"Genduk Mara, putu nayune Simbah Demang. Tak perlulah engkau mengetahui jati diriku yang sebenarnya. Aku ingin anak turunku kelak tidak terlalu membanggakan para leluhurnya hingga ia lupa untuk selalu berusaha membangun kehidupannya sendiri. Tak ada yang perlu dibanggakan dari simbah Demangmu yang hanya seorang putra dari perempuan biasa yang secara kebetulan menjadi selir di kerajaan Majapahit. Kuharapkan di masa sekarang ini, engkau menjadi pribadi yang kuat karena engkau mengemban amanah dariku yaitu menerima perjodohan dari trah selir kerajaan Ngayogyakarta. Inilah mimpi untukmu, agar engkau mengetahui semua seluk beluk perjodohan ini dengan terperinci agar tidak terjadi kesalahpahaman. Satu hal yang harus kamu tahu Genduk Mara, putuku. Simbah Demang sudah berusaha menolak perjodohan karena trah mereka lebih unggul. Tapi ternyata ini berakibat fatal bagi seluruh keturunanku kelak. Maafkanlah mbah Demang ya Nduk," ucap Mbah Demang padaku seraya mengatupkan kedua tangannya padaku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
"Mbah ibu, jenengan niku sayah sanget. Badan e damel istirahat mawon njeh. Mboten usah teng pundi-pundi. Kula namung ajeng tilik kali sekedap damel laporan rencana pembangunan saluran toyo," pamit raden mas dengan pada ibunya.
"Iya raden. Mbah ibu ora nyang endi endi."
Raden mas Demang terlihat keluar dari bale
"Jo, Paijo," seru raden mas Demang memanggil jongosnya.
"Inggih raden. Ada apakah gerangan jenengan memanggilku," Paijo datang dengan tergesa karena panggilan dari radennya.
"Dino iki, awakmu repot ora?"
"Mboten raden."
Wajah raden terlihat sumringah.
"Melu aku yo. Tilik saluran irigasi nek kali cerak omah wae. Asline hari ini ada peninjauan saluran irigasi area cedak sumber daerah kecamatan sebelah. Tapi mbah ibu lagi gerah. Aku izin ora masuk dino iki."
"Monggo raden."
"Sek aku tak nang sentong. Ganti baju."
"Bajuku sing nang gantungan kok podo ora enek yo?"Batin mas Demang.
Mas Demang mengambil baju berwarna hitam dengan celana kombor berwarna senada yang berada di atas nakas, dekat dengan kotak penyimpanan miliknya.
Raden mas Demang menaiki kuda, sementara Paijo menggunakan pedati. Sesampainya di sungai, ia mengaitkan tali kekang kuda pada pohon di sana. Sungai itu tidak seperti pada umumnya. Jalan menuju sungai itu menurun kurang lebih seratus meter dan memiliki sudut enam puluh derajat. Salah langkah sedikit saja, bisa-bisa tubuh terjun bebas ke arah sungai. Bila dari atas, tidak terlihat orang yang berada di sungai. Sangat berbeda dengan sungai lain yang dari kejauhan bisa terlihat siapa saja yang berada di sungai.
Didaerah itu, tinggi air lumayan landai, setinggi lutut orang dewasa. Tapi bila sampai hanyut, aliran air dibawahnya begitu tinggi. Bisa mencapai tiga hingga empat meter karena disana terdapat dua pertemuan aliran sungai dari daerah hulu.
Saat sudah dibawah, raden mas Demang melihat seorang perempuan tengah mencuci baju di sungai
"Lho, kae opo Lastri? Dewean nang kali. Arep mlebu kali wae dalane jlurung koyo ngene. Kok iso isone bocah kui milih kali model koyo ngene? Ora kali sing landai wae," omel raden mas Demang.
Raden mas Demang menghampiri gadis itu. Terlihat baju-bajunya yang ia cari telah berada dalam pegangan Lastri. Ternyata perempuan itu yang mengambil semua pakaian yang menggantung di kamar raden mas Demang.
"Lastri, lha ngopo sampean ngumbahi bajuku? Wong aku ki biasa ngumbahi bajuku dewean," sapa raden mas Demang.
Lastri menjingkat kaget mendengar suara di belakangnya. Ia menoleh ke arah sumber suara yang ternyata itu suara raden mas Demang.
"Raden, wau mbah ibu matur bilih piyantune nembe gerah. Ature baju niki badhe jenengan agem salat jumat mbenjeng. Akhire kula nyuci wonten kali mriki. Lek nyuci teng surau, kula mboten kiat ngangsu raden. Ajeng nyuwun tulung mas Paijo kula sungkan. Mas Paijo repot teng saben."
"Mengko mulih tilik saluran irigasi iki, serku tak umbahi dewe. Mbah Ibu kok ngutus sampean ki lho ngopo?"
"Mboten nopo kula umbahe raden."
"Ora usah mbok umbahi. Tak umbahane dewe."
Paijo hanya tersenyum melihat radennya bersiteru dengan mbak Lastri. Ia tahu, radennya itu begitu malu bila bajunya harus dicuci seorang perempuan yang bukan keluarganya. Mereka berdua asik berseteru tanpa menyadari kemeja berwarna hitam kesukaan raden mas Demang mulai hanyut di sungai.
"Mbak Lastri, bajune raden klinter niku lho," seru Paijo pada mereka.
Lastri melihat ke arah baju yang hanyut. Baju warna hitam kesukaan raden mas Demang
"Lastri. Jarke wae klambi iku. Bene. Ora usah dijupuk. Banyune miline banter."
"Tapi raden. Niko ageman yang paling jenengan remeni."
Lastri berlari mengikuti kemeja itu. Tanpa sadar, ia menapak pada batu yang licin di aliran sungai. Ia terpeleset dan tubuhnya yang kecil terlihat terseret arus sungai yang deras.
"Lastriiiiiiiiiiiii," teriak lantang raden mas Demang dengan penuh kepanikan.
"Jo, tulung bajuku kui gowo nang pedati ae. Mengko tak umbahane dewe.Tulung cepet munggaho. Coba tunggunen nek bok seseg kono wae. Aku tak nututi Lastri sing keli. Aruse banter tenan iki. Samarku aku ra iso nututi lastri," panik Raden mas Demang.
"Inggih raden."
Paijo segera berlari ke atas untuk meraih pedati dan melajukannya ke arah bok seseg. Raden Soemitro berenang dengan cepat menuju tubuh Lastri yang terlihat timbul tenggelam. Ia terlihat susah untuk menggapai tubuh perempuan itu karena arus sungai yang begitu kuat.
Arus sungai sangat kuat. Tinggi aliran sungai semakin ke bawah, semakin tinggi. Diperkirakan tiga hingga empat meter kedalamannya karena disana terdapat dua pertemuan aliran sungai. Baru saat di bawah bok seseg, arus sungai mulai agak landai. Hanya sekitar selutut orang dewasa hingga satu meter. Raden Soemitro sedikit hafal dengan aliran sungai yang berada tak jauh dari rumahnya ini karena ia telah melakukan peninjauan sebelumnya dengan aparat desa setempat. .
Saat tubuh Lastri menyembul ke atas, raden bergegas berenang mendekati tubuh gadis itu. Setelah dekat, ia mencoba meraih tangan dan menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya. Dengan pelan, dibawanya tubuh itu ke tepian sungai yang landai dan banyak ditumbuhi pohon pisang di sekelilingnya.
Dengan gemetaran, Mas Demang berusaha menekan dada Lastri dengan sekuat tenaga untuk mengeluarkan air yang memenuhi tubuh perempuan itu. Sedikit sedikit air mulai keluar dari bibirnya yang berwarna pucat karena terlalu banyak meminum air sungai.
"Lastri, bangun. Lastri," teriak raden mas Demang dengan badan gemetar.
Mas demang berusaha menekan perut Lastri dengan kuat, tapi air yang keluar hanya sedikit.
"Lastri, banguuuuuuunnnn," jerit mas Demang.
Dicobanya berkali-berkali menekan perut dan kini sedikit beralih ke atas. Raden semakin gemetar karena ia pertama kali memegang tubuh perempuan dan rasa takut yang bercampur menjadi satu.
Ia mencoba menekan dada Lastri agar air segera keluar dari tubuh perempuan itu.
"Lastri, banguunnnnnnn. Aku tak ingin kehilangan kamu. Tolong bangunlah," teriak raden mas Demang histeris.
Sedikit demi sedikit air mulai keluar dari mulut Lastri. Raden Soemitro mulai ketakutan.
"Haruskah kuhisap mulut perempuan ini agar air segera keluar? Tapi aku belum pernah berciuman sebelumnya? Tapi, aku sangat takut kehilangan Lastri? Sebentar. Takut kehilangan. Apa ini ... tandanya ... aku telah begitu mencintai Lastri?" batin raden mas Demang bergemuruh.
Saat raden Soemitro akan mendekat pada Lastri ...
Uhuk, uhuk, uhuk,
Lastri terbatuk. Mas Demang terlihat lega mengetahui perempuan itu telah sadar. Iya segera mendudukkan gadis itu agar bisa memuntahkan air yang berada di dada dan perutnya. Lastri terlihat sekali bisa mengeluarkan air di perutnya dengan sangat banyak. Tanpa sadar Raden Soemitro memeluk Lastri begitu erat dalam tubuh mereka yang begitu basah dengan air sungai.
"Aku sudah melarangmu untuk mengejar kemeja itu bukan? Mengapa kamu tetap mengejarnya? Melihatmu bergulung dengan aliran sungai yang begitu deras dan tak terlihat, membuat diriku serasa entek ati. Koplok banget. Kumohon mengertilah Lastri," bisik raden mas Demang.