NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia

📝 Diary Mentari – Bab 6

“Kadang bahagia tidak harus mewah. Cukup nasi bungkus untuk diri sendiri, segelas air segar, dan tawa yang tidak terbagi.”

Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya. Mataku mengantuk, tubuhku masih ingin merebah, tapi sesuatu dalam hatiku mendesak: ini hari yang berbeda, hari yang sudah kutunggu sejak akhir November lalu. Hari di mana aku bersama teman-teman pramukaku akan kemah di lapangan kota, jauh dari Kampung Karet. Aku duduk di atas kasur keras—sekeras hidup yang selama ini kujalani—menyentuh ranselku yang terlipat rapi di sudut kamar. Di dalamnya sudah kutaruh kaos, celana panjang, botol minum, kantong tidur, dan tongkat pramuka pemberian Kak Raka. Bahkan topi pramuka yang kusetrika semalam kusiapkan agar terlihat rapi.

Bayangan motor butut Ayah di pagi hari dulu terlintas dalam benakku. Kami berempat berdesak-desakan, tertawa di atas jok yang keras, menyusuri jalanan bergelombang, meninggalkan rumah dengan tumpukan pekerjaan rumah yang belum selesai. Kini aku akan pergi bukan dengan motor, tapi dengan truk sekolah—setidaknya aku akan duduk nyaman, bukan di jok kayu yang pecah.

Aku melangkah keluar kamar, mengecup Senja di pelupuk mata. Dia hanya menguap malas. “Selamat pagi, Kak,” bisikku. “Bubbis, semoga nanti ketemu facenya bintang, ya.” Senja tertawa mendengku, tapi matanya belum terbuka penuh.

Di dapur, Ibu sibuk menyiapkan bekal. Sepotong nasi putih ditata rapi di dalam daun pisang, lauk sederhana—telur dadar cincang sambal, sayur lodeh yang masih mengepul—ditumis pagi tadi dengan gesekan kayu bakar yang halus. Ibu tak berkata apa-apa, hanya menatapku sambil mengaduk kuah. Mungkin ia masih terluka oleh peristiwa kemarin, ketika aku memohon izin. Namun izin itu sudah keluar. “Jaga diri,” katanya pelan.

Aku mengangguk. Menyeruput air teh hangat dari cangkir yang panas membakar ujung bibir. Aku menahan senyum—ini pagi yang sungguh istimewa.

Ketika truk kuning tua itu tiba di depan rumah, hati ini berdetak. Teman-teman seangkatanku—Adit, Eka, Rara, Bunga, dan tujuh sahabat lainnya—sudah menunggu di depan gerbang. Mereka bersorak, menyeka muka dengan sapu tangan, tertawa melihat wajahku yang masih setengah kantuk. “Ayo, Mentari! Jangan molor!” teriak Rara riang.

Aku melompat naik, mengambil tempat duduk di samping Adit. Angin pagi menampar pipiku, membangunkan seluruh sel kulit yang semalam lelah terpejam. Dari balik kaca truk, aku melihat padi menguning di sawah, petani yang mulai menanam jagung, dan pohon kelapa yang bergoyang manja. Aku menghirup udara dengan dalam, seolah ingin mengabadikannya dalam paru-paru.

“Ini baru hidup!” gumamku, menatap teman-teman yang sibuk mengobrol.

Bunga mengulurkan segelas air mineral padaku, sambil berbisik, “Minum dulu sebelum panas, Mentari.”

Aku tersenyum manis menerima. “Makasih, Bun.”

Perjalanan ke kota memakan waktu hampir satu jam. Aku mengepak tasku di bawah kursi truk, mengecek bekal sekali lagi, lalu menatap ke luar. Gedung-gedung bertingkat mulai bermunculan. Petunjuk jalan “Kota Denpasar” muncul di papan biru. Lampu lalu lintas, angkot penuh, trotoar yang lebar—semua terasa asing. Jantungku berdebar, antara takut dan senang.

“Akhirnya keluar dari kampung,” kata Eka pelan. “Selamat ya, Mentari.”

Aku mengangguk, menahan haru. Ringan sekali rasanya, bagai beban yang melayang pergi.

Sesampainya di lapangan subur di ujung kota, kami turun dengan riuh rendah. Tanah lapangan yang dulu berupa semak kini bersih ditanami rumput. Ada lapangan voli, lapangan sepak bola mini, dan di tengahnya sebuah area tenda luas. Panitia sudah menyusun 25 tenda dome warna-warni. Kami berkumpul membentuk barisan sesuai rombongan sekolah masing-masing.

Aku dan teman-teman sekolah menyiapkan tenda segera. Tali direntangkan, terpal ditarik, palu kayu digunakan memacak tali ke tanah. Suara kayu bertemu tanah berdentum berirama. Rasanya seperti membangun dunia mini kami sendiri. Aku membantu menarik terpal, menahan tiang agar tegak lurus, lalu mengikat simpul dengan erat. Keringat mengucur di pelipis, tapi aku terus tersenyum.

“Kerja hebat, Mentari!” puji Pak Harjo, guru pembina. “Dua tenda selesai dalam waktu 15 menit.”

Aku menunduk malu, menolak pujian. “Ah, biasa, Pak.”

Tenda berdiri kokoh, kami berkumpul untuk makan siang. Panitia membagikan nasi bungkus. Aku memegang bungkusku—hanya untukku, tidak terbagi. Di sana ada telur balado, tumis sayur pucuk ubi, dan sambal terasi. Kubuka bungkus daun pisang itu perlahan. Aaargh… aromanya membangkitkan selera.

Aku meneguk air mineral dingin dari botol. Rasanya segar luar biasa, berbeda dengan air sumur di rumah. Sampaikan saja, air sumur di Kampung Karet tidak pernah terasa sehebat ini.

Aku makan perlahan, setiap suap terasa istimewa. Teman-teman di sekitarku mengobrol dan tertawa. Beberapa mengajak bermain kartu UNO, beberapa lainnya memotret dengan ponsel. Aku hanya menikmati momen—momen bahagia tanpa harus berbagi. Momen yang mungkin tak akan pernah kulupakan.

Siang itu dilanjutkan dengan wide game: mencari tanda jejak yang disembunyikan panitia. Tim kami dibagi menjadi tiga regu. Aku berada di regu biru bersama Adit dan lima teman lain. Kami berjalan di antara barisan tenda, mencari kode tersembunyi di balik pot bunga, di bawah bangku taman, bahkan di dalam batang kayu lapangan.

Setiap menemukan tanda, kami harus menyelesaikan tantangan: lompat karung, tebak suara binatang, atau menjawab soal pengetahuan umum seperti “Apa lambang provinsi Bali?” (jawabannya “Gunung Agung”). Kami tertawa saat harus bergandengan tangan melompati garis finish, wajah memerah tapi semangat membara.

Aku benar-benar merasa hidup. Seperti seorang petualang kecil di hutan kota.

Sore harinya, pemerintah desa setempat menyediakan pemandu wisata ke kebun binatang mini dan taman bunga. Kami dipersilakan naik kereta wisata motor beroda kecil, menjelajahi kebun bunga dengan warna-warni. Aku berdiri di belakang kereta, pegang pagar sambil wajahku disiram sinar matahari sore. Aku tertawa lepas.

“Mentari, lihat di depanku!” teriak Eka sambil menunjukkan kupu-kupu besar hinggap di bunga anyelir. Aku fokus memotret momen itu dengan ponselku, berharap bisa menyimpannya sebagai kenangan.

Petualangan belum usai. Malam tiba, api unggun dinyalakan. Kami duduk melingkar, menyanyikan lagu-lagu gema pramuka. Asap kayu bakar mengepul, bulir api menari-nari di udara. Muka-muka lelah tapi bahagia. Aku menyanyikan bait lagu “Jaya Raga” dengan suara yang gemetar, sesekali menahan air mata.

Karena aku sadar: esok pagiku akan kembali ke rumah dengan kerasnya tugas. Esok pagiku harus memikul kelapa, mencuci di sungai, dan memikul beban hidup yang tak ringan. Namun malam ini… malam ini aku merasa merdeka.

Sebelum tidur, aku membuka diary kecilku. Di luar tenda, suara jangkrik bersahutan dengan suara angin. Aku menuliskan:

“Hari ini aku bahagia. Benar-benar bahagia.

Aku makan nasi bungkus sendiri,

Menang dalam wide game,

Dan tertawa tanpa rasa bersalah.

Lelahku terbayar tuntas.

Besok? Mungkin kembali berat.

Tapi malam ini…

Malam ini aku punya hadiah dari Tuhan.

Hari yang tak terbagi.”

Aku menutup buku itu pelan. Menatap teman-temanku yang sudah tertidur. Aku berdiri di depan tenda, menatap langit penuh bintang. Di sinilah aku, Mentari dari Kampung Karet, merasakan bahagia yang tak perlu terlalu megah—cukup sederhana, cukup utuh.

“Kadang, bahagia terbesar adalah menghargai momen terkecil.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!