Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
"Heni. Ayo kita pergi dari sini. Ayo pergi!"
Aku terbangun karena mendengar suara Pak Arga. Aku kira sudah pagi, ternyata masih tengah malam. Pak Arga menggigau cukup keras, yang membuat aku memilih diam karena igauannya mengenai Ibu Heni. Pak Arga meminta mereka pergi.
Pergi kemana? Kenapa harus pergi? Semua itu menjadi sebuah pertanyaan. Aku mencoba membayangkan apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apa Pak Arga tahu sesuatu? Sampai dia menginginkan mereka untuk pergi.
Kalimat igauan itu masih saja sama. Tidak ingin mengganggu yang lain. Aku menghampiri tempat tidur Pak Arga. Mencoba menenangkannya karena sudah terlalu lama.
Setelah tenang, Pak Arga melanjutkan tidurnya. Sementara aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku duduk di sofa, memandang ke arah Pak Arga yang saat ini tengah terbaring.
Semua tanda tanya ini kapan akan mendapat jawaban. Jujur saja, aku sudah mulai lelah. Aku tidak bisa menikmati waktu hidup dengan tenang. Di mana dulu aku membayangkan jika aku bisa hidup nyaman dan tenang sampai hari tua nanti.
[ Aku di luar. ]
Pesan dari Mada.
Sebelum aku keluar. Aku mengecek keadaan Pak Arga dulu. Semuanya baik, jadi aku keluar untuk menemui Mada. Pria itu menungguku di taman belakang. Di mana saat malam hanya ada beberapa sumber cahaya yang membuat suasana taman mengerikan bagiku.
Mada tengah berdiri di depan sebuah bangku saat aku datang. Lelah, aku langsung memeluk Mada begitu saja. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan oleh Mada. Selama kami masih memiliki ikatan suami istri, aku bebas melakukan apapun padanya.
"Ada apa?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya mengeratkan pelukanku padanya. Di mana aku mencoba mencari kenyamanan dalam hati yang gundah ini. Aku benar-benar merasa lelah.
Beberapa menit berlalu, akhirnya aku melepaskan pelukanku pada Mada. Menatap wajahnya yang juga terlihat lelah. Mungkin karena seharian ini bekerja dan aku tidak pulang bersama dengannya.
"Sudah makan malam?" tanyaku.
"Ya, aku memesan makanan online."
"Tidak apa. Besok aku akan masak untukmu."
Kami duduk di sebuah bangku. Aku menyender di bahunya. Lagi-lagi, aku mencoba untuk menenangkan pikiranku yang ingin menyerah dengan semua keadaan ini.
"Aku ingin berhenti."
Mada menoleh setelah aku mengatakan isi hatiku.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu jika mencari siapa diriku akan semelelahkan ini. Belum lagi datangnya orang baru yang semakin menambah pertanyaanku saja. Aku ingin cepat selesai."
Ternyata selega ini saat bisa mengatakan semua beban di dalam hati kita. Meski tidak mendapat solusi, tapi setidaknya aku tidak merasa sesak lagi.
"Apa ada orang yang menemuimu?"
Aku memberitahu Mada tentang Tante Mira. Juga apa yang dia katakan padaku. Belum lagi keadaan Pak Arga yang tenang hanya sesaat. Selepas itu dia bisa mengamuk tanpa hal yang jelas.
Aku memberikan botol obat yang diberikan Tante Mira padaku. Aku ingin Mada membantu menyelidiki tentang Tante Mira dan obat itu. Jika dia benar dalam pihakku, aku akan menggandeng tangannya. Jika tidak, aku tidak akan pernah mau berurusan dengannya lagi.
"Selama ini aku hanya fokus pada keluarga Pak Arga, aku sampai lupa pada keluarga ibuku. Seperti apa mereka dan bagaimana mereka pada ibuku."
Mada mengelus kepalaku perlahan. Aku menoleh, hanya hal seperti ini tapi aku merasa disayangi dan diperhatikan. Apa mungkin aku terlalu lebay karena selama ini aku hanya sendiri tanpa siapapun di sampingku.
"Kamu bisa mengandalkan aku," kata Mada kemudian.
"Terima kasih."
"Jangan mengatakan itu."
Lama kami menikmati waktu bersama. Sampai aku teringat dengan Pak Arga yang sendirian di dalam kamar. Kami akhirnya pindah ke ruang rawat. Malam ini, Mada memilih tetap bersamaku. Aku setuju, karena saat ini aku memang membutuhkannya.
*.*.*.*
Oma Melati datang ke rumah sakit. Saat itu aju juga sudah bersiap akan pulang karena semalaman tidak bisa terlelap. Mada sudah memintaku pulang bersama tadi pagi, tapi aku menolaknya. Aku ingin ada yang datang dan menjaga Pak Arga saat aku pergi.
"Mau sarapan dulu sama Oma?"
"Tidak Oma. Aku langsung pulang dulu saja. Nanti sore aku akan datang lagi."
"Terima kasih sudah menemani Arga."
"Tidak perlu sungkan Oma."
Kebetulan saat aku keluar dari rumah sakit aku berpapasan dengan Santi. Wanita itu sudah terlihat baik sejak terakhir kali bertemu. Senyuman di wajahnya juga terukir sempurna.
"Mbak Heera. Kok di sini? Siapa yang sakit?" tanya Santi.
"Iya, yang sakit kerabat suamiku."
"Begitu ya, Mbak."
"Gimana kondisi Bu Lia."
"Sudah sehat, Mbak. Ini aku lagi ngurus surat pulang."
"Syukurlah. Maaf, tapi aku harus pergi dulu Santi."
Rasa lelah di badanku benar-benar membuat aku tidak nyaman terus berdiri. Ingin rasanya cepat sampai di apartemen dan tidur dengan nyenyak. Tidak ada yang mengganggu.
"Tidak apa, Mbak. Mbak, terima kasih ya sudah bantu kami."
"Jangan sungkan begitu Santi. Kalian kan keluargaku," kataku dengan penuh keyakinan di hati.
Setelah berpelukan sebentar dengan Santi. Aku keluar dari rumah sakit. Badan rasanya begitu capek dan ingin segera istirahat. Padahal sudah ada sofa yang cukup besar untuk tidur. Namun, aku sama sekali tidak bisa melakukannya. Mungkin karena beberapa kali mendengar Pak Arga menggigau.
Jika saja semalam tidak ada Mada. Mungkin aku sudah nekat pulang ke apartemen dan istirahat. Sayangnya, Mada memilih menemaniku meski dia juga tidak nyaman tidur di sofa.
"Nona Heera."
Aku menoleh. Aron, entah dari mana datangnya pria itu. Dia mendekat dengan sebuah tas makanan di tangannya.
"Tuan meminta saya menjemput anda. Ini sarapan untuk anda."
"Terima kasih, Aron."
Aku menerima tas makanan itu. Mada benar-benar berubah sikap. Dia begitu memperhatikan diriku. Membuat aku berkali-kali jatuh hati padanya. Aku sangat bersyukur dengan keadaan saat ini.
"Nona."
"Ya?"
"Mau pulang sekarang?"
"Tentu. Di mana Mada?"
"Ada rapat mendadak pagi ini. Jadi, Tuan tidak bisa menjemput Anda."
"Tidak masalah. Asal dia baik-baik saja."
Aron mengangguk. Dia membukakan pintu belakang untukku. Setelah itu baru dia masuk ke tempat sopir dan menjalankan mobilnya. Sekilas aku bertemu mata dengan seorang wanita di luar sana. Elvi, ternyata dia tengah sibuk memperhatikan diriku.
Elvi, apa yang membuatmu begitu ingin tahu akan aku. Apa karena Mada? Atau karena kau sudah tahu siapa aku yang sebenarnya.
Aku membuka kotak makanan itu. Salad sayur, aku tidak terlalu suka makanan semacam ini. Meski begitu aku juga tidak bisa membuangnya begitu saja, apa lagi Mada yang sudah memberikannya padaku. Jadilah aku makan, meski beberapa kali aku harus minum agat tidak muntah.
Selesai makan aku mencoba menikmati perjalanan ini. Rasa kantuk yang sejak semalam aku tahan kini hadir. Sangat nyaman, apa lagi dengan angin yang berhembus ringan.