Zian Ali Faradis
Putih dan hitamnya seperti senja yang tahu caranya indah tanpa berlebihan. Kendati Ia hanya duduk diam, tapi pesonanya berjalan jauh.
Azaira Mahrin
kalau kamu lelah, biarkan aku jadi jedanya.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Ketika lima macam Love Language kamu tertuju pada satu orang, sedangkan sudah ada satu nama lain yang ditetapkan, maka pada yang mana kamu akan menentukan pilihan.
Dira: pilih saja yang diinginkan.
Yumna: pilih yang sesuai dengan hati.
Aira; gak usah memilih, karena sudah ada
Yang memilihkan.
Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Melihat dia ada. Hadir juga. Hadir secara utuh, tak kekurangan suatu apa, rasanya sudah lega.
Itu saja sudah cukup, meski tak duduk bersama. Tak saling bicara, bahkan tak bertemu tatap walau sekilas. Tidak apa-apa.
Aira sudah merasa sangat senang. Bahkan.
Alhamdulillah.
Kalimat syukur ia lapalkan dalam hati.
Rasa cemas, dan khawatir perlahan pergi. Kini Aira bisa menuntaskan tugasnya sebagai pembawa acara maulid nabi di Darul-Fata itu, tanpa beban lagi.
Zian ada, dan baik-baik saja. Itu titik fokus kebahagiaannya saat ini.
"Kakak mau nginep di sini?"
Sekian lama duduk di pangkuan Aira, boneka hidup itu mendongak, dan bertanya.
"Mmm." Aira tak langsung menjawab. Menginap di Darul-Fata, tak menjadi rencananya. Namun, itu bisa menjadi pilihan yang baik. Dia tinggal menelepon Yumna, dan memberitahukan.
"Nginep ya, Kak. Haya pingin bubuk sama kakak." Si boneka hidup mengusap pipi Aira dengan tatapan penuh harap.
Aihh. Bola mata bening itu, wajah imut tanpa cela, kulit putih pucat dengan bibir merah merona. Siapa yang sanggup menolak pesonanya. Bahkan Aira pun tak tega untuk menolak permintaannya.
Haya adalah salah satu anak paling muda di Darul-Fata. Bocah 4 tahun yang dianugerahi pahatan indah itu sangat dekat dengan Aira.
Jawaban Aira berupa ciuman singkat di pipi Haya. Ia belum mampu memutuskan, kendati menginap di Darul-Fata sudah menjadi kemungkinan. Bagaimana pun sebaiknya tidak memberi janji yang tak bisa ditepati. Apalagi terhadap seorang anak di usia Haya. Aira sungguh tak ingin mengecewakan perasaannya.
"Apa kakak akan dicari suami, Kakak kalau menginap?" tanya Haya dengan tatap polos yang sangat menggemaskan.
"Eh. Suami?" Aira terkejut anak itu sudah mengenal istilah suami. "Siapa yang bilang itu ke Haya?"
Ning Raya sangat selektif dalam menerapkan pola didik pada anak-anak Darul-Fata. Sebagaimana pola didik yang diterapkan pada putri kandungnya sendiri. Beberapa kata dan istilah diperkenalkan sesuai dengan usia mereka, dan kebutuhannya untuk mulai mengetahui.
"Ummi Fatimah," jawab Haya jujur. Yang dipanggil umi Fatimah itu duduk tak jauh di dekat Aira. Mendengar celotehan Haya, wanita berhijab lebar tersebut, senyum.
"Umi Fatimah." Aira menegur lembut.
"Haya suka ingat kak Aira kalau mau bubuk ya. Pingin ditemenin kak Aira."
Fatimah menoel-noel pipi Haya.
"Umi kadang bingung mau jawab apa, kalau Haya nanya kak Aira mulu," lanjut Fatimah. Diangguki Haya.
"Mmm." Aira tersenyum pada Fatimah.
Lalu berkata lembut pada Haya yang masih betah di pangkuannya.
"Umi Fatimah bercanda. Kak Aira belum punya suami. Cuman kakak punya adik yang tidur sendirian di rumah, kalau kak Aira nginep di sini."
Haya si boneka hidup itu terlihat mencermati penjelasan Aira. Dan satu pertanyaan menggelitik darinya membuat Aira tersenyum. "Kapan Kak Aira punya suami? Umi Fatimah punya suami. Umi Ruha juga."
"Ee." Aira saling beradu tatap dengan Fatimah yang tertawa renyah.
"Nanti setelah dikasih sama Allah."
"Haya mau minta juga sama Allah." Haya berucap dengan nada khas seorang anak-anak.
"Minta apa, Nak?" tanya Fatimah.
"Minta suami buat kak Aira."
"Wahh, subhanallah. Terima kasih ya Haya cantik."
Haya mengangguk-angguk lalu tiba-tiba turun dari pangkuan Aira dan berlari ke arah seseorang sambil memanggil.
"Mas Ali!"
Zian berjongkok, merentangkan kedua tangannya, siap menyambut kedatangan Haya. Dan dalam sekejab tubuh mungil itu pun berada dalam dekapan Zian.
Fatimah dan Aira tersenyum melihatnya.
"Si paket komplit," celetuk Fatimah.
"Siapa?"
"Mas Ali. Muda, sukses, tampan, dermawan, dan penyayang. Cocok untuk jadi request jodohmu pada Allah."
Aira tersenyum. Ada desir lembut dalam dadanya. "Beda usia," katanya pelan.
"Masih usia yang jadi patokan?" Sebentuk teguran dalam pertanyaan Fatimah.
"Bukan. Tapi, tingkat ketakwaan," jawab Aira. "Cuman, kalau aku request yang seperti itu pada Allah, apa permintaanku gak ketinggian?"
Masih teringat dengan pengajian ustadz Raizan beberapa hari yang lalu. Bahwa kriteria utama dari calon jodoh yang perlu diperjuangkan itu adalah takwanya. Bukan yang lain. Kalau pun dapat yang lain, misal kaya, tampan, maka itu adalah bonus.
"Kamu istimewa lho, Aira. Pantas mendapat yang istimewa."
"Amiin, semoga Allah mengijabah."
"Nah begitu dong, jangan bantah. Biar jodoh yang udah dikemas, dan siap dikirimkan itu, gak dibatalkan sama Allah."
Aira tertawa renyah mendengarnya.
"Kayak barang pesanan ke online shop aja."
Fatimah masih ingin memperpanjang obrolan dengan Aira sebenarnya, namun, ia harus mengurungkan niatnya ketika terdengar suara Zian.
"Maaf ganggu."
Lelaki itu sudah berdiri tidak jauh dari keduanya duduk. Tak ada lagi Haya bersamanya.
Fatimah reflek berdiri dengan kedatangan lelaki itu, membuat Aira juga melakukan hal yang sama. "Mas Ali mau bicara dengan Aira?" Fatimah hanya menebak saja dengan pertanyaannya. Sebab Zian tak segera bicara, hanya menatap saja pada Aira yang nampak sedikit canggung dengan situasi saat itu.
"Iya."
"Oo silakan. Aira, aku temui anak-anak dulu, ya," pamit Fatimah pada Aira.
"Iya, Umi."
"Maaf, Kak," ucap Zian langsung pada Aira, sepeninggalan Fatimah.
"Gak papa. Kamu baik-baik saja?"
Sebenarnya Zian ingin menjelaskan kejadian yang menimpa, hingga tak datang untuk menjemput Aira. Namun, dari pertanyaan Aira menunjukkan, kalau gadis itu sudah tau sesuatu.
"Iya. Gue selamat. Tau dari siapa kalau gue sempat mengalami serempetan tadi?" tanya Zian heran.
"Terserempet mobil?" Aira malah balik tanya, dan lebih heran lagi reaksi gadis itu.
"Iya, mobil gue diserempet mobil lain."
"Terus gimana?"
"Gak papa. Hanya harus masuk bengkel aja."
Tatapan Aira masih terpaku pada Zian cukup lama seakan ingin memastikan kalau lelaki itu benar-benar tidak apa-apa.
"Kak Na ngasih tau, lu, Kak?"
"Bukan. Prima yang bilang."
"Prima?" Zian terlihat sangat heran. Atas insiden yang dialami, Zian hanya memberitahu Kinara, itu pun karena dia mau pinjam mobil kakak iparnya itu untuk menghadiri acara maulid di Darul-Fata.
Lalu bagaimana Prima bisa tahu.
"Prima liat saat melintas di jalan yang sama, katanya," jelas Aira, saat melihat tatap heran dari Zian.
Lebih heran lagi sekarang. Kalau memang Prima melihat kejadian itu, kenapa dia gak menghampiri Zian. Mereka saling kenal, meski tidak akrab. Normalnya setiap manusia bila melihat orang lain yang dikenalnya mengalami musibah di depan mata, pasti timbul rasa simpati, dan menunjukkan sedikit kepedulian dengan menghampiri.
Ahh mungkin Prima sedang terburu-buru.
Atau bisa jadi, dia tau kalau Zian ada janji dengan Aira. Mengingat laki-laki itu justru mengalami insiden, Prima buru-buru pergi untuk menggantikan.
(Hanya cewek yang bisa berpikir kayak gini. Cowok pikirannya gak akan seribet ini. Kata Zian.
Kan yang nulis emang cewek. Kataku)
"Dia tadi yang nganter lu kemari?"
tebak Zian.
"Iya."
"Sekarang udah mau pulang kan? Ayok bareng!"
"Mobil kamu bukannya di bengkel."
"Gue bawa mobilnya kak Na."
Aira mengangguk saja. Tatap mata ragu nampak terbersit di matanya.
"Yuk kak, udah lewat jam 10 ini."
"Ee kamu liat mobilnya Prima gak di depan?"
"Gue gak tau mobilnya. Lu udah janjian sama dia?"
"Gak." Aira menggeleng.
"Ya udah ayok!"
"Bentar. Aku mau mastiin dulu, mobilnya masih ada atau gak?"
Aira segera melangkah ke arah gerbang depan. Zian mengikuti tanpa kata.
Sampai di gerbang, Aira mengawasi bahu jalan dengan seksama, dan tak menemukan mobil Prima lagi di sana.
"Aman?"
tanya Zian saat dilihatnya gadis itu menghela napasnya.
Aira mengangguk.
"Emang Prima itu siapa bagi elu, Kak? Kok elu sampai jaga perasaanya kayak gini," tukas Zian.
"Jaga perasaan?"
"Elu kayaknya takut diliat Prima kalau lagi jalan sama gue."
"Bukan begitu, Zian," ralat Aira cepat.
"Prima memang bilang mau jemput aku pulang. Tapi aku nolak, aku beralasan mau numpang ke mobilnya ning Raya. Tapi, barusan saat acara usai. Aku liat mobil dia di seberang jalan sana. Makanya aku mengulur waktu gak langsung pulang."
"Ooh gitu. Kirain lu takut ketahuan dia kalau lagi sama gue."
"Mana ada. Hanya jalan sama kamu aja yang bikin aku ngerasa aman."
"Trus napa tadi gak nunggu gue aja?
Malah pergi sama si Prima-Prima itu?"
"Eh itu, aku--"
Melihat Aira gugup, Zian tertawa santai.
"Lu tunggu sini, gue ambil mobil." Lelaki itu segera berlalu meninggalkan Aira yang meraup napas lega. Kenapa aku malah bilang gitu sih ke Zian. Aira protes pada dirinya sendiri.