan kekuatan memancar darinya. Axel menggenggam tangannya erat, memberikan kekuatan dan dukungan penuh, ia tahu Alea mampu menghadapi ini.
Arman maju selangkah, mengambil alih mikrofon. Suaranya terdengar tenang namun berwibawa, memancarkan aura yang mampu menenangkan kegaduhan dan menarik perhatian semua orang. "Mohon tenang, rekan-rekan media. Untuk saat ini, kami hanya bisa mengonfirmasi bahwa Nona Alea telah resmi menjadi bagian dari keluarga Callahan. Detail lebih lanjut mengenai hubungan keluarga masih bersifat pribadi dan akan kami sampaikan pada waktunya. Yang terpenting, Nona Alea kini berada di bawah perlindungan penuh keluarga Callahan, dan setiap pihak yang berani mengusik ketenangan hidupnya akan berhadapan langsung dengan kekuatan penuh keluarga kami."
"Apakah ini berarti keluarga Callahan akan mengambil alih perusahaan Amstrong, Tuan Arman? Apakah ini sinyal perang bisnis?" teriak seorang wartawan lain, suaranya penuh spekulasi liar.
Arman tersenyum tipis, senyum misterius yang menyimpan ribuan rahasia. "Itu adalah pertanyaan yang menarik. Yang bisa saya katakan adalah, keluarga Callahan selalu melindungi aset dan kepentingan mereka. Dan kami selalu memastikan keadilan ditegakkan, cepat atau lambat. Kami percaya, aset Nona Alea yang kini berada di bawah naungan keluarga Callahan jauh melampaui kekayaan yang bisa dibayangkan Tuan Richard Amstrong atau keluarganya." Kalimat terakhir Arman diucapkan dengan intonasi tenang namun penuh penekanan, sebuah peringatan terselubung.
Di sudut ruangan, Tiara, Kevin, David, dan Devan menatap adegan itu dengan mata melotot, tubuh mereka terasa beku di tempat. Wajah mereka benar-benar pucat pasi, lebih dari sekadar marah atau cemburu. Mereka mendengar setiap kata dengan jelas. Alea, gadis yang mereka anggap seharusnya tidak pernah ada dan selalu mereka injak-injak, kini bukan hanya pendamping pangeran sekolah, bukan hanya tunangan rahasia Axel, tetapi juga seorang Callahan. Nama keluarga yang jauh lebih terpandang, lebih berkuasa, dan lebih kaya raya daripada Amstrong. Nama yang mewakili kekuatan besar yang Richard bahkan tidak bisa impikan.
"Tidak... tidak mungkin!" desis Tiara, lututnya lemas, ia hampir terjatuh jika Dita tidak menahannya. Air mata kemarahan, keputusasaan, dan rasa iri mulai menggenang di matanya. "Bagaimana bisa?! Dia... dia bukan siapa-siapa! Dia tidak pantas! Ini pasti tipuan! Dia tidak pantas mendapatkan kemewahan ini! Ini pasti hasil dia menjual diri pada keluarga Callahan!"
Kevin, yang selama ini diam, kini menggenggam erat gelas di tangannya, buku-buku jarinya memutih. Matanya tak lepas dari Alea, ada penyesalan yang mendalam di sana, namun juga ketakutan akan implikasi pengumuman ini bagi keluarganya. David dan Devan juga sama terpukulnya, kekalahan mereka terasa begitu mutlak. Mereka menyadari bahwa dunia mereka yang stabil dan penuh kekuasaan tiba-tiba bergeser drastis, dan mereka berada di pihak yang kalah.
Di belakang kerumunan wartawan, Richard Amstrong, yang mendengar seluruh pengumuman itu dengan jelas, mengepalkan tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menonjol. Ia menyangka jika Alea akan hidup sengsara setelah ia 'membuangnya' dan memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya, namun ternyata semua dugaannya melesat.