NovelToon NovelToon
Cassanova - Dendam Gadis Buta

Cassanova - Dendam Gadis Buta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Dendam Kesumat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wida_Ast Jcy

Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.

"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.

Yuk...ikuti kisahnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 MULUT MULUT CELAKA

Jika memang mereka tahu, mengapa tak ada yang menunjukkan empati? Mengapa tak satu pun dari mereka datang mengetuk pintu, sekadar menanyakan kabar? Mengapa tidak ada tangan yang terulur, meski hanya untuk berkata, “Aku turut bersedih”?

Yang ada hanya sorot mata sinis. Pandangan yang seolah menyalahkan. Seolah menyiratkan bahwa Casanova adalah pembawa aib, bukan korban kekejaman.

Bu Rahmi menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang menggenang. Ia tidak bisa memperhitungkan berapa banyak kata-kata tajam yang menusuk dari balik senyuman palsu para tetangganya.

Tapi ia tahu satu hal hari ini, ia tidak akan membiarkan sorot mata itu menjatuhkannya. Ia hanya ingin satu hal menyelamatkan putrinya.

Dengan langkah tertatih dan punggung yang mulai membungkuk karena beban dunia, Bu Rahmi terus memapah Casanova menuju tempat di mana harapan terakhir mungkin masih bisa dijumpai. Meskipun kecil, meskipun samar.

Langkah-langkah Bu Rahmi yang berat akhirnya mengantarkan tubuh lemah Casanova ke pelataran puskesmas. Udara di sana terasa berbeda lebih ramai, lebih hiruk. Suasana penuh dengan kesibukan anak-anak muda berseragam almamater yang tengah menjalani program KKN.

Para mahasiswa itu tampak sibuk membantu warga ada yang memberi penyuluhan, ada yang mengarahkan pasien, ada pula yang membantu pelayanan medis dasar.

Untuk sesaat, Bu Rahmi merasa sedikit lega. Setidaknya, tempat ini tak sekelam jalanan kampung yang penuh pandang sinis. Ia berharap, di balik keramaian ini, akan ada tenaga medis yang terlatih dan benar-benar peduli.

Ia tak ingin membawa Casanova ke dukun atau pengobatan aneh yang hanya akan memperpanjang penderitaan. Dari kejauhan, seorang pemuda dengan jas almamater memperhatikan kedatangan mereka.

Tatapannya langsung membesar saat melihat gadis buta yang lunglai dalam dekapan seorang ibu. Ia menyenggol teman di sebelahnya, dan bisik-bisik pun segera mengalir di antara mereka.

Pandangan penasaran mulai tertuju ke arah Casanova. Beberapa bahkan menoleh dua kali, seolah ada sesuatu yang tak biasa pada gadis itu. Rasa ingin tahu menyelimuti wajah mereka. Namun tak semua bersikap pasif.

Seorang mahasiswi berhijab biru langit segera melangkah mendekat. Wajahnya lembut, penuh simpati, dan suaranya begitu menenangkan, seperti embusan angin sejuk di tengah musim kemarau yang panjang.

"Ibu, boleh saya bantu?" katanya dengan sopan.

"Silakan masuk bu, kita periksa dulu kondisi anak Ibu ya." ucapnya lagi.

Kata-katanya sederhana, tapi terasa seperti pelukan hangat bagi Bu Rahmi yang selama ini hanya disambut dingin dan tatapan menghakimi. Ia mengangguk cepat, menahan air mata yang kembali hendak tumpah.

Keramahan gadis itu adalah sesuatu yang sangat dirindukannya kehangatan manusia tanpa prasangka.

Mereka kemudian membawa Casanova ke salah satu ruangan di bagian dalam.

Udara dalam ruangan itu lebih tenang, sedikit jauh dari keramaian lobi. Gadis berhijab itu membantu memapah Casanova ke ranjang periksa dengan lembut, lalu menoleh kepada Bu Rahmi dengan tatapan meminta izin.

"Ibu… mohon izinnya. Saya perlu membuka jilbab anak Ibu agar bisa melakukan pemeriksaan lebih menyeluruh. "ucapnya.

Bu Rahmi mengangguk, tanpa ragu sedikit pun. “Lakukan apa pun yang terbaik untuk anak saya, yah” jawabnya pelan.

Ia tak peduli lagi soal penampilan atau tradisi. Yang terpenting sekarang adalah satu menyelamatkan putrinya dari kehancuran lebih dalam.

Namun, di tengah keramahan yang menenangkan dari mahasiswi berhijab biru tadi, tiba-tiba suasana kembali tercabik oleh suara tajam yang memecah keheningan suara yang menusuk lebih dalam dari sembilu.

Seorang mahasiswi lain berdiri di ambang pintu, penampilannya mencolok, riasannya tebal, dan mulutnya tak kalah tajam. Suaranya nyaring, sengaja dikeraskan, cukup untuk didengar orang-orang yang tengah duduk menunggu giliran di ruang tunggu.

Dengan senyum sinis yang menyebar di wajahnya, ia melontarkan kata-kata yang tak pantas terdengar kejam dan tanpa perasaan.

"Wah, tanda merah di leher sama dada itu pasti karena keenakan sama pacarnya, Bu. Habis nganu, ya Bu?" ejek mahasiswi itu dengan tertawa pelan.

Seketika itu juga, dunia Bu Rahmi seakan terbalik. Kata-kata kasar itu menghantam dadanya seperti petir menyambar di siang bolong. Kepalanya berdengung, matanya memanas, dan napasnya tercekat.

Ia menoleh dengan tatapan tajam penuh kegeraman ke arah si gadis yang kini malah tertawa geli bersama teman-temannya. Tawa mereka seperti pisau berkarat yang mengiris perlahan-lahan luka yang belum sempat kering.

"Citra, jaga bicaramu! Kalau tidak bisa membantu, lebih baik keluar!" bentak mahasiswi yang sedang menangani Casanova.

Wajahnya memerah karena marah dan malu. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidak setujuan, bahkan jijik atas kelakuan temannya sendiri.

"Maafkan teman saya ya Bu," ucapnya lirih, menatap Bu Rahmi dengan penuh empati.

Bu Rahmi mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri meski jantungnya berdebar seperti hendak meledak.

“Tidak apa-apa…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Tapi hatinya gemetar, suaranya hanyalah benteng tipis untuk menahan luapan emosi yang nyaris tak bisa dibendung. Ia tak ingin membuat keributan. Terlebih, ia tak mau mempermalukan Casanova yang sudah cukup menderita.

Namun, kata-kata kejam itu terlanjur bersarang di pikirannya. Di dalam ruang periksa yang lebih hening dan terkontrol, suara si gadis bernama Citra masih bergema, berulang-ulang, seperti kutukan.

"Bagaimana mereka bisa begitu kejam? Apakah ini yang akan terus terjadi jika kebenaran mulai terungkap? Apakah anakku akan jadi sasaran cemoohan? Apa yang akan mereka pikirkan tentang Casanova?" batinnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu menari liar di benaknya, mengguncang ketenangannya. Tangannya terus menggenggam jemari Casanova yang dingin, seolah ingin memindahkan seluruh kekuatan yang masih tersisa di tubuhnya kepada gadis kecil itu.

Saat dokter mulai memeriksa Casanova, Bu Rahmi berdiri tak jauh darinya, matanya tak lepas dari wajah putrinya. Ia menahan air mata yang nyaris tumpah, menelan bulat-bulat segala marah dan sedih yang menghimpit.

Perasaannya campur aduk antara bersalah, terluka, dan geram semuanya berkecamuk jadi satu, menyisakan kepedihan yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.

Di satu sisi, Bu Rahmi ingin melindungi Casanova dari dunia luar yang kejam dari sorotan mata yang menghakimi, dari bisik-bisik yang menyayat telinga, dari fitnah yang tanpa ampun menghancurkan harga diri.

Namun di sisi lain, ia tak bisa terus menutup mata terhadap kenyataan. Masyarakat yang akan selalu berbicara buruk. Bahkan saat mereka tak tahu apa-apa, mereka tetap menyimpulkan hal yang tidak benar. Bahkan saat mereka tak pernah ada di tempat kejadian, mereka merasa berhak menilai.

Dan itulah yang paling menyakitkan bahwa kebenaran sering kali dikubur oleh kebisingan yang lahir dari kebodohan dan prasangka buruk yang tidak baik.

Setelah pemeriksaan selesai, dokter yang menanganinya memberikan resep obat penurun panas dan menyarankan Casanova untuk banyak istirahat. Kata-katanya singkat, tapi tatapannya penuh simpati.

Bu Rahmi mengangguk, meski rasanya jauh dari cukup. Tubuh anaknya mungkin dirawat, tapi luka batin? Siapa yang bisa menyembuhkannya?

BERSAMBUNG...

1
Susi Santi
bgus
Susi Santi
up yg bnyak dong thor
Anyelir
hai kak aku mampir
mampir juga yuk kak ke karyaku
Wida_Ast Jcy: ok say. baiklah...tq ya sudah mampir dikaryaku. 🥰
total 1 replies
Susi Santi
plis lanjut thor
Wida_Ast Jcy: Hi... say. tq ya sudah mampir. Ok kita lanjuti ya harap sabar menunggu 🥰
total 1 replies
Wida_Ast Jcy
jangan lupa tinggal kan jejak nya yah cintaQ. TQ
Wida_Ast Jcy
Jangan lupa tinggal kan jejak nya disini ya cintaq. coment dan like
Wida_Ast Jcy: tq say.... atas komentar nya. yuk ikuti terus cerita nya. jgn lupa subscribe dan like yah. tq 😘
Nalira🌻: Aku suka gaya bahasanya... ❤
total 2 replies
Wida_Ast Jcy
Hi.... cintaQ mampir yuk dikarya terbaruku. Jangan lupa tinggal kan jejak kalian disini yah. tq
Wida_Ast Jcy
😘😘😘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!