Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba-Tiba Pulang
'Hidup untuk kerja'. Tiga kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan seorang Esson. Di dalam hidupnya, sebagian besar waktu ia habiskan untuk bekerja. Meski sebagian ia sisihkan untuk sang istri, tetapi tetap saja, waktu untuk bekerja jauh lebih banyak.
Bukan tanpa alasan Esson melakukan itu semua, semata-mata untuk masa depan anak cucunya nanti. Ia ingin mengembangkan bisnis peninggalan orang tuanya menjadi lebih besar lagi. Tak akan ia biarkan keturunan keluarga Barnard mengalami kesulitan dari segi keuangan.
Tak beda jauh dengan hari sebelumnya, pagi ini pun Esson tiba di kantor tepat setelah masuk jam kerja. Pantang baginya terlambat, meski sebenarnya sah-sah saja karena dialah bosnya.
"Jam sepuluh nanti perwakilan dari Altera akan ke sini, Tuan, membahas kelanjutan proyek Royal Garden. Mereka masih mengharap uluran tangan Anda untuk menyelamatkan hunian tersebut," ucap Arsen sesaat setelah Esson mendaratkan tubuhnya di kursi kerja.
Esson sekadar mengangguk. Minggu lalu dia sudah berbincang langsung dengan pimpinan mereka, katanya ada masalah internal yang membuat proyek tersebut sempat terhenti karena kekurangan dana. Mereka menawarkan keuntungan yang besar jika Esson bersedia menjadi investor utama dalam kelanjutan proyek tersebut. Esson pun sudah memeriksanya dan dia cukup tertarik dengan tawaran itu.
"Makan siang nanti, Anda mendapat undangan dari Tuan Wira. Tampaknya beliau masih menunggu waktu luang Anda untuk mengisi acara dalam seminar kampus yang digelar minggu depan," ucap Arsen lagi, menyebutkan jadwal penting Esson hari ini.
"Katakan pada Tuan Wira, nanti aku akan datang," sahut Esson.
"Baik, Tuan."
"Hanya itu?" tanya Esson.
"Iya, Tuan."
Mendengar jawaban Arsen, Esson sedikit menarik napas lega. Setidaknya jadwal hari ini cukup senggang, jadi dia punya banyak waktu untuk memeriksa laporan bulanan yang sudah menumpuk sejak kemarin. Sebelumnya, ia bisa berbagi tugas dengan Vero. Namun sekarang, adiknya itu masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Jadi mau tidak mau, Esson harus menyelesaikannya sendiri.
Sampai satu jam lebih bekerja, Esson tidak mendapati kendala apa pun. Lancar-lancar saja. Tessa juga termasuk wanita yang pengertian. Jika bukan karena urusan mendesak, tak pernah wanita itu mengganggu waktu kerja Esson dengan telepon yang tak penting. Mungkin sekadar mengirim pesan perhatian sesekali.
Akan tetapi, setelah kurang lebih satu setengah jam ia bekerja, tiba-tiba Arsen datang lagi dan memberikan laporan bahwasannya ada tamu yang ingin menemuinya, penting.
"Apakah perwakilan dari Altera datang lebih awal?" tanya Esson dengan kening yang mengernyit.
"Sepertinya bukan, Tuan. Jika perwakilan dari Altera, pasti dia memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya. Yang barusan katanya tidak memperkenalkan diri, hanya bersikeras ingin menemui Anda karena katanya ada hal penting yang berkaitan dengan bisnis."
Mendengar jawaban sang sekretaris, kening Esson makin mengerut. Makin heran dia dengan sosok yang datang kali ini. Tanpa membuat janji terlebih dahulu, dia berani berkeras hati untuk menemuinya. Termasuk tindakan yang lancang, tetapi anehnya Esson justru bersedia meluangkan waktu. Entahlah, seakan ada dorongan kuat untuk menerima tamu tersebut.
"Kamu turunlah! Lihat siapa yang datang. Jika benar orang penting, antar dia ke sini. Jika bukan, aku yang akan turun," perintah Esson.
"Baik, Tuan."
Tanpa membuang waktu lagi, Arsen bergegas pergi untuk melihat sang tamu yang entah siapa. Sementara Esson, kembali sibuk dengan pekerjaannya sembari menunggu Arsen kembali atau sekadar menghubungi.
Satu menit, dua menit, tiga menit, hingga lima menit lamanya Esson menunggu, akhirnya pintu ruangan dibuka dari luar. Esson menoleh dan menatap ke sana, lantas terdiam dan terpaku ketika mata mereka saling beradu.
"Selamat pagi, Esson."
Suara merdu mengalun menyapa Esson, beriringan dengan semerbak wangi vanilla yang hampir menjadi ciri khas wanita tersebut. Ya, wanita. Tamu yang bersikeras menemui Esson detik ini, bukanlah seorang pria, melainkan wanita yang amat sangat familier dalam hidupnya.
"Carla."
Esson bergumam lirih, nyaris tak percaya dengan apa yang dialami kali ini. Carla yang sebelumnya memilih pergi dan menjauh darinya, tiba-tiba sekarang kembali di hadapannya tanpa rasa bersalah. Tidak ada kecanggungan yang dari raut wajahnya, seolah-olah tak pernah ada sesuatu di antara mereka.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Carla sambil duduk di hadapan Esson, tak lupa mengulum senyum yang membuat detak jantung Esson kembali menggila.
"Kapan kamu pulang?" Alih-alih menjawab pertanyaan Carla, Esson justru bertanya balik. Tak sabar mengejar jawaban dari rasa penasaran yang menguasai benak.
"Baru tiba kemarin. Tapi, rencananya aku tidak kembali lagi ke Jepang."
"Kenapa?"
Carla tersenyum lagi. "Kupikir-pikir ... sudah waktunya merintis bisnis sendiri. Tidak mungkin kan terus-menerus kerja ikut orang. Aku ingin membangun vendor di Bandung. Dan ini alasanku langsung menemuimu. Aku ingin kamu yang menanganinya."
Esson tak langsung menjawab, dalam beberapa saat dia sekadar menilik wajah Carla, mencari letak kejanggalan dari kedatangannya yang tiba-tiba, juga keputusannya yanh mendadak.
"Kenapa? Kamu tidak bersedia ya? Padahal aku sudah membeli lahan itu, letaknya cukup strategis, dan aku yakin itu sangat cocok untuk dijadikan tempat vendorku."
"Bukan soal bersedia atau tidak. Tapi, kenapa? Apa yang membuatmu tiba-tiba pulang dan ingin membangun vendor di Bandung? Tidak mungkin kamu membuat keputusan itu secara mendadak dan tanpa alasan yang jelas," jawab Esson cukup tegas.
"Alasanku jelas, Esson, aku ingin menekuni bisnisku sendiri. Aku capek kerja ikut orang. Aku ingin berusaha berdiri di kakiku sendiri."
"Kamu ada masalah dengan Tuan Zayn?"
Carla menggeleng.
"Kontrak kerjamu belum habis. Jika tidak ada sesuatu, tidak mungkin kamu berhenti dan buru-buru mendirikan bisnis."
Carla menarik napas panjang. Dari dulu sampai sekarang ingatan Esson tetap tajam. Hanya satu kali dia mengulik tentang kontrak kerjanya dengan Zayn, tetapi lelaki itu masih jeli dan ingat bahwa sekarang kontrak tersebut belum habis.
"Aku ikut Tuan Zayn sudah bertahun-tahun. Jadi meski kontrak kerjaku belum habis, aku bisa berhenti, ya walaupun harus membayar kompensasi. Tapi, itu tidak masalah. Tekadku untuk membangun bisnis sudah bulat, dan menurutku lebih cepat lebih baik. Bukan begitu, Esson?" Carla menjawab tanpa ragu. Bahkan, sekali lagi bibir itu tersenyum manis.
Melihat tingkah Carla yang makin aneh, Esson membenarkan duduknya dan menatap Carla dengan lekat. Kepalang tanggung untuk menghindar, sejak tadi senyuman Carla sudah membuatnya gelisah sendiri.
"Carla, cukup sekali kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Katakan! Apa yang membuatmu tiba-tiba pulang dan ingin membangun vendor?"
Sembari membalas tatapan Esson, Carla menjawab dengan tenang, "Esson, aku datang ke sini dengan urusan kerja. Tidak sepantasnya kamu terus menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi. Begini saja, kamu bersedia atau tidak dengan proyek ini. Jika bersedia, beri kepastian kapan kira-kira kamu bisa memulainya. Jika tidak, aku akan mendatangi perusahaan lain."
Bersambung...
tenang pikiran mu Vero, fokus dulu kesembuhan, supaya kamu secepatnya temui Carla.