NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:481
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4: Keluarga Park

“Akhhh, hyung! Hentikan! Sakit, ah!” Teriakan seorang pria muda menggema di seluruh penjuru rumah mewah bergaya modern-minimalis di kawasan Gangnam itu. Dua orang pria berdiri di hadapannya, sementara seorang dokter keluarga tengah sibuk mengobati luka di kakinya yang tampak cukup parah.

“Sudah aku katakan, kamu tidak perlu membawa motor sendiri. Sekarang lihat — sudah berapa kali kamu jatuh dari motor, hah?” ujar sang kakak dengan nada tegas, membantu dokter itu menahan kaki adiknya agar tak banyak bergerak.

“Benar sekali,” timpal kakak yang lain sambil menyilangkan tangan di dada. “Sudah tahu ceroboh, masih juga nekat ikut balapan dengan teman-teman berandal mu itu.” lanjut nya yang di sambut teriakan lagi.

“Mereka ti— AKHH!” jerit si bungsu tertahan, tubuhnya menegang saat dokter mengoleskan alkohol antiseptik ke luka terbuka di lututnya.

“Sudah tua tapi kelakuan masih seperti anak SMA!” geram sang kakak yang berdiri di sebelahnya. Wajahnya memerah menahan jengkel.

“Ah! Jang— jangan di situ! Akhh, itu perih!” rintihnya lagi, menggigit bibir bawah sementara dokter tetap menempelkan kasa steril dengan tenang. Ketiga kakaknya hanya bisa menggeleng pelan, seolah sudah terlalu lelah menghadapi kenakalan adik bungsu yang tak pernah kapok itu.

“Diamlah. Kau berisik sekali,” ujar Park Hoseon, putra pertama keluarga Park, dengan suara dalam yang penuh wibawa. Tatapannya tajam, tapi terkendali — tipikal anak sulung yang terbiasa memimpin.

Rumah keluarga Park berdiri megah di kawasan elit Mapo-gu, tepatnya di area perbukitan yang menghadap Sungai Han. Bangunannya bergaya modern-minimalis dengan sentuhan tradisional Korea yang hangat, memancarkan kemewahan tanpa kehilangan nuansa keluarga. Di lingkungan itu, hanya segelintir keluarga terpandang yang tinggal, dan keluarga Park adalah salah satunya—dikenal karena reputasi, kekayaan, dan pengaruh mereka di dunia bisnis Seoul. Park Hoseon, berusia tiga puluh dua tahun, menjabat sebagai CEO perusahaan keluarga.

Putra kedua, Park Ji-sung, berusia tiga puluh, mengelola kafe-restoran bergaya modern di tengah kota Seoul bersama adik ketiganya, Park Taeyoon, yang kini berusia dua puluh sembilan tahun.

Sedangkan si bungsu, Park Jungwoo, dua puluh delapan tahun, menjadi satu-satunya anggota keluarga yang belum bisa diandalkan. Karena terlalu dimanjakan sejak kecil, Jungwoo tumbuh menjadi pribadi yang ceroboh dan suka mencari sensasi — terutama lewat balapan liar bersama teman-teman yang tak jelas asal-usulnya. Hal itu sering kali membuat seluruh kakaknya geram, terutama Hoseon yang harus menanggung malu setiap kali nama keluarganya terseret masalah.

Setelah beberapa saat, dokter akhirnya selesai. Ia menempelkan perekat pada perban yang melilit kaki Jungwoo, memastikan tidak mudah lepas.

“Sudah selesai, setelah ini istirahatlah dulu. Jangan ikut balapan lagi, Jungwoo-ssi. Kalau luka ini terbuka lagi, kamu bisa kehilangan fungsi kakimu.” ujar dokter muda itu lembut.

“Terima kasih, Haru,” ujar Hoseon pelan, mewakili adiknya yang masih menunduk menahan kesal.

“Sama-sama, hyung. Aku pamit dulu, ada pasien yang menunggu di rumah sakit,” jawab dokter Haru sopan sambil membungkuk sedikit — gestur khas orang Korea — sebelum meninggalkan rumah megah itu.

Begitu Haru pergi, keheningan seketika memenuhi ruangan. Hoseon melirik tajam pada adik bungsunya, sorot matanya dingin seperti es di musim dingin Seoul. Sementara Ji-sung dan Taeyoon hanya saling pandang, menunggu apa yang akan dilakukan sang kakak tertua kali ini. Mereka berharap Hoseon tidak lagi menutup-nutupi kesalahan Jungwoo… karena sudah waktunya adik bungsu itu belajar menerima konsekuensi atas semua tindakannya.

“Kali ini apa lagi alasanmu?” ujar Hoseon sambil menatap tajam ke arah Jungwoo yang tengah meringis, meratapi rasa sakit di kakinya.

“Mereka yang memulainya, hyung! Aku tidak mungkin menolak tantangan dari mereka. Mereka mengejekku duluan,” ujar Jungwoo dengan nada membela diri, membuat Ji-sung memutar bola matanya jengkel.

“Alasanmu saja itu! Kau kan bisa lebih dewasa dan bijak menanggapi sesuatu. Kenapa hanya karena hal sepele seperti itu, kau harus membahayakan dirimu sendiri?” sahut Ji-sung dengan nada tinggi, menatap kesal ke arah adiknya.

“Mereka mengajakku. Ada satu teman yang selalu diejek anak-anak dari geng motor itu. Aku hanya membantu! Coba pikirkan, bagaimana kalau orang yang selalu diledek itu adalah teman Hyung sendiri?” balas Jungwoo dengan wajah tengilnya.

Taeyoon dan Ji-sung saling pandang, lalu menjawab serempak dengan nada sarkastik.

“Teman kami tidak ada yang berandalan seperti temanmu!” Suara mereka bergema di ruang tengah seperti paduan suara yang nyaring dan berirama.

“Aish, hyung! Ayolah… ini namanya pergaulan anak muda. Jiwa muda kami menuntut kebebasan. Tidak seperti kalian yang sibuk bekerja setiap hari sampai lupa mencari pasangan hidup,” ujar Jungwoo santai sambil menegakkan tubuhnya, membuat Ji-sung mendelik tajam.

“Oh begitu, ‘jiwa muda dan kebebasan,’ ya?” Ji-sung menyeringai tipis. “Bagus. Mulai hari ini jangan beri dia uang lagi, Hyung! Biar dia tahu bagaimana kejamnya dunia tanpa uang dan kekuasaan. Biar dia sadar diri.” lanjut nya.

“Benar. Biar dia tahu rasanya saat nama besar dan fasilitas keluarga ini dicabut darinya,” timpal Taeyoon dengan nada dingin.

Jungwoo hanya mengangkat bahunya, pura-pura tak peduli. Dalam hati, ia tahu Hoseon—sang kakak pertama—biasanya akan tetap diam dan pada akhirnya memihak dirinya. Namun kali ini berbeda. Hoseon menarik napas panjang, lalu berkata pelan namun tegas.

“Itu benar. Kalau kamu terus melakukan hal seperti ini, hyung akan mencabut semua fasilitasmu. Sudah saatnya kamu belajar untuk hidup mandiri. Mulai besok, berhenti bermain-main dan ikut bersama hyung ke kantor.” Ujarnya.

Suasana langsung hening seketika. Jungwoo menatap Hoseon tak percaya, bibirnya sedikit terbuka. Biasanya Hoseon akan membelanya, tapi kali ini ekspresi kakaknya benar-benar serius.

“Aigoo... jebal, jangan sekeras itu padaku, Hyung,” gumam Jungwoo lirih, tapi tak ada yang menanggapi. Tiga kakaknya hanya saling pandang dan menghela napas panjang—antara marah, lelah, tapi tetap menyimpan kasih yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.

“Berhentilah merengek. Kamu harus belajar berusaha sendiri mulai sekarang,” ujar Hoseon tegas, menatap adik bungsunya dengan nada yang tidak bisa ditawar.

“Akhh… Hyung! Aku tidak bisa,” sahut Jungwoo setengah merengek, suaranya terdengar seperti anak kecil yang baru dimarahi.

“Tidak bisa bukan berarti tidak mampu. Kamu hanya belum mau belajar,” jawab Hoseon pelan namun mantap.

“Aku tidak suka bekerja di kantor! Aku benci melihat orang-orang yang terlalu fokus pada pekerjaan mereka sampai lupa waktu—lupa keluarga, lupa semuanya!” seru Jungwoo kesal. Nada suaranya meninggi, penuh emosi yang selama ini ia pendam. Hoseon hanya menatap diam, membiarkan Jungwoo menumpahkan kekesalannya.

“Kamu akan terbiasa. Ayo, ke kamar dulu. Hyung bantu naik,” ujar Hoseon akhirnya, mencoba menenangkan.

Namun tangan yang hendak menuntun itu ditepis kasar oleh Jungwoo. Tatapan matanya redup, kecewa—mungkin bukan hanya pada kakaknya, tapi pada kenyataan yang terus memaksanya menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak ia sukai.

Dari dulu, Jungwoo memang tidak menyukai pekerjaan kantor. Di balik kemewahan hidup keluarga Park, ia menyimpan luka lama—kenangan tentang masa kecilnya yang sepi. Betapa banyak hari ia lewati tanpa ibu dan ayahnya di rumah karena keduanya terlalu sibuk dengan bisnis keluarga. Meskipun tidak kekurangan harta, ia dan ketiga kakaknya tumbuh tanpa kehangatan yang cukup.

Karena itu, bagi Jungwoo, pekerjaan kantor bukan hanya pekerjaan—itu simbol kehilangan.

Hoseon, Ji-sung, dan Taeyoon hanya bisa menatap Jungwoo yang berjalan tertatih menaiki anak tangga satu per satu. Setiap langkahnya terdengar berat, menyeret luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

“Keras kepala sekali anak itu…” geram Ji-sung kesal. Ia akhirnya mengikuti adiknya yang baru sampai setengah tangga, lalu meraih lengannya dengan paksa.

“Aku tidak butuh bantuanmu!” hardik Jungwoo, menepis tangan sang kakak.

“Kalau kau jatuh, siapa yang repot nanti, hah? Aish… Nakal sekali!” sahut Ji-sung, tapi tetap menopang tubuh Jungwoo agar tidak kehilangan keseimbangan.

Langkah keduanya terus terdengar di sepanjang tangga, disertai suara perdebatan kecil yang lama-lama menghilang di ujung lorong lantai atas.

Hoseon hanya menghela napas panjang, menatap punggung kedua adiknya yang makin jauh.

“Hyung, aku tidur duluan. Jaljayo,” ujar Taeyoon pelan, menatap wajah kakaknya yang tampak lelah.

“Selamat malam,” jawab Hoseon singkat sambil mendudukkan diri di sofa besar ruang tamu.

Setelah Taeyoon berlalu menuju kamarnya di lantai bawah, rumah itu kembali sunyi. Hanya suara jam dinding yang terdengar pelan, berdetak di antara keheningan malam.

Hoseon bersandar, pandangannya jatuh pada foto keluarga besar yang tergantung megah di dinding. Dalam foto itu, mereka tampak bahagia—senyum yang lebar, tangan yang saling menggenggam. Tapi bagi Hoseon, senyum itu kini terasa seperti masa lalu yang semakin sulit dijangkau.

“Appa… Eomma… jika kalian masih di sini, mungkin Jungwoo tidak akan tumbuh sekeras ini,” gumamnya lirih.

Di luar jendela besar, lampu-lampu distrik Mapo-gu berkelap-kelip menembus tirai malam, seolah mengingatkan bahwa bahkan di balik cahaya paling indah, selalu ada kesepian yang bersembunyi.

1
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!