Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Lucifer Dan Gabrielle
1
____________________________________________
"Hei!! Kita melupakan sesuatu!" Keyz berseru saat sudah berjalan jauh dari Kuil Piramida. "Kita harus mencari petunjuk apapun tentang Mimi!"
Dan, dengan berat hati. Mereka berempat berjalan kembali menuju Kuil Piramida.
2
____________________________________________
Langkah kaki Keyz bergema pelan di lorong-lorong batu gurun yang mulai memerah ditimpa senja. Mereka telah meninggalkan reruntuhan kuil Piramida sejak pagi, menyisir setiap inci dinding berlumut dan batu-batu bersimbol tua yang sudah nyaris tak bisa dibaca. Tak ada apa-apa di sana.
Keyz awalnya melangkah ringan, penuh harap. Tapi hari beranjak gelap tanpa hasil, dan kini, saat langit dilukis warna jingga yang dalam, ia berjalan tanpa kata, dengan satu beban: rasa frustrasi yang menekan batinnya.
Tujuan mereka ke kuil itu sederhana—menggali masa lalu Mimi. Tapi sekarang, setelah satu hari penuh pencarian, kebenaran itu tetap terkubur di bawah puing-puing kehancuran. Ulah wanita dengan kimono hitam.
Langkahnya terhenti sejenak di sebuah batu besar yang menghadap ke hamparan Padang Rumput Tobias yang sudah hangus. Ia menatap jauh, seolah berharap sesuatu akan muncul dari balik cakrawala. Namun angin hanya meniupkan debu ke rambutnya, ke wajahnya, ke mata hatinya yang mulai memudar.
"Aku harap... setidaknya kita akan menemukan sesuatu," gumamnya lirih.
Di belakangnya, Mimi duduk di atas seikat kain, menggambar garis-garis tak tentu di pasir. Alice tertidur di pundaknya, dengan mulut sedikit terbuka dan tangan yang masih menggenggam erat lengan Keyz.
Diablo berdiri tak jauh dari mereka, bersandar di dinding batu. Sayap-sayap hitamnya terlipat, tubuhnya nyaris tak bergerak. Bahkan dia tak bersuara sejak siang.
Akhirnya, saat malam mulai turun, Keyz mengangkat tubuhnya.
"Tak ada gunanya lagi di sini," katanya pelan namun tegas. "Ayo kita pulang."
Mereka berjalan dalam diam, meninggalkan kuil yang tak memberikan jawaban apa pun, menuju ke arah Sad Town—kota yang kini terasa lebih asing karena sudah lama tidak pulang.
Namun, tak sampai beberapa kilometer dari batas pasir menuju rerumputan kering, langkah mereka terhenti.
Siluet-siluet wanita muncul dari balik pohon-pohon berduri dan semak kering. Daun-daun rapuh berguguran saat bayangan-bayangan itu mendekat. Mereka adalah para prajurit Elf dari Elmheven—tinggi, langsing, dengan postur lurus dan penuh kehormatan. Setiap dari mereka mengenakan jubah tipis pelindung cahaya, dan busur panjang mereka terangkat, membidik dengan penuh ketenangan.
Tak ada peringatan, tak ada pekikan, hanya tatapan tajam dan keheningan yang menggigit.
Keyz menyadari bahaya itu, tetapi ia tak mengangkat pedangnya. Alice yang masih menunduk, membuka mata pelan. Saat melihat para Elf itu, ekspresinya berubah.
Wajah polos yang sebelumnya terpejam dengan tenang kini tertarik dalam keseriusan yang sudah lama tak terlihat. Alice bangkit perlahan. Posturnya tegak. Suaranya yang biasanya bernada manja kini berubah jernih dan dalam.
Ia melangkah maju tanpa takut, tubuh kecilnya berdiri sendirian di depan barisan para elf yang siap menyerang.
"Maaf," katanya sambil membungkuk sedikit. "Maaf, aku kabur lagi."
Kata-katanya menggema, terbawa angin Padang Rumput Tobias. Lalu, dengan suara yang sama, ia menambahkan, "Aku akan pulang."
Untuk sesaat, semua diam. Bahkan angin pun seolah menahan napas.
Diablo menatap Alice, mencoba memahami transformasi yang baru saja terjadi. Keyz menajamkan pandangannya untuk melihat apakah para Elf itu akan menyerangnya.
Lalu seorang prajurit Elf—mungkin pemimpinnya—menurunkan busurnya perlahan. Wajahnya tenang, namun tidak lunak. Ia memandang Alice dalam-dalam, seolah menilai setiap jengkal kata-kata yang ia ucapkan.
Alice menatap balik dengan keteguhan.
"Aku tidak bisa menjelaskan sekarang," ucapnya lagi, kini dengan suara yang sedikit lebih lembut. "Tapi aku akan pulang. Izinkan aku melewati malam ini bersama mereka."
Suasana tetap menegang, tapi tak ada yang melepaskan panah. Mereka hanya berdiri di sana, seperti bayangan-bayangan diam yang tak memerlukan kata.
Keyz masih tidak bergerak. Dia hanya menatap punggung kecil Alice yang berdiri di hadapannya.
Waktu berlalu perlahan. Angin Padang Rumput Tobias bergulung, langit malam mulai membuka tirainya. Lalu, perlahan, satu demi satu para elf itu menurunkan busurnya.
Mereka berbalik, mundur tanpa sepatah kata, seperti bayangan yang menyatu kembali dengan kegelapan.
Alice masih berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar halus.
Keyz mendekat dan menaruh tangan lembut di atas kepalanya.
“Kau, dalam masalah,” bisiknya.
Alice tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, lalu kembali ke sisinya tanpa berkata-kata.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju Sad Town.
3
____________________________________________
Malam hampir mencapai puncaknya ketika garis lengkung Sad Town muncul di kejauhan. Kota yang dulu tampak damai dan suci, kini berdiri bagai bayangan dari kenangan lama. Di antara kabut malam dan nyala samar obor di kejauhan, dua patung raksasa menyambut Keyz dan rombongannya dari kejauhan.
Patung Gabrielle.
Tegak menjulang lebih dari dua puluh meter, seolah mengawasi gerbang kota dengan tatapan abadi. Keduanya mengapit jalan masuk utama Sad Town.
Gerutan pada patung itu tak sembarangan. Ukiran pada jubah, pada helai-helai rambut, hingga ekspresi di wajah Gabrielle—semuanya diukir dengan ketelitian yang sempurna. Ada cahaya aneh yang memancar dari batu putihnya, seperti menyimpan sisa-sisa berkat dari sang malaikat itu sendiri. Aura ketenangan dan keagungan bercampur menjadi satu.
Namun, keindahan itu tak berlangsung lama. Tepat saat kaki Keyz menginjak bayangan patung itu, dua sosok bersenjata melangkah maju dari balik tiang-tiang gerbang.
Mereka adalah penjaga malam kota Sad Town.
Pakaian mereka tegas dan sederhana, armor ringan berwarna perak kusam, dan helm dengan lambang Gabrielle tergurat di sisi kanan. Mereka bukan prajurit kerajaan, tapi tetap sigap dan disiplin.
Salah satu dari mereka mengangkat tombaknya tinggi dan berseru, suara lantangnya memecah sunyi malam. “Iblis!!”
Keyz menghentikan langkahnya. "Apa?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada menjawab tuduhan itu.
Penjaga itu melangkah maju, kini tombaknya diarahkan tepat ke arah dada Keyz. Sinar api dari obor memantulkan bayangan hitam di wajah mereka yang tegang.
“Kalian tidak diizinkan masuk ke dalam kota yang dibangun oleh Malaikat Gabrielle!!” tegas penjaga itu lagi, suaranya penuh kemarahan bercampur ketakutan.
Keyz baru menyadari: tubuhnya memang telah berubah. Sepasang sayap hitam terlipat di punggungnya—cermin dari kekuatan Lucifer yang belum sepenuhnya bangkit. Aura kegelapan samar masih menyelubungi dirinya. Wajahnya yang dulu manusia kini menampilkan sedikit kemiripan dengan bentuk iblis: mata merah redup, kulit lebih pucat dari biasanya.
Dan di sampingnya berdiri Diablo—sosok iblis sejati yang tak pernah menyembunyikan identitasnya. Sayapnya mengepak pelan, mata merahnya menyipit penuh kewaspadaan.
Keyz mengangkat kedua tangannya, mencoba memberi isyarat bahwa ia tidak ingin bertarung. Tapi niat baik itu tertelan oleh ketakutan dan doktrin suci yang mengakar dalam hati penjaga-penjaga ini.
Di balik Keyz, Alice maju selangkah.
Tanpa berkata apa-apa, dia membuka jubah luarnya dan mengeluarkan sesuatu dari balik lipatannya. Sebuah emblem kecil berwarna emas-putih, berbentuk bunga mawar dengan simbol mata di tengahnya. Cahaya samar memancar dari benda itu, menandakan keasliannya.
“Aku salah satu orang kepercayaan Dewi Pino,” ucap Alice tenang, tak ada rengekan, tak ada tingkah manja—hanya pernyataan dingin yang penuh keyakinan.
Namun, kedua penjaga itu tetap bergeming.
Mereka tidak melirik emblem itu. Mereka tidak menurunkan senjata. Tatapan mereka tetap tajam ke arah Keyz dan Diablo. Tidak ada kompromi malam itu.
Keyz menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala. “Sudahlah,” ucapnya pelan. “Ayo pergi.”
Ia berbalik perlahan, diikuti oleh Diablo yang menggeleng pelan dengan ekspresi muak, namun tetap memilih diam.
Alice tampak terkejut.
Dia melangkah cepat mengejar mereka. “Onichan!!” serunya, kali ini suaranya kembali seperti biasa—cempreng dan penuh kekanak-kanakan.
Keyz berhenti sejenak, lalu menoleh padanya sambil tersenyum lembut. “Sudahlah,” katanya lirih, “kamu pulang saja ke Elmheven. Sebelum semuanya semakin runyam.”
“Tapi...” Alice menunduk, bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.
“Kamu punya Key Of Teleport, kan?” lanjut Keyz, masih dengan nada lembut. “Kamu bisa menemui kami kapan pun yang kamu inginkan.”
Alice menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Tapi...”
Keyz mengangkat jari telunjuknya dan memotong dengan senyum yang lebih lebar. “Kalau kamu bersikeras ikut... Aku pun jadi tidak bisa keluar-masuk ke Elmheven, lho.”
Kata-kata itu seperti paku terakhir yang menancap di hatinya.
Alice menunduk lebih dalam. Tubuh kecilnya menggigil pelan. Tapi ia tahu Keyz benar. Ia tak bisa memaksakan kehadirannya tanpa menciptakan konflik baru.
Dengan enggan, ia merogoh saku kecil di pinggangnya dan mengeluarkan Key Of Teleport. Cahaya lembut membungkus tubuhnya.
“Sampai nanti... Onichan,” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Lalu, dalam sekejap, ia menghilang dalam kilau cahaya putih.
Sunyi.
Tak ada yang berkata-kata setelah itu. Bahkan Diablo pun hanya menatap tempat Alice berdiri tadi, lalu mendengus pelan.
Kini, tinggal mereka bertiga. Keyz, Diablo, dan Mimi.
Mereka tidak memiliki arah. Tidak punya tempat untuk kembali. Tapi Keyz tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. Matanya masih memandang jauh ke depan, ke jalan yang tak mereka kenal.
“Aku ingin tahu... siapa Mimi sebenarnya,” bisiknya.
Tak ada jawaban. Mimi hanya menggenggam lengan bajunya erat, menatapnya penuh kepercayaan.
“Dan Satan... serta semua rahasia di balik Ring World ini.”
Ia membuka telapak tangannya. Key Of Teleport miliknya berpendar pelan, seolah merespons keinginan hati tuannya.
Dengan satu tarikan napas, ia mengaktifkannya.
Cahaya menyelubungi mereka bertiga. Dunia berputar, angin lenyap, dan dalam sekejap... mereka kembali ke pulau pribadi milik Keyz. Tempat yang sunyi, aman, dan tersembunyi.
4
____________________________________________
Keyz terlelap dalam diam. Tubuhnya yang letih tertidur di sudut bangunan kecil yang dibangun dari sihir putih Alice, bangunan sederhana yang berdiri di atas tanah kosong—tanpa fondasi kuat, tanpa dinding batu, hanya kayu sihir yang saling merekat, membentuk perlindungan seadanya dari malam yang dingin. Udara dini hari masih menggantung lembap di sela-sela kayu, dan hanya deru napas lembut Mimi dan Diablo yang menemani keheningan itu.
Namun di balik mata tertutup Keyz, kesunyian itu tergantikan oleh sesuatu yang asing—sebuah mimpi, atau mungkin lebih dari itu. Sebuah dunia yang tidak dikenalnya perlahan membentang di hadapannya.
Ia berdiri di tengah-tengah sebuah tanah datar, tak ada batas, tak ada langit yang nyata. Tapi ia bisa melihat dua sisi yang begitu berbeda, begitu kontras, seolah realitas itu sendiri terbelah di hadapannya.
Di sisi kanannya—tempat yang terang, hangat, dan menenangkan. Awan putih menggulung perlahan di udara, menyapu kaki-kaki bangunan megah yang menjulang tinggi. Kubah-kubah emas berkilauan di bawah cahaya lembut yang tidak menyilaukan. Bangunan-bangunan itu tampak seperti hasil pahatan tangan dewa: simetris, anggun, dan suci. Di sana, aroma harum yang menenangkan menguar samar. Keyz bisa merasakan sesuatu yang nyaris tak dapat dijelaskan—rasa damai yang begitu dalam, rasa rindu yang tak tahu pada apa.
Sedangkan di sisi kirinya—sebuah neraka yang membara tanpa suara. Tanahnya retak-retak seperti kulit dunia yang menderita, dan dari dalam retakan itu memancar lava merah menyala, mendidih, melompat-lompat seolah mencari mangsa. Awan hitam, panas, dan pekat menggantung rendah, menekan udara, menyesakkan dada. Dari sana, terpancar aura yang menusuk, bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa. Ketakutan, kesepian, dan rasa bersalah menyatu jadi satu, menciptakan beban yang hampir membuat lutut Keyz lemas.
Keyz berdiri di tengah-tengah dua dunia itu. Ia bingung. Ia tak tahu ke mana harus melangkah. Tapi sebelum ia bergerak, sesuatu terjadi.
Dari tempat yang terang dan nyaman, turun perlahan sosok bercahaya. Seorang malaikat, tapi lebih dari itu. Dia adalah Gabrielle. Tidak seperti yang pernah Keyz lihat dalam kenangan Lucifer. Tidak pula seperti patung-patung yang mengapit gerbang Sad Town. Ini adalah Gabrielle yang hidup, nyata, dan suci.
Ia turun tanpa suara. Sayap-sayapnya terbuka perlahan—delapan pasang sayap putih keemasan, berkilauan seperti lembaran sutra surgawi. Zirah emas menutupi tubuhnya, namun tak menyembunyikan kecantikan wajahnya yang tenang, penuh kasih, dan tak tergambarkan. Matanya—sebirus langit sebelum fajar—menatap lurus ke mata Keyz. Tak ada kata. Hanya tatapan yang menyimpan lautan emosi. Ada duka di sana. Ada harapan. Dan ada sesuatu yang lebih dalam, yang Keyz tak mampu menguraikan.
Lalu dari sisi gelap, sosok lain bangkit. Bukan turun, tapi seolah muncul dari balik retakan bumi. Lucifer. Wujud aslinya. Tubuh besar, menghitam, dengan empat sayap hitam pekat yang compang-camping, membusuk di ujung-ujungnya. Matanya—mata yang sama yang pernah menguasai tubuh Keyz—penuh dengan rasa memiliki. Penuh dengan kemenangan.
Ia terbelenggu oleh rantai-rantai neraka. Rantai yang menyala merah, membara seperti lava, namun tak menghentikannya menatap Keyz penuh kekuasaan.
"Kamu milikku, Keyz...." suaranya bergema, dalam dan berat, seperti gema dari ruang kosong yang tak berujung.
Keyz ingin bergerak. Ingin mundur. Ingin memanggil Gabrielle. Tapi tubuhnya membeku.
Dan saat itu juga, ia terbangun.
Peluh dingin membasahi dahinya. Nafasnya tersengal. Jantungnya berdetak terlalu cepat, seolah baru saja berlari dari kematian.
Matahari pagi mulai menyelinap masuk melalui celah-celah dinding kayu. Cahaya lembut menerobos ruang kecil itu. Ia merasakan sesuatu yang berat di dadanya.
Mimi.
Gadis kucing itu tidur menindihnya, masih pulas, bibirnya sedikit terbuka, napasnya lembut seperti anak kecil. Rambutnya berantakan, menutupi sebagian wajah Keyz.
Sementara di sisi lain, Diablo memeluk lengan Keyz seperti boneka, wajahnya damai, seolah tak pernah mengenal dunia penuh kekerasan dan kebencian.
Keyz memejamkan matanya sejenak, mencoba meredakan detak jantungnya yang belum juga tenang.
Namun mimpi itu…
Wajah Gabrielle yang berkaca-kaca, dan suara Lucifer yang menyatakan kepemilikannya, masih tertancap jelas di dalam benaknya.
Apa arti semua itu? Apakah itu sekadar mimpi? Ataukah sebuah pesan?
Keyz tak tahu. Tapi satu hal yang pasti: jalan yang akan ia tempuh ke depan, bukanlah jalan yang bisa ia anggap mudah lagi.
5
____________________________________________
Keyz masih duduk diam di ranjang tipis itu. Pikirannya belum sepenuhnya pulih dari mimpi yang barusan. Tangannya gemetar pelan, seolah masih merasakan rantai neraka yang menyala itu menggores kulitnya. Matanya menatap kosong ke lantai tanah yang sedikit lembab, dihiasi oleh bekas-bekas langkah kaki kecil Mimi yang tadi malam bermain sebelum tidur.
Angin pagi berhembus lembut dari sela-sela dinding kayu yang tidak sepenuhnya tertutup. Bau embun pagi dan rumput liar yang basah menguar perlahan, menenangkan sekaligus membawanya kembali ke kenyataan. Keyz menghela napas panjang. Dingin. Tapi bukan hanya karena pagi, melainkan juga karena kekosongan yang tertinggal setelah mimpi itu. Dua sosok itu — Gabrielle dan Lucifer — seolah menjadi penyeimbang yang tidak bisa dia tolak. Satu menariknya ke atas, yang satu lagi menariknya ke bawah. Dan ia berada di tengah.
Perlahan, Mimi menggeliat dalam tidurnya. Kepalanya yang memiliki telinga panjang bergeser dan pipinya menempel di dada Keyz. Nafasnya ringan dan lembut. Ada air liur kecil yang menetes dari sudut bibirnya ke baju Keyz, tapi Keyz tak peduli. Dia mengangkat satu tangan dan membelai rambut Mimi yang halus seperti benang sutra.
“Mimi…” bisiknya. Tapi Mimi tidak bangun. Ia hanya menggumam, lalu kembali terlelap.
Sementara itu, tangan kiri Keyz masih berada di pelukan Diablo, yang dalam tidurnya mencengkram erat seperti anak kecil memeluk guling. Wajah Diablo yang biasanya kaku dan penuh kehormatan, kini terlihat tenang dan bahkan mempesona. Tak ada kesan bahwa dia adalah iblis yang pernah membakar istana langit dan memporak-porandakan pasukan suci. Dalam tidur, dia terlihat seperti seseorang yang hanya ingin di belai.
Keyz menatap mereka berdua. Mereka... menjadi bagian dari hidupnya sekarang. Entah bagaimana semua ini terjadi, semuanya terasa seperti mimpi lain yang belum berakhir. Tapi ia tahu pasti, ini nyata. Rasa hangat dari tubuh Mimi. Hembusan nafas Diablo yang lembut di lengannya. Aroma kayu yang dipanaskan matahari dari atap mungil di atas kepala mereka.
Mimpi itu... bukan sekadar mimpi. Keyz yakin. Itu semacam panggilan. Atau peringatan.
Apakah Gabrielle masih memperhatikannya? Apakah Lucifer masih bersemayam di dalam lubuk jiwanya yang paling dalam? Apakah jalan yang ia pilih sekarang membawa kedamaian… atau menuju kehancuran?
Di luar, burung-burung kecil mulai berkicau di pepohonan. Sinar matahari menguning membelah ruang kecil tempat mereka beristirahat. Alice, yang membangun tempat ini dengan sihir putihnya, tak lagi bersama mereka. Hanya ada sisa-sisa energinya yang masih terasa di dinding dan lantai.
Keyz menatap ke luar dari celah kayu. Dunia di luar masih luas. Masih penuh rahasia. Tapi kini, dia tidak sendiri. Meskipun ditolak Sad Town, meskipun masa lalu Mimi tak jelas, dan meskipun dia belum menemukan siapa dirinya sebenarnya.
NB. Ilustrasi Gabrielle Di Dalam Mimpi Keyz.
NB. Ilustrasi Lucifer Di Dalam Mimpi Keyz.