NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:868
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 15

Di satu hari yang tampak berat...

Pada sore menjelang malam, awan-awan kelabu menggantung berat di langit Thorns City. Hujan turun tanpa ampun, menghantam bumi seakan ingin menghapus segala jejak yang tertinggal. Gemericik air memantul di aspal basah, menari-nari di bawah lampu jalan yang mulai menyala samar.

Di jalan kecil dekat kedai Kiw Kiw Ramen, yang biasanya ramai oleh langkah kaki dan obrolan ringan, kini lengang. Tak ada satu pun orang berlalu-lalang. Hanya hujan dan dingin yang memeluk setiap sudut kota.

Dan di tengah kehampaan itulah, seorang pemuda berdiri diam di bawah guyuran hujan. Tubuhnya tegap, namun bahunya sedikit menunduk. Di hadapannya, seorang wanita dengan wajah basah oleh hujan dan air mata, menatapnya dengan sorot mata penuh luka.

"Aku membencimu, Jhon," ucap wanita itu dengan suara bergetar, namun tegas. Lalu tanpa peringatan, telapak tangannya mendarat di pipi Jhon. Suara tamparan itu terdengar nyaring, menyatu dengan denting hujan yang jatuh.

Plakkk.

Jhon tidak bergeming. Ia hanya menatap kosong, tidak berkata sepatah pun.

"Aku sudah muak! Ini sudah cukup... kita putus," lanjut wanita itu dengan napas tersengal, sebelum berbalik dan melangkah cepat meninggalkan Jhon sendirian.

Langkah wanita itu perlahan menjauh, suara langkah kakinya tenggelam oleh derasnya hujan.

Jhon tetap berdiri di tempat. Matanya tidak mengikuti kepergian wanita itu. Ia hanya menatap tanah di depannya, seperti seseorang yang baru saja kehilangan arah. Beberapa detik berlalu... lalu ia perlahan terlunglai.

"Selalu saja seperti ini..." lututnya menyentuh aspal yang dingin dan licin, tubuhnya ikut jatuh berlutut. Hujan tak berhenti mencurahkan luka dari langit. Pakaian Jhon basah kuyup, rambutnya menempel di dahinya, dan wajahnya... kosong. Datar. Tanpa ekspresi.

Air hujan yang membasahi pipinya tidak mampu menyembunyikan jejak air mata. Perlahan, dari kedua matanya mengalir kesedihan yang tak mampu ia tahan. Bukan lewat isakan keras dan tangisan meledak—tapi dalam diam serta pilu yang membeku.

Tangannya mengepal di sisi lutut, kukunya mencengkeram celana yang basah. Napasnya berat, namun teratur. Ia tidak berteriak, memohon, apalagi marah.

Ia hanya terdiam.

Diam yang penuh dengan ribuan kata yang tak pernah sempat terucap.

Dalam benaknya, kenangan demi kenangan berputar cepat. Senyum wanita itu. Tawa mereka. Janji-janji yang pernah mereka buat. Dan semuanya... runtuh, larut bersama air hujan yang mengalir di sela jalanan.

Di langit yang kelam, petir menyambar dari kejauhan. Suaranya menggema, seolah menertawakan penderitaan yang tidak bisa dibagi pada siapa pun.

Jhon mengangkat wajahnya ke atas. Hujan langsung membasahi matanya. Tapi ia tidak peduli. Bibirnya bergetar, nyaris berkata sesuatu, namun hanya napas putih yang keluar dari mulutnya yang kedinginan.

Malam itu, dunia seakan meninggalkannya. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa sendiri.

Sendiri... di tengah kota yang tidak pernah benar-benar memberinya tempat.

Sementara itu, di bawah derasnya hujan sore yang hendak berubah menjadi malam, Wislay tengah berjalan pulang menyusuri trotoar kota yang sudah tergenang air. Di tangannya tergenggam payung berwarna biru tua, sedikit miring karena angin sesekali datang dari arah samping. Wajahnya tampak lelah, bahkan sesekali ia memijit-mijit bahu kirinya dengan tangan bebasnya.

“Hari ini… kenapa tiba-tiba toko buku seramai pasar malam, sih?” gumamnya dengan nada menggerutu. “Kaki pegal, punggung serasa mau copot, tenggorokan kering kayak hati mantan.”

Ia menghela napas panjang sambil mempercepat langkah, berharap bisa segera tiba di kamar kost dan membaringkan tubuhnya yang sudah menjerit minta istirahat. Namun baru beberapa langkah berikutnya, matanya menangkap sesuatu yang membuatnya menghentikan langkah.

Di sudut trotoar, di bawah rintik hujan yang belum juga reda, seorang pria kelihatan terduduk. Bahunya terguncang pelan, wajahnya tersembunyi dalam genggaman tangan. Entah mengapa, pemandangan itu menggugah sesuatu dalam hati Wislay. Ia tak tahu siapa orang itu, tapi tubuhnya bergerak mendekat tanpa pikir panjang.

Begitu sampai, ia berdiri di dekat pria tersebut, lalu perlahan mencondongkan payungnya agar menaungi keduanya dari hujan yang tak kenal belas kasih.

Jhon, pria itu—tersadar. Guyuran air hujan yang sejak tadi membasahi kepalanya tiba-tiba berhenti. Ia mendongak, sedikit ragu, lalu tertegun. Di hadapannya berdiri seorang gadis… wajahnya lembut, matanya teduh, payung di tangannya miring ke arah dirinya.

Jhon mengenal wajah itu. Gadis yang pernah memesan ramen, dimana beberapa hari ini menghampiri kehidupannya secara samar-samar.

“Kenapa kau di sini?” gumam Jhon nyaris tak terdengar, suaranya parau dan kelelahan.

Wislay pun tersentak pelan. "Jhon?!"

Kini ia tahu siapa pria yang ia teduhkan. Jhon, yang di kehidupan sebelumnya dikenal sebagai leader grup idola ternama, BLUE. Namun saat ini, wajahnya kusut, bajunya basah kuyup, dan matanya sembab oleh tangis yang tertahan terlalu lama.

Dalam sekejap, hati Wislay dipenuhi perasaan tak nyaman. Seolah ia baru saja menyaksikan secuil masa lalu seseorang yang begitu berat.

Tanpa berkata panjang, ia berjongkok di sisi Jhon. Tangannya terulur, merangkul pelan punggung pemuda itu yang masih gemetar.

“Tidak apa-apa…” bisik Wislay lembut, suaranya seperti embun yang menenangkan. “Semua akan baik-baik saja.”

Jhon membeku.

“Jika kau merasa bahwa menangis adalah satu-satunya cara untuk meringankan bebanmu,” lanjut Wislay, “maka lakukanlah. Jangan tahan. Tidak semua luka harus disembunyikan.”

Ia menepuk-nepuk pelan bahu Jhon, seperti memberi sinyal bahwa dirinya tidak sedang menghakimi ataupun mengasihani. Ia hanya ada di sana... sebagai seseorang yang hadir, tanpa perlu banyak alasan.

Jhon tersengat oleh kata-kata barusan. Matanya masih merah, namun kini sorotnya tidak seterpuruk tadi. Ia menatap Wislay dalam-dalam, seakan baru sadar bahwa keberadaan gadis ini… menenangkannya.

Ia menelan ludah, kemudian berkata pelan, “Kau… aneh.”

Wislay tertawa kecil. “Kau baru tahu, sekarang?”

Jhon menggeleng, "aku saja tidak mengenal kau siapa." Dan untuk pertama kalinya sejak hujan turun, sebuah senyuman tipis akhirnya membentuk di bibirnya.

Hening sesaat di antara mereka. Hujan masih turun, tapi tak lagi terasa menakutkan. Di tengah dinginnya malam, dua jiwa yang tak sengaja bertemu… saling menghangatkan tanpa banyak kata.

Wislay kembali berdiri dan mengulurkan tangan. “Ayo. Kalau kau berlama-lama di sini, kau bisa masuk angin. Dan aku… bakal ikut-ikutan sakit.”

Jhon menatap tangan itu, lalu menggenggamnya dengan ragu, namun kuat.

Malam itu, di tengah kota yang basah dan dingin, Wislay menjadi payung pertama yang benar-benar melindungi Jhon. Bukan hanya dari hujan, tapi juga dari badai di dalam dirinya.

...****************...

...****************...

Langit malam masih menangis di atas kota Thorn, sebab hujan tak kunjung reda. Di depan sebuah mini market yang mulai sepi pengunjung, dua orang duduk lesehan di atas lantai berubin yang dingin. Di tangan mereka masing-masing tergenggam cup kopi susu hangat untuk menepis dingin yang menggigit.

Wislay duduk bersila dengan payung yang terlipat di sampingnya, rambutnya sedikit lembap, dan jaketnya yang tebal kini tersampir di pundak seseorang—Jhon.

Pemuda itu menunduk, wajahnya sendu, dan tubuhnya masih basah kuyup. Air masih menetes dari ujung rambutnya, mengguyur sedikit bahunya yang gemetar. Matanya menatap kosong pada cup kopi, seakan aroma manis susu tak sanggup menenangkan kekacauan batinnya.

Tanpa berpikir panjang, Wislay membuka jaketnya dan mengenakannya ke bahu Jhon.

Srettt.

“Eh? Apa yang kau lakukan?” tanya Jhon refleks, suaranya sedikit panik bercampur bingung.

Wislay tersenyum ringan, seolah tak peduli betapa jaketnya kini hanya menyisakan kaus lengan panjang yang sedikit basah karena hujan tadi. “Pakai saja. Nanti kalau kau sakit… siapa yang akan menghidangkan ramen untukku besok?”

Kalimat itu disampaikan dengan nada santai, namun sorot matanya jujur. Penuh kepedulian tanpa kepura-puraan.

Jhon terdiam. Terpaku. Memandang gadis di sampingnya yang baru dikenalnya beberapa hari lalu, namun kini duduk tenang di sampingnya, mengorbankan kehangatannya hanya untuk memastikan ia baik-baik saja.

“…Apa kau memang biasanya sespontan ini?” tanya Jhon, pelan namun tajam.

“Entahlah,” jawab Wislay sembari mengangkat bahu kecilnya. “Mungkin. Aku hanya… bergerak mengikuti hati.”

Jhon menarik napas pelan, sebelum menatap langit yang mulai menghitam. “Kalau iya, berhati-hatilah.”

“Berhati-hati?”

“Iya,” lanjut Jhon tanpa memandangnya. “Orang-orang bisa saja akan salah paham… pada orang yang terlalu mudah peduli seperti kau.”

Wislay mengerutkan keningnya. “Biarkan saja. Aku sih bodo amat.”

Kali ini Jhon menoleh. Menatap langsung ke mata gadis itu yang memantulkan keteguhan. Gadis aneh yang tertawa saat lelah, mampu tersenyum di tengah badai, dan bisa hadir pada saat paling dibutuhkan—tanpa diminta.

Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya ditemani suara hujan yang kini mulai melemah. Kemudian Jhon, pelan, berkata, “Kau… siapa namamu?”

“Wislay,” jawabnya mantap. “Namaku Wislay.”

Jhon mengangguk-angguk pelan, mengulang nama itu dalam benaknya, seperti menyimpannya dalam laci ingatan yang tidak akan dikunci.

Kemudian, tanpa jeda panjang, tangan Wislay terulur ke arahnya, "dan kau?"

"Jhon. Panggil aku, Jhon."

Dengan senyum tulus yang menyejukkan malam, Wislay berkata, “Salam kenal, Jhon.”

Jhon menatap tangan itu. Lama. Diam. Ia merasa dadanya sedikit hangat—bukan disebabkan oleh kopi maupun jaket, tapi karena sapaan dan senyum yang menyertainya.

Perlahan, ia menggenggam tangan Wislay. Genggamannya lemah dan teduh.

“Iya, Wislay,” ucapnya akhirnya.

Malam itu, bukan hanya hujan yang mereda, tapi juga mungkin badai dalam hati Jhon ikut surut didalamnya.

Dan di bawah langit Thorn yang masih berkabut, dua hati diam-diam mencatat satu bab baru tentang pertemuan yang tidak sengaja, namun mungkin telah dituliskan oleh semesta sejak lama.

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!