Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Hari Pertunangan
Ben mendapatkan panggilan dari Brata, ia langsung bergegas ke ruang pribadinya.
Pintu ditutup rapat-rapat dari luar sehingga percakapan itu benar-benar bersifat pribadi.
"Duduklah," ucap Brata. Ben mengangguk lalu duduk di hadapan Jaksa Agung itu.
"Ada hal yang perlu saya bicarakan empat mata dengan kamu."
"Maka saya bersedia, silakan Pak Brata."
Brata menghela napas panjang lebih dulu, percakapan ini akan membuatnya emosional, jadi ia harus mencari suasana yang pas.
"Pertama, saya tak menyangka bodyguard yang menjaga putri saya adalah seorang keturunan Santoso Soedjono, ayahmu yang sangat berani itu," ucapnya pelan.
"Kepercayaan saya padamu jadi melesat tinggi, maka dari itu saya ingin meminta bantuan kepadamu, Ben." Pandangannya tajam menatap Benjamin.
"Bicarakan saja," tandas Ben to the point.
•••
Hayaning tengah berada di ruang rias sendirian, ia sibuk memainkan ponselnya tanpa menyadari ada seseorang yang masuk.
"Kamu sangat cantik,"
DEG!
Ponselnya terjatuh ke lantai sementara ia segera berdiri dan membalikkan badannya dengan napas tercekat.
"Mas Bara mau apa?" tanyanya dengan suara goyah. Bagaimanapun ia berlatih keras dengan Ben, tetapi ketika berhadapan dengan pria ini, Hayaning tetap merasa tertekan.
Bara tersenyum kecil. "Ingin melihat perempuan kecil saya," ucapnya, rahangnya mengetat dengan sorot mata menyala.
"Mas... Keluar dari sini!" usirnya dengan ketakutan yang nyata.
"Haya, datanglah ke pelukan Mas. Kita pergi dari sini dan hidup bersama, hanya berdua saja."
Hayaning bergidik, langkahnya mundur. "Mas sudah gila! Aku ini adikmu!" ucapnya dengan nada tajam.
"Tapi Mas sayang sama kamu—"
"Kamu menjijikkan!"
"Kamu bisa bebas dari rumah ini, bersama Mas—"
"Keluar atau aku teriak?!" ancam Haya.
Bara menyeringai tipis. "Kamu sudah berani? Tak takut saya menyebarkan foto-foto kita?"
Hayaning mendongak menatapnya. Wajahnya sengak, tetapi sorot matanya penuh ketakutan. "Sebarkan saja, silakan! Aku tidak takut, toh hidupku sudah hancur sejak awal, dasar bajingan!"
"Sstttt... Hayaning, itu namanya cinta."
DRAP... DRAP...
Langkah seseorang terdengar mendekat.
"Lho, Mas Bara, ngapain kamu di sini?" tanya Diandra, adik mereka. Lalu, pandangannya tertuju kepada Hayaning yang tengah memalingkan wajahnya.
"Tidak ada," jawabnya dengan suara berat, lalu Bara pergi meninggalkan mereka.
Diandra menatap Hayaning dengan wajah sinis. "Oh... adikku mau tunangan. Selamat datang di neraka kedua bersama cowok kasar itu." Ucapnya, menakut-nakuti.
Hayaning tak merespons. Ia tetap diam di tempatnya, tubuhnya masih sedikit gemetar akibat kejadian barusan. Udara dalam ruangan terasa begitu menyesakkan, seolah mengingatkannya lagi bahwa dirinya tak pernah benar-benