Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Best Daddys Award
Hari Jum'at siang dokter Mazaya sudah memperbolehkannya untuk pulang ke rumah. Namun tidak dengan Arung, yang masih harus mendapat penanganan intensif di ruang NICU. Sampai kondisi paru-parunya stabil, bisa mengisap dan menelan dengan baik, dan BB lebih dari 2 kg. Karena sampai tadi pagi, Arung masih tersedak saat menelan dan BB nya justru turun di 1,820 gram.
Ia pun terpaksa pulang dengan tanpa membawa Arung.
"Tiap hari kita juga bakal nengokin Arung sekalian ngantar ASI," Rendra berusaha menentramkan hatinya.
Awalnya Rendra sempat memintanya untuk tetap tinggal di rumah sakit selama Arung masih dirawat di NICU. Namun berada di rumah sakit terlalu lama justru membuatnya stres dan tertekan. Terlebih ketika seharian ia tak memiliki kegiatan, hanya duduk menunggu, bayangan samar wajah Rimba saat didekatkan di pipi usai dilahirkan terus menghantuinya.
Belum seliweran box bayi yang di dorong oleh para perawat menuju room-room di lantai tempatnya dirawat. Membuat hati semakin tersayat demi menyadari ia berbeda dengan yang lain.
Ia yang tak bisa membawa Arung ke dalam room. Ia yang belum bisa menyusui Arung karena refleks menelan yang belum baik. Bahkan penampilan sekilas Arung yang tak semontok bayi-bayi lain, selalu berhasil membuat sudut hatinya nyeri. Untuk kemudian menyalahkan diri sendiri.
Ia yang kurang hati-hati hingga sempat terpeleset di kamar mandi. Ia yang kurang ilmu dan pengalaman hingga tak memahami jika sakit perut hebat yang melanda adalah kontraksi. Ia yang terlalu menganggap remeh hingga tak segera pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan saat sakit perut aneh tak kunjung menghilang. Ia yang....
Sebuah usapan lembut di rambut membuyarkan lamunan sedihnya.
"Kamu mau mampir kemana dulu?" Rendra tersenyum menatapnya. "Mungkin mau makan dimana....atau jalan ke Mall....atau nonton?"
Ia menelan ludah yang terasa pahit, "Aku mau ke tempat Rimba."
Rendra tak menjawab. Namun lima menit kemudian menepikan kemudi di depan sebuah toko florist. As usual as always, tanpa mematikan mesin Rendra keluar, "Tunggu sebentar."
Tak sampai sepuluh menit Rendra sudah kembali sambil membawa dua ikat mawar putih yang sangat cantik. Lalu menyerahkan padanya sambil memasang senyum yang Rendra banget meski wajahnya jelas-jelas menampakkan kesedihan dan kelelahan.
"Buat istriku yang cantik....," Rendra meraihnya agar mendekat, lalu mencium keningnya dalam. "Terima kasih udah melahirkan anak-anakku."
Ia hanya menggigit bibir menahan tangis yang hendak keluar, demi menyadari Rendra tetap bersikap manis seperti biasa setelah semua yang terjadi.
Tanpa menunggu jawaban darinya, Rendra kembali mengarahkan kemudi ke jalan raya, dan tak mengatakan apapun hingga mereka sampai di depan sebuah makam berukuran kecil yang permukaannya tertutup oleh kelopak mawar merah yang mulai mengering.
Dengan sigap Rendra menyimpan kursi lipat yang sengaja dibawa untuk didudukinya, karena ia belum bisa duduk sambil berlutut. Setelah memastikan ia duduk dengan nyaman di kursi, barulah Rendra jongkok di sampingnya.
"Rimba sayang.....ini Papi datang lagi bawa Mami nak....," ujar Rendra sambil membersihkan beberapa daun rontok yang terjatuh di atas pusara.
Kalimat sederhana Rendra membuat seluruh perasaan kehilangan, kesedihan, kemarahan pada diri sendiri dan deretan perasaan negatif lain yang melingkupinya sejak hari minggu mendadak pecah tak terbendung. Membuat Rendra buru-buru meraihnya ke dalam rengkuhan.
***
Setelah melalui malam-malam panjang yang menyesakkan tanpa Arung di sisinya. Kunjungan tiap hari ke rumah sakit yang selalu saja mendebarkan karena BB Arung justru makin turun sampai pernah hanya mencapai 1,790 gram. Kadar bilirubin yang meningkat tajam hingga harus dilakukan fototerapi. Juga proses belajar Arung dalam mengisap ASI langsung dari sumbernya, kemudian menelan dengan baik tanpa tersedak, yang membutuhkan waktu tak sebentar.
Akhirnya, tepat 17 hari setelah dilahirkan, Arung berhasil mencapai BB yang disyaratkan yaitu 2,050 gram. Arung juga semakin pintar dalam mengisap ASI lalu menelan tanpa tersedak. Membuat dr. Barata memutuskan hal yang paling mereka tunggu, memperbolehkan Arung pulang dan dirawat di rumah.
Dengan senyum terkembang ia membawa Arung yang sedang terlelap dalam buaian masuk ke dalam rumah. Kepulangan mereka disambut dengan penuh sukacita oleh Papah, Mamah, Adit, Rakai, Mba Suko, dan Yu Jum yang telah menunggu.
"Sini biar Papah yang gendong," Papah mengulurkan tangan ingin menggantikannya menggendong Arung.
"Loh, kok Papah," Adit mengernyit. "Opa dong....Opa sama Oma," seloroh Adit sambil merangkul Mamah.
"Oiyo...lupa....," Papah tergelak.
"Opa Oma kayak orang bule aja," seloroh Mamah.
"Keren Mah, kekinian," Adit mengacungkan jempol.
"Sini....sini....Yangkung mau gendong....," Papah kembali mengangsurkan tangan ingin meraih Arung.
"Waduh, Yangkung ketuaan Pah," protes Adit sambil tertawa. "Papah kan masih muda."
"Ketuaan opo," Mamah menepuk bahu Adit. "Udah bener Yangkung sama Yangti...."
Membuat mereka semua tertawa. Tak terkecuali Arung yang meski matanya terpejam namun bibir mungilnya ikut menyunggingkan seulas senyum miring, persis seperti kebiasaan Rendra ketika sedang tebar pesona.
"Wah," Rakai geleng-geleng kepala takjub. "Kok bisa mirip elu banget sih Ren?! Kacau!"
"Eh iya bener," Adit ikut menggelengkan kepala heran. "Ini mah Abang pisan," lalu terkekeh penuh kemenangan. "Mba Anggi cuman buat numpang lahir doang."
Lagi-lagi mereka semua tertawa bahagia.
Malam hari, kali pertama ia bisa tidur bersama Arung, menjadi hal paling mendebarkan yang ia rasakan. Ia bahkan tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun.
"Belum tidur?" tanya Rendra heran yang baru masuk ke kamar setelah ngobrol dengan Papah dan Adit di ruang tengah.
"Kenapa? Arung rewel?" Rendra menghampiri untuk mencium puncak kepalanya sekilas.
Ia menggeleng, "Justru karena Arung nggak bangun-bangun dari tadi, aku jadi takut."
"Coba Abang lihatin....dadanya masih bergerak nggak?" pertanyaan paling tak masuk akal akibat dari kekhawatiran berlebihnya.
Rendra terkekeh, "Arung lagi bobo nyenyak gitu. Udah....kamu tidur aja. Nanti kalau bangun biar aku nen in pakai ASIP. Tinggal diangetin aja kan?"
"Ah, Abang suruh lihatin aja nggak mau," ia menggerutu sambil mendekatkan wajah ke dada Arung. Benar kata Rendra, meski tak kentara karena tertutup baju dan selimut, dada Arung turun naik dengan teratur.
Rendra tak menggubris gerutuannya, malah mendudukkan diri di belakang lalu meraihnya lembut hingga terduduk di pangkuan Rendra.
"Abang?! Mau ngapain?" ia menoleh dengan wajah menuduh kearah Rendra. Namun Rendra justru meniup hidungnya.
"Kamu ya, curigaannya nggak ilang-ilang," Rendra terkekeh. "Aku cuma kangen sama istriku," Rendra mendekapnya dalam-dalam. "Nggak boleh?"
Ia hanya bisa mencibir campur tersipu, terlebih ketika Rendra meletakkan dagu di atas bahunya. Membuat hembusan napas hangat beraroma mint mendesir halus di sepanjang leher dan telinganya.
