Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 - Jatuh Cinta Sama Istri
Tubuh Trista bergetar hebat dalam pelukan itu. Andra terdiam, membeku, tidak siap dengan kehadiran tiba-tiba yang menempel erat di dadanya. Aroma sabun mandi Trista masih tercium, lembut dan manis, bau yang sejak tadi berusaha ia hindari sekuat tenaga. Tetapi kini, gadis itu justru menubruk dirinya tanpa peringatan.
“Trista…” Andra menelan ludah. “Lepasin dulu… aku—”
Duar!
Petir kembali menyala, menerangi lorong rumah sesaat, lalu disusul gemuruh panjang yang membuat Trista memeluknya makin erat seakan nyawanya bergantung pada kedua lengannya.
“A-Andra… tolong… jangan lepas,” suara Trista bergetar hebat. Nafasnya tersengal, matanya memejam kuat-kuat, dan kedua tangannya mencengkeram punggung Andra tak karuan.
Andra menutup mata, frustrasi sendiri. 'Kenapa harus begini? Kenapa dia harus takut petir? Kenapa juga dia harus lari ke aku?'
“Tenang, itu cuma suara,” bisik Andra, mencoba melepaskan, namun Trista menggeleng panik.
“Jangan! Jangan tinggalin aku! Tolong… aku beneran takut, Andra… aku… aku nggak bisa kalau sendiri…” Suaranya pecah. Trista menangis.
Andra terdiam. Seluruh tubuhnya tersentak melihat air mata itu. Trista, perempuan yang selalu tampak tegas, galak, keras kepala, kini menangis seperti anak kecil ketakutan. Tubuhnya berguncang. Tangannya dingin. Napasnya tercekat.
Duar!
Trista kembali menjerit kecil dan tanpa sadar mencengkeram baju Andra.
Hati Andra mencelos. “…Oke,” ucap Andra akhirnya, suaranya melembut meski wajahnya pura-pura kesal. “Oke, sini. Masuk dulu ke kamarku. Kamu bakal sakit kalau berdiri terus kayak gini.”
Dia memegang bahu Trista, membimbingnya masuk. Gadis itu tak melawan, hanya memeluk lengan Andra erat-erat tanpa melepaskannya sedikit pun. Andra menutup pintu kamar dan menyalakan lampu.
“Naik ke atas,” katanya pelan.
Trista, masih gemetaran, menurut tanpa protes. Dia naik ke ranjang Andra dan duduk di tepinya sambil memeluk lutut. Andra berdiri beberapa langkah jauhnya, berusaha menjaga jarak aman. Tapi jarak itu langsung runtuh saat petir kembali menyambar.
Trista menjerit kecil lalu langsung meraih Andra lagi. “Jangan jauh-jauh! Jangan… plis…”
Andra mengusap wajahnya. “Trista… kamu parah banget takutnya.”
“J-Jangan lepasin aku…” tangisnya lirih, matanya memohon.
Andra merasa jantungnya meledak. Tanpa sadar, dia duduk di samping Trista, membiarkan gadis itu memeluk pinggangnya erat, seolah ketakutannya hanya akan hilang jika Andra ada di sana. Andra tidak membalas pelukan itu, setidaknya tidak dalam lima detik pertama. Lalu perlahan, tangannya bergerak sendiri. Mengusap punggung Trista. Menenangkan.
“Udah… aku di sini,” gumam Andra. “Nggak bakal kemana-mana.”
Trista mengubur wajahnya di dada Andra. “Andra… aku takut… aku beneran takut….” isaknya pecah lagi.
Andra menunduk, memandangi puncak kepala perempuan itu. Hatinya terasa seperti diperas. Bukan karena kasihan belaka. Tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Lebih berbahaya.
Duar!!
Trista kembali bergetar keras. Andra menarik napas panjang lalu akhirnya menarik seluruh tubuh Trista masuk ke dalam pelukannya. Menguat. Melindungi.
“Udah… udah. Kamu aman,” ucap Andra, kali ini lebih mantap.
Beberapa menit berlalu. Hanya ada hujan, petir, dan napas tersengal Trista yang perlahan mulai teratur. Tapi tubuhnya masih menempel pada Andra, enggan lepas.
“Andra…” panggilnya pelan.
“Hm?”
"Jangan pergi...” Suaranya lemah, penuh ketakutan asli.
Andra menahan napas. Jika petir tadi membuat Trista takut, maka kalimat itu membuat Andra ketakutan, dengan dirinya sendiri. Tanpa sadar, ia mengusap pipi Trista yang basah. “Aku nggak akan pergi…”
Trista menutup mata, akhirnya mulai tenang. “Maaf… aku ngerepotin…”
Andra menggeleng. “Bukan repot.”
Itu jawaban jujur. Dia justru tidak ingin melepasnya.
Trista menatap Andra dari jarak yang begitu dekat. Mata bengkaknya, pipinya memerah, bibirnya gemetar. Seluruh penampilan kacau itu justru membuat Andra merasa sesuatu dalam dirinya runtuh.
'Kenapa aku begini? Kenapa cuma lihat dia takut… aku jadi tambah nggak bisa jauh?' batin Andra.
Setelah beberapa saat, Andra membaringkan Trista perlahan ke ranjang. Trista tidak melepas pelukannya sepenuhnya, hanya berubah jadi menggenggam pergelangan tangan Andra erat-erat.
“Andra… jangan pergi. Sampai hujannya selesai… tolong…” katanya pelan, hampir berbisik.
Andra berdiri di sisi ranjang, melihat ke bawah. Melihat Trista yang tampak rapuh dan cantik dengan caranya sendiri.
Duar!
Trista kembali meringkuk, menarik lengan Andra lebih dekat ke tubuhnya.
Andra tidak kuat lagi. Ia duduk kembali di tepi ranjang, dan kali ini, ia memeluk Trista dari samping. Trista langsung memeluk balik, mengubur wajahnya di pundak Andra. Dan saat itu, sesuatu terjadi. Jantung Andra berdetak keras, bukan hanya kencang karena terkejut, tapi kencang karena perasaan yang menamparnya tanpa ampun. Dia tidak bisa berhenti memandangi Trista. Cara gadis itu menggigil. Cara dia mencari perlindungan. Cara ia memanggil nama “Andra” seperti itu penting. Semuanya membuat sesuatu di dalam Andra meledak.
'Aku jatuh cinta…?'
Andra memejamkan mata, meneguk ludah keras-keras.
'Ini salah. Ini gila. Ini nggak boleh. Ini istri kontrakku. Ini cuma kontrak. Cuma kontrak, Andra!'
Tapi hatinya tidak peduli. Karena setiap kali petir menghantam dan Trista semakin merapat, rasa itu tumbuh semakin besar, semakin liar, semakin tidak bisa dirinya redam. Ia mencoba menarik diri, namun Trista menggenggam bajunya.
Andra menyerah. Dia memeluk Trista erat-erat, menutup mata. Dan di tengah suara petir yang memecah langit, ia akhirnya mengakui dalam diam.
'Sial. Aku jatuh cinta sama kamu, Tris. Dan ini membuatku gila.'