Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Lira duduk di tepi ranjang, lutut tertekuk, jemarinya sibuk menggigiti kuku. Jantungnya berdebar cepat, matanya terus menatap layar ponsel—menunggu nama Keniro muncul.
Getaran tiba-tiba membuatnya hampir menjatuhkan ponsel.
“Ken!” serunya cepat.
“Halo, Lira. Aku sudah di kantor, aku mulai pelacakan sekarang. Jangan matikan teleponnya.”
“Iya, aku pegang terus,” jawabnya buru-buru.
Di seberang, Keniro terdengar mengetik cepat, suara keyboard berpacu dengan napasnya. Namun beberapa saat kemudian, nada suaranya berubah kaku.
“…aneh,” gumamnya.
“Ada apa, Ken?” suara Lira tegang.
“Alat pelacakku cuma muter terus, Ra. Tidak nemu titik koordinasi sama sekali.”
“Apa maksudmu?”
“Lokasimu… tidak ada di peta. Aku coba zoom, aku pakai satelit, tapi yang terlihat hanya hutan kosong. Tidak ada bangunan, tidak ada tanda aktivitas.”
Lira menelan ludah, wajahnya pucat. “Astaga… jadi bukan hp-ku yang eror semalam. Memang beneran… nggak ada.”
“Tenang dulu. Jangan panik,” ucap Keniro cepat. “Kamu harus bantu aku. Coba jelasin apa yang kamu lihat di sekitarmu. Detail sekecil apapun bisa membantu.”
Lira menarik napas panjang, menoleh ke jendela. Dari sana ia melihat pepohonan tinggi menjulang, angin dingin hutan menyusup lewat celah tirai.
“Rumah ini berdiri sendirian di tengah hutan. Besar, mewah, seperti istana kecil. Bahannya dari batu hitam dan kaca. Sama sekali nggak cocok berdiri di tempat sesunyi ini.”
“Oke, terus?”
“Sejauh mataku memandang, nggak ada jalan setapak. Nggak ada jejak kendaraan. Kayak… rumah ini terisolasi. Aku bahkan nggak dengar suara apapun selain angin dan hutan.”
Suara Keniro semakin serius. “Kalau begitu… mungkin rumah itu dibangun di area yang memang belum terdata. Bisa juga memang sengaja ditutupi. Semacam properti ilegal atau proyek rahasia. Tapi aku belum bisa pastikan.”
“Ken, jadi aku ini ada di mana?!” suara Lira meninggi, hampir putus asa.
“Tenang, Ra. Aku akan cari jalur alternatif. Satelit, data topografi, apapun. Tapi butuh waktu. Kamu yang sabar, ya.”
Lira menggenggam ponselnya erat, tubuhnya bergetar. Pandangannya melirik ke pintu kamar yang terkunci dari luar.
“Ken, cepat ya… aku nggak tahu sampai kapan bisa aman di sini.”
Tiba-tiba—lantai kamar bergetar halus. Bukan seperti gempa, tapi seperti sesuatu yang berat bergerak di kejauhan. Hutan di luar sana berdesir dengan suara aneh, membuat bulu kuduknya meremang.
Lira melangkah pelan keluar dari kamar, telapak kakinya hampir tak bersuara di atas lantai marmer dingin. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menangkap sosok Yash berdiri kaku di depan jendela besar. Punggungnya tegap, bahunya menegang, dan tatapannya terfokus ke luar.
Lira mendekat, menahan napas. Begitu matanya ikut mengintip ke luar jendela, darahnya serasa berhenti mengalir.
“Ya Tuhan…” bisiknya gemetar.
Halaman luas yang biasanya sunyi kini dipenuhi sosok-sosok asing. Bayangan hitam berwujud kabur, tubuh-tubuh bengkok dengan mata menyala, hingga makhluk bertanduk yang bergerak gelisah. Jumlah mereka tak terhitung, jauh lebih banyak dibanding yang ia lihat kemarin. Suara geraman dan bisikan rendah bercampur, bagai orkestra kengerian yang terus menghantam telinga.
“Banyak sekali…” Lira menutup mulutnya, langkahnya refleks mundur. “Mereka mau apa?”
“Mereka semua terpanggil,” jawab Yash tanpa menoleh, suaranya datar tapi berat. “Karena cahaya yang keluar darimu kemarin.”
Lira menoleh cepat, wajahnya pucat pasi. “Kita harus pergi dari sini, Yash. Kalau mereka sudah sebanyak itu, mereka pasti—”
“Tidak.” Yash akhirnya menatap Lira, matanya dingin namun tegas. “Kita lebih aman di sini.”
“Aman?!” Lira hampir berteriak. Ia menunjuk ke luar jendela dengan tangan gemetar. “Kau lihat itu?! Mereka mengepung kita!”
Yash menghela napas, mendekat, lalu menunduk sedikit agar sejajar dengan wajah Lira. “Kau tidak mengerti. Mereka tidak bisa masuk. Yang mereka rasakan hanya keberadaanmu… pancaran cahaya abadi dalam tubuhmu. Tapi mereka tak benar-benar tahu kalau di depan mata mereka ada sebuah rumah.”
Lira mengerutkan kening, kebingungan bercampur ngeri. “…apa maksudmu?”
Tatapan Yash menggelap. “Tempat ini bukan rumah biasa. Ini bangunan ilusi… dibuat oleh orang bunian. Mereka adalah makhluk yang gemar memanipulasi pandangan manusia—menyulap hutan menjadi istana, menjebak orang tersesat agar tak pernah bisa keluar.”
Lira tersentak. Pantas saja… peta tidak bisa mendeteksi, dan bahkan Keniro tak menemukan lokasi rumah ini. Pantas saja hatinya sejak awal terasa aneh. “Jadi… sejak awal… aku sudah terjebak dalam… jebakan bunian itu?”
Yash menatapnya lama, lalu berkata pelan namun tegas. “Ya. Dan satu-satunya alasan kau masih aman… adalah karena aku di sini.”
Di luar, suara lolongan panjang terdengar—serempak, seperti aba-aba perang. Ribuan pasang mata merah menoleh ke arah rumah, meski pandangan mereka tak menemukan apa-apa selain pepohonan gelap.
Lira merasakan hawa dingin menjalar ke tulang. Ia menggenggam lengan Yash, meski genggamannya gemetar. “Kalau begitu, berapa lama ilusi ini bisa bertahan?”
Yash tersenyum tipis, nyaris seperti ejekan. “Itu bukan pertanyaan yang seharusnya kau pikirkan. Pertanyaannya… siapkah kau menghadapi saat mereka berhasil menembusnya?”
Lira berdiri tegak, meski jantungnya berdebar kencang. Tatapannya menusuk lurus ke arah Yash yang masih berdiri di dekat jendela besar. Suaranya tegas, tanpa ragu lagi.
“Ajari aku mengendalikan cahaya ini.”
Yash menoleh perlahan, seolah kalimat itu hanya lelucon kecil. Sebuah senyum miring muncul di wajahnya, lalu ia terkekeh rendah.
“Cahayamu tidak sekuat yang kau bayangkan, Lira. Kau lihat mereka di luar itu?” ia mengangguk ke arah halaman yang dipenuhi makhluk-makhluk buas, “jumlahnya ratusan. Kau pikir secercah cahaya bisa menyingkirkan mereka semua?”
Lira mengepalkan tangan, menahan perasaan tak berdaya yang menyiksa. “Kalau begitu, apa solusimu?”
Yash menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya pada Lira. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
“Pertama, aku akan…”
Lira menatapnya penuh harap. “Apa?”
Bibir Yash melengkung licik. “…menikmati waktu berduaan denganmu.”
“Apa?!” Lira mendengus, wajahnya memerah campur kesal. “Sialan! Aku serius, Yash!”
Namun Yash hanya mengangkat alis, ekspresinya sama sekali tak goyah. “Kau pikir aku bercanda?”
Lira terdiam, tidak menemukan kata. Hatinya bergejolak, antara ingin menampar pria itu atau justru lari dari sorot matanya yang terlalu intens.
“Ikuti saja,” lanjut Yash, suaranya berat namun lembut, seolah itu perintah. “Aku ingin menghabiskan waktu denganmu. Melakukan apapun bersama… bahkan jika hanya duduk diam tanpa bicara. Asalkan bersamamu.”
Kata-katanya menggantung di udara, berat dan menekan dada Lira. Gadis itu menggeleng pelan, matanya memaling ke arah lain untuk menghindari sorot Yash. “Kau memang tidak waras, Yash…” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan kecewa.
Tanpa menunggu balasan, Lira berbalik. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ingin menjauh dari bayangan pria itu. Gaun tidurnya bergoyang seiring gerakan kakinya, kontras dengan keheningan ruangan.
Yash hanya menatap punggung Lira yang perlahan menjauh. Senyum samar muncul di bibirnya, bukan tawa, melainkan sesuatu yang sulit diartikan—antara puas dan tak rela. Jemarinya mengetuk bingkai jendela, matanya kembali melirik ke luar pada kawanan makhluk yang masih mengepung.
“Pergilah sejauh yang kau mau, Lira,” gumamnya dalam hati. “Tapi kau tidak akan pernah benar-benar bisa lari dariku.”