"Sejak pertama pulang dari rumah sakit, sampai kemarin malam, kamu seperti bukan kamu."
Ia mengernyit.
"Kamu ada di sampingku, tapi pikiran kamu jelas nggak ada disini."
Ia menghela napas.
"Kamu nggak pernah mau diajak keluar. Sampai aku batalin semua rencana dinner diluar khawatir kamu jadi salah sangka."
Ia menoleh ke samping tepat saat Rendra juga sedang memandangnya. Dan setelah sekian lama, ia masih saja tersipu tiap kali matanya bertautan dengan manik cokelat milik Rendra.
"Aku terus kepikiran sama Arung di rumah sakit," jawabnya sambil mengalihkan pandangan karena manik cokelat itu selalu membuatnya terpesona.
"Padahal kamu juga perlu refreshing. Sekarang Arung udah di rumah, jadi besok mau ya kuajak jalan. Mumpung lagi banyak orang, jadi bisa jagain Arung selama kita pergi."
Namun ia menggeleng. "Jangan ah. Nggak enak sama Papah Mamah. Masa mau nitipin bayi merah ke beliau."
"Lho, justru ini ide dari Papah."
"Ah, masa?" ia jelas tak percaya.
"Serius. Mau ya. Nanti kamu deh yang pilih tempatnya. Sebentar kok, paling dua jam."
Ia kembali menggeleng. "Nggak tenang ninggalin Arung di rumah, sementara kita malah jalan."
"Kalau Abang beneran pingin ngajak dinner, mending nunggu Arung bisa diajak keluar malam. Biar kita bisa dinner bertiga."
Rendra mengangguk-angguk di atas bahunya.
"Atau dinner di rumah aja, jelas bisa bertiga," ia kembali menoleh ke arah Rendra. "Bukannya Abang jago bikin kejutan," tuduhnya setengah mencibir.
Membuat Rendra terkekeh dengan tangan kanan melepas rengkuhan untuk merogoh saku celana.
"Otakku lagi mampet nggak bisa mikirin surprise," Rendra terkekeh. "Tapi kalau yang ini enggak," ujar Rendra sambil membuka jari tangannya lebar-lebar untuk memperlihatkan sebuah cincin yang sangat cantik berkilauan. Dan tanpa menunggu respon darinya, Rendra telah menyematkan cincin tersebut di salah satu jarinya yang masih kosong. Kemudian mencium punggung tangannya lembut.
"Makasih udah ngasih kado yang paling indah," bisik Rendra sambil terus mencium jari jemarinya dengan penuh perasaan.
Kalimat Rendra membuatnya tercekat, "Abang ngomong apa sih. Kenapa selalu kasih hadiah yang berlebihan?"
"Kalau sanggup, bakal kubeli seisi dunia buat kamu," Rendra tersenyum. "Sayangnya baru bisa begini."
Ia memandang cincin berkilauan yang baru tersemat di salah satu jarinya. Rendra memang hampir selalu memberikan lebih dari yang ia inginkan atau perlukan. Termasuk sudah berapa banyak perhiasan kemilau yang dihadiahkan padanya. Kelak, ia mungkin bisa membuat memorabilia tentang hadiah apa saja yang pernah Rendra berikan untuknya.
"Dulu...tujuan utama hidupku adalah sukses dan materi."
"Aku bahkan nggak pernah bayangin bakalan bisa menikah sama seseorang....sampai punya anak....," kali ini Rendra beralih mencium rambutnya. "Never."
"Tapi, begitu ketemu sama kamu....," Rendra menggunakan jari tangannya untuk menghitung. "Aku malah pingin cepet-cepet punya keluarga sendiri yang ada kamunya," Rendra terkekeh pelan.
"Sampai kita bisa sejauh ini, aku bener-bener nggak pernah nyangka. Ngebayangin aja enggak berani, saking traumanya ditolak terus-terusan sama kamu," Rendra kembali terkekeh.
"Tapi sekarang kita udah jadi keluarga kecil. Feel blessed," lalu beralih mencium bahunya lembut.
Ia, yang entah mengapa sejak melahirkan menjadi lebih sensitif dan melankolis, mendadak berkaca-kaca, "Justru aku yang makasih sama Abang....," lalu memberanikan diri menoleh ke samping untuk kembali menatap manik cokelat Rendra yang selalu mempesona itu.
