Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13
Bi Iyem tersenyum lebar, seolah sudah memprediksi reaksi itu sejak awal. “Mungkin ada baiknya besok Nyonya periksa ke dokter. Supaya lebih jelas dengan hasilnya,” katanya sambil mulai merapikan meja makan yang penuh hidangan.
Ibu Maisaroh tersenyum pada Alea dengan lembut. “Kalau memang benar… ini kabar yang sangat membahagiakan, Nak.”
Alea tak bisa berkata apa-apa. Hanya suara hatinya yang terus bertanya-tanya, benarkah ia sedang mengandung?
---
Siang itu, pria dingin itu kembali menenggelamkan dirinya dalam tumpukan pekerjaan. Pulang ke rumah sama sekali bukan pilihan—bahkan untuk sekadar memberi dirinya waktu beristirahat pun ia enggan. Kehadiran Alea membuat hidupnya terasa semakin kacau. Sejak kekasih yang pernah ia cintai menikah dengan pria lain meski sudah bertunangan dengannya, hatinya mati. Cinta bagi dirinya kini hanya menyisakan luka dan kekecewaan yang tak kunjung sembuh.
Sementara itu, di rumah, Ibu Maisaroh gelisah. Setiap menit, Alea memuntahkan makanan yang baru saja ia telan. Wajah gadis itu semakin pucat, tubuhnya tampak lemah. Hati seorang ibu tak mungkin bisa tenang melihatnya begitu.
“Alea, kita ke dokter sekarang, ya?” suara Ibu Maisaroh terdengar lembut, bersamaan dengan usapan hangat di punggung menantunya.
Alea mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya sayu, seperti kehilangan tenaga untuk berdebat.
“Apa… harus sekarang juga, Bu?” suaranya terdengar hampir berbisik.
“Ibu khawatir keadaanmu akan semakin buruk kalau terus-menerus mual seperti ini, Nak,” jawab Ibu Maisaroh, nada suaranya mengandung kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
“Tapi…”
“Jangan menolak.” Ibu Maisaroh memotong lembut kata-kata Alea. “Sekarang bersiaplah. Ibu sudah menyuruh sopir untuk mengantar kita ke rumah sakit.”
Alea diam. Dalam hatinya ada rasa takut sekaligus enggan. Bukan karena ia tak ingin diperiksa, tapi akhirnya mau tidak mau dia harus menuruti perintah sang ibu mertua. Melihat raut wajah Ibu Maisaroh yang begitu khawatir, ia tak sanggup menolak.
Beberapa menit kemudian, mobil hitam milik keluarga itu sudah terparkir di depan rumah. Sang sopir berdiri menunggu, membukakan pintu dengan sopan. Ibu Maisaroh menggandeng tangan Alea dengan hati-hati, seolah takut gadis itu akan jatuh kapan saja.
Sepanjang perjalanan, tak banyak suara terdengar. Alea bersandar lemah di kursi belakang, memejamkan mata menahan pusing yang sesekali datang menyerang. Ibu Maisaroh hanya sesekali menatapnya, matanya memantulkan rasa cemas yang dalam.
Setibanya di rumah sakit, dokter segera melakukan pemeriksaan. Ibu Maisaroh menunggu di luar ruang periksa dengan gelisah, jemarinya tak henti meremas ujung kerudung yang ia kenakan. Waktu terasa begitu lambat.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah serius.
“Ibu Maisaroh?” panggilnya pelan.
Ibu Maisaroh segera berdiri. “Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?” tanyanya, jantungnya berdegup kencang.
Dokter menatapnya sejenak, kemudian berkata, “Kondisi fisiknya lemah karena sering muntah. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan penyebabnya. Sejauh ini… ada kemungkinan menantu ibu sedang hamil.”
Ibu Maisaroh terdiam. Kata-kata dokter itu bergema di kepalanya. Hamil?
-
Di dalam ruang periksa, Alea duduk di tepi ranjang. Tubuhnya masih lemah, namun telinganya menangkap jelas setiap kata yang keluar dari mulut dokter tadi. Kemungkinan sedang hamil.
Jantungnya berdegup tak karuan. Perasaannya bercampur aduk—antara takut, bingung, dan tak percaya. Bagaimana mungkin? Di saat dirinya bahkan masih merasa asing dengan suaminya sendiri, kabar itu datang begitu tiba-tiba.
Ibu Maisaroh masuk ke dalam ruangan, menatap Alea dengan mata yang bergetar halus.
“Alea… dokter bilang…” ucapannya menggantung, seolah takut kata-kata itu akan memecahkan hati menantunya.
Alea menunduk, jemarinya meremas ujung selimut di pangkuannya. "Apa benar aku hamil…? " bisiknya lirih di dalam hati, tak terdengar.
“Nak… dokter sudah memeriksa. Ternyata kamu… kamu hamil, Alea.” Ibu Maisaroh mengelus punggung Alea lembut, penuh kasih. “Tapi kita masih harus melakukan pemeriksaan lanjutan. Kita tunggu hasil pastinya, ya?”
Alea hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya ada rasa takut yang tak bisa ia jelaskan. Bukan karena dirinya tak menginginkan seorang anak, tapi karena sosok pria di rumah itu—suaminya—begitu dingin, seolah tak ingin terikat pada siapa pun, termasuk dirinya.
“Ibu tinggal keluar sebentar. Kamu tunggu di sini, ya?” ucap Ibu Maisaroh.
Alea mengangguk lagi, masih diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
---
Sementara itu, di kantor, pria dingin itu menerima telepon dari Ibu Maisaroh.
“Faizan… kapan kau pulang? Ada sesuatu yang ingin Mama sampaikan padamu,” suara Ibu Maisaroh terdengar penuh harap sekaligus cemas.
Di seberang sana, Faizan terdiam. Jemarinya yang tadi lincah mengetik di laptop kini berhenti di udara. Kata-kata ibunya bergema di kepalanya. "Pasti gadis itu lagi."
Entah kenapa, mengingat rumahnya membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa dunia sedang mempermainkannya. Cinta sudah lama ia kubur. Pernikahan ini pun ia jalani tanpa rasa… dan sekarang Alea mungkin kembali mengalami sesuatu yang membuatnya harus masuk rumah sakit?
“Ya. Malam ini juga Faiz akan pulang,” hanya itu yang keluar dari mulutnya, dingin seperti biasanya. Namun jauh di dalam sana, ada gelombang emosi yang tak ia mengerti sendiri.
-
Malam harinya, Faizan pulang lebih awal dari biasanya. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti di halaman rumah. Lampu-lampu rumah sudah menyala, memberi kesan hangat, tapi di dada Faizan justru terasa semakin sesak.
Begitu ia melangkah masuk, Ibu Maisaroh sudah duduk di ruang keluarga, menyambut putranya dengan raut wajah yang sulit ditebak—campuran antara lega dan cemas.
“Faiz… akhirnya kau pulang juga,” sambutnya lembut.
“Ada apa Mama menyuruh Faiz pulang? Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Faizan setelah duduk bersandar di sofa.
Ibu Maisaroh menghela napas panjang. “Huuuf… Alea, Faiz,” ucapnya pelan.
Faizan hanya terdiam. Matanya terus menatap kamar Alea, tapi untuk menemui gadis itu, hatinya masih dipenuhi keraguan. Sejak awal, pernikahan ini tak pernah diwarnai cinta. Semuanya hanya karena keadaan.
“Ada apa lagi dengannya?” tanya Faizan serius, nada suaranya terdengar dingin tapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan.
“Alea… dia… dia hamil, Nak.”
Mendengar jawaban sang ibu, jantung Faizan berdegup kencang. Ia seakan tak percaya dengan kabar itu. Spontan, ia memalingkan wajah, mengusap wajahnya kasar, dan menghembuskan napas panjang—berusaha menenangkan gejolak yang tiba-tiba menyerbu dadanya.
Faizan duduk beberapa detik tanpa suara. Kata-kata ibunya barusan terus terngiang di kepalanya—Alea hamil. Ia tidak tahu harus merasa apa. Bahagia? Marah? Atau kecewa? Semuanya bercampur jadi satu, membuat dadanya terasa semakin sesak.
Akhirnya, dengan langkah berat, ia bangkit dan berjalan menuju kamar Alea. Tangannya sempat terhenti di gagang pintu. Ada rasa asing di sana—kamar yang seharusnya menjadi tempatnya dan Alea, tapi selama ini terasa seperti dua dunia yang berbeda.
Perlahan, pintu itu terbuka.
Alea sedang duduk bersandar di ranjang, wajahnya pucat, tubuhnya tampak lemah. Begitu melihat Faizan, ia menegakkan tubuhnya sedikit, meski jelas terlihat bahwa dirinya tidak punya banyak tenaga.
Faizan berdiri di ambang pintu. Pandangannya dalam, tapi sulit ditebak apa yang ia rasakan. Suasana hening menyelimuti ruangan beberapa detik sebelum akhirnya ia bicara.
“Benarkah… kau hamil?” suaranya terdengar berat, dingin, tapi ada sesuatu di dalamnya—entah itu kekecewaan atau emosi lain yang berusaha ia sembunyikan.
Alea menunduk, jemarinya meremas ujung selimut. “Dokter bilang… kemungkinan besar begitu. Tapi… besok harus diperiksa lagi untuk memastikan,” ucapnya lirih, nyaris berbisik.
Faizan menghela napas panjang. Ia melangkah masuk, berdiri tak jauh dari ranjang. Tatapannya tertuju pada Alea, penuh pertanyaan yang tak terucapkan.
“Apa kau sudah baik-baik saja?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih tenang tapi tetap kaku.
Alea mengangguk pelan, meski wajahnya masih pucat. “Hanya sedikit pusing…”
Untuk pertama kalinya sejak lama, ada jeda dalam sikap dingin Faizan. Ia menatap Alea cukup lama, seperti berusaha memahami sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti.
“Besok kita ke dokter,” ucapnya singkat, lalu berbalik meninggalkan kamar, menyisakan Alea dengan hati yang semakin tak menentu.
...----------------...
Bersambung...
***
🌙 Hai, para pembaca setiaku! 🌙
Maaf banget ya, baru sempat update kali ini. Sejak kemarin aku kurang enak badan, jadi ceritanya sempat tertunda. Tapi jangan khawatir… Insyaallah hari Senin bakal ada double update spesial buat kalian semua! 💕
Terima kasih banyak sudah sabar nungguin cerita ini. Semoga kalian selalu betah dan terus jatuh cinta sama alurnya. I love you sekebon buat kalian semua! 🥰
Sampai jumpa di update selanjutnya, ya. Selamat malam dan selamat membaca! 🌟
See you, guys! 💌