Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5 Dejavu
Suara ketukan keyboard perlahan mereda. Naomi menghela napas lega, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang sedikit empuk.
Hari kerja yang panjang nyaris usai. Naomi mulai membereskan mejanya, menyusun berkas, dan mematikan monitor.
Lampu-lampu di kantor mulai redup, pertanda jam pulang telah tiba.
“Sudah mau pulang?”
Naomi menoleh. James, asisten pribadi Xander yang selalu ramah dan sigap, berdiri di ambang pintu ruangannya yang kini menyatu dengan ruangan CEO. Dia masih mengenakan setelan jas rapi, seolah energinya tak pernah habis.
Naomi mengangguk, lalu memberanikan diri bicara padanya. “James, bisakah ruangan kerjaku dipisah dari ruangan CEO?” tanya Naomi dengan suara terdengar ragu, berharap James bisa mengerti maksud di balik permintaannya.
James menyilangkan tangan di dada, matanya meneliti gerak-gerik Naomi. Ada sedikit kerutan di dahinya.
“Kenapa? Ada masalah atau kamu tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengan Xander?” tanya James terdengar penuh perhatian.
James sudah menduga jika Xander pasti sudah melakukan sesuatu pada gadis ini, membuat Naomi tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengannya.
Xander memang tidak pernah bisa ditebak, dan terkadang, tindakannya di luar batas norma. Itu bukan hal baru baginya.
“Bukan begitu, hanya saja–” Naomi tak melanjutkan ucapannya. Tidak mungkin ia mengatakan kalau Xander tadi pagi menyentuh dadanya?
Rasa malu dan harga diri mencegahnya untuk bercerita. Ia hanya bisa menunduk, menghindari tatapan James yang seolah ingin menembus pikirannya.
James menghela napas, memahami dari sorot mata Naomi bahwa ada sesuatu yang tidak beres, namun dia tidak bisa memaksanya untuk bicara
James ahu Xander bisa menjadi sangat... unik.
“Maaf, Naomi. Sebagai asisten tuan Xander, aku tidak bisa memindahkan ruanganmu tanpa seizin darinya. Itu adalah kebijakan pribadi tuan Xander. Tapi, jika kamu mengalami kesulitan atau apapun, kamu boleh berkeluh kesah padaku. Nanti, aku sampaikan pada tua Xander. Aku akan mencarikan celah untuk membantumu.” ucap James, mencoba meyakinkan, sambil menepuk pundak gadis itu dengan lembut.
Naomi menjatuhkan bahunya. Dia pikir James bisa membantunya, tapi ternyata tidak. Harapan yang sempat muncul kini pupus. Dia kembali terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman ini.
“Sudahlah. Tidak apa-apa, James. Mungkin karena aku belum terbiasa saja dengan sikap Tuan Xander yang sedikit di luar nalar,” ucap Naomi dengan wajah cemberut, mencoba menutupi kekesalannya.
Kata 'sedikit di luar nalar' adalah cara sopan untuk mengatakan 'sangat menjengkelkan'.
James terbahak. Tawanya tak bisa lagi dia tahan, memenuhi ruangan. Kali ini James yakin, Xander sudah melakukan sesuatu pada Naomi, sesuatu yang membuat gadis ini jengkel namun tidak membuatnya menyerah.
Jika dulu karyawan lain yang diperlakukan sedikit di luar nalar seperti ini oleh Xander, mereka langsung mengundurkan diri dan tidak tahan. Tapi, tidak dengan Naomi. Gadis ini unik. Dia punya daya tahan yang tak biasa.
“Mau aku antar pulang?” tanya James dengan tawanya yang masih tersisa. Dia merasa senang bisa bertemu orang yang bisa 'melawan' Xander.
“Apa tidak merepotkanmu nanti?” jawab Naomi ragu.
Kebetulan Naomi memang tidak punya uang sepeser pun sekarang, untuk sekedar naik taksi atau transportasi umum lainnya. Uang yang tadi pagi dia berikan pada Xander adalah satu-satunya uang tunai yang dia miliki.
“Tidak sama sekali. Ayo!” ajak James, senyumnya mengembang. Dia senang bisa membantu dan menjalin pertemanan baru.
“Tapi aku mau ke rumah sakit, James.” Naomi menggigit bibirnya, berharap James tidak menolak. Naomi harus menjenguk ibunya, itu prioritas utamanya setelah bekerja.
“Kemanapun tuan putri mau pergi, saya siap mengantarnya,” ucap James sambil menggoda Naomi, membungkuk sedikit seperti seorang pelayan.
“Apa-apaan kamu, James. Awas nanti ada yang salah paham,” Naomi terkekeh, ia mengikuti langkah James yang sudah lebih dulu di depannya.
Mereka berjalan menuju parkiran.
Clara yang kebetulan juga menuju ke arah yang sama, menghentikan langkahnya. Matanya menyipit melihat Naomi dan James berjalan beriringan, James bahkan membuka pintu mobil untuk Naomi.
“James dan karyawan baru itu mau kemana?” gumam Clara, bibirnya membentuk garis tipis, menyimpan rasa penasaran bercampur sedikit cemburu. Dia merasa posisi strategisnya sebagai karyawan teladan Xander kini terancam.
—
“Terima kasih sudah mengantarku, James.” Naomi turun dari mobil dengan wajah tampak lega.
Dia menatap gedung rumah sakit yang menjulang tinggi di depannya. Begitupun dengan James, menghampiri Naomi dan berdiri di sampingnya.
“Apa aku perlu masuk juga?” tanya pria itu, menoleh ke arah lobi rumah sakit. Dia ingin memastikan Naomi aman.
“Hei, tidak perlu. Kamu pasti sibuk, bukan?” Naomi menolak dengan halus. “Lagipula, ini cuma kunjungan rutin. Jangan sampai aku merepotkanmu terus.”
“Ya begitulah. Menjadi asisten Xander membuatku tidak bisa mengencani wanita dengan benar,” ucap James, dengan nada dibuat-buat sedih. Dia mengedipkan mata pada Naomi. “Masuklah, aku akan segera pergi. Semoga ibumu lekas sembuh.”
Naomi melambaikan tangan saat mobil James meninggalkan area rumah sakit. Dia menghela napas panjang, lalu masuk ke menuju lobi.
Naomi berjalan menelusuri lorong rumah sakit yang sepi, pikirannya kembali berputar pada kejadian memalukan di kantor tadi. Sentuhan Xander di dadanya... pertanyaan tentang keperawanannya... dan kontrak jebakan itu.
Semuanya terasa begitu nyata, membuat hatinya dipenuhi amarah.
“Argh, memalukan sekali!” Naomi mengacak-acak rambutnya frustasi. “Sialan Xander itu!”
“Xander Frederick, lihat saja jika kamu berani melakukan itu lagi. Aku akan menghabisimu, dasar b4jingan mezum!” ia bersumpah dalam hati.
Tanpa sengaja, karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang berkecamuk, Naomi menabrak seseorang. Tubuhnya sedikit terhuyung.
Naomi lalu menyentuh keningnya yang terasa sakit. Dia mendongak dengan mata terpejam.
“Apa aku baru saja menabrak tembok? Keras sekali,” gumamnya pelan, masih setengah sadar.
“Maafkan aku, Nona manis. Apa kamu baik-baik saja?” tanya pria itu. Suaranya terdengar dalam dan menenangkan, seperti melodi yang menyejukkan.
“Tidak, Tuan, ini salahku. Aku yang seharusnya minta maaf.” Naomi membuka mata, hendak meminta maaf lebih jauh.
Naomi kaget saat menatap pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.
Seorang pria tampan berdiri di hadapannya. Wajah pria itu seperti pahatan dewa, sempurna tanpa cela. Rahang tegas, hidung mancung, bibir penuh yang sedikit menyunggingkan senyum tipis, dan mata tajam yang menatapnya intens, seolah membaca setiap detail di jiwanya. Aura karismatik memancar kuat dari dirinya.
“Oh my God! Apa dia seorang malaikat? Dia sangat tampan dan rasanya aku ingin pingsan,” gumam Naomi dalam hatinya. Dia terpukau.
Ini adalah ketampanan yang berbeda dari Xander, lebih lembut, namun tetap memikat.
“Tapi tunggu, kenapa aku seperti pernah ditatap seperti ini sebelumnya?” Naomi meneguk ludahnya susah payah.
Tatapan yang sama, mirip sekali dengan Xander. Sorot mata yang tajam, dingin, namun entah mengapa, terasa ada kehangatan tersembunyi. Seolah ia sedang melihat Xander, namun dalam versi yang sedikit berbeda, lebih tenang, lebih dewasa, dan memancarkan aura yang berbeda.
“Dia siapa?” lirihnya.
Jantung Naomi berdegup kencang, firasat aneh menyelimuti dirinya. Siapakah pria ini? Dan mengapa dia begitu mirip dengan Xander?