"Mau ngertiin aku waktu cranky nggak jelas. Nggak marah waktu aku jatuh. Nggak nyalahin waktu aku....waktu....," ia tak mampu melanjutkan kalimat.
Rendra kembali mencium rambutnya dalam, "Sshhh. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kamu harus sayang sama diri kamu sendiri. Jangan pernah mikirin hal seperti itu lagi."
Ia hampir terisak, namun bisa ditahan, "Aku takut Arung beda sama anak-anak lain karena dia prematur. Aku takut Arung nggak sekuat anak-anak lain karena dia BBLR. Aku takut Arung....."
"Arung pejuang sejati," potong Rendra cepat. "Lebih kuat dan tangguh dibanding yang kita kira. Dia pasti akan tumbuh jadi anak yang luar biasa."
"Kamu nggak usah overthinking. Nyiksa diri namanya."
"Kita nikmati waktu berdua, menemani Arung tumbuh menjadi the best version of us."
Rendra memang tak pernah main-main dengan ucapannya. Sejak malam pertama Arung pulang ke rumah, Rendra selalu memintanya untuk beristirahat dan tidur.
"Biar luka bekas operasi cepat sembuh," begitu kata Rendra.
Sedangkan Arung diurus oleh Rendra. Mulai dari ganti popok -karena kulit Arung alergi dengan pospak-, menyuapi ASIP, membacakan buku cerita, mendongeng, hingga menidurkan kembali.
Namun ia tentu tak bisa terus tidur sementara Arung menangis mengelak-elak. Ia pun masih berusaha mengurus Arung sendiri, meski Rendra selalu ikut terbangun untuk membantunya.
Rendra, tak pernah membiarkannya kerepotan sendiri mengurus Arung. Mulai dari menemani Arung yang anteng, lucu dan menggemaskan. Sampai menghadapi Arung yang menangis berjam-jam saat terserang kolik. Atau mengatasi Arung yang ngambek tak mau minum ASI melalui botol juga sendok saat ia mengalami mastitis. Bahkan Arung yang rewel semalaman karena demam setelah divaksin.
Di sela-sela kesibukan pula, Rendra kadang masih sempat memasakkan sayur bening daun katuk untuknya. Benar-benar tak bisa dipercaya bukan? Just too good to be true.
Tak lupa, setiap hari Rendra meminta Mba Suko untuk menyediakan jenis-jenis makanan yang bisa menstimulasi jumlah produksi ASInya.
Rendra hampir selalu ada bahkan saat ia mampu mengatasi semuanya sendiri. Dengan semua hal luar biasa yang Rendra lakukan untuknya dan Arung, membuat the best daddys award hampir bisa dipastikan goes to the one and only, Syailendra Darmastawa.
Kini, di usia menginjak 4 bulan, Arung telah tumbuh menjadi bayi yang sehat, lucu, montok, dan menggemaskan. Bayi yang tertawa tergelak-gelak saat Rendra mengajaknya bermain. Bayi yang menggumam-gumam senang ketika Rendra membacakan buku cerita. Bayi yang menjerit-jerit gembira tiap kali melihat Rendra muncul dihadapannya. Bayi yang tertidur nyenyak di pelukan Rendra. Bayi yang merupakan buah cinta mereka berdua.
***
Keterangan (dari berbagai sumber ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan) :
Yangkung. : singkatan dari eYang kaKung, bahasa jawanya kakek
Yangti. : singkatan dari eYang puTri, bahasa jawanya nenek
Kolik : menggambarkan kondisi ketika bayi terus menangis tanpa sebab yang jelas dan sulit dikendalikan. Biasanya terjadi pada bayi sehat yang berusia di bawah 5 bulan, di mana ia bisa menangis hingga lebih dari tiga jam selama kurang lebih tiga hari berturut-turut. Diduga karena adanya gangguan pencernaan, termasuk produksi gas dalam saluran cerna, usus yang sensitif terhadap jenis protein tertentu, lapar, atau terlalu kenyang
Mastitis. : peradangan pada jaringan pa yu dara. Dengan gejala nyeri pa yu dara, pembengkakan, suhu badan naik/hangat, demam, dan menggigil
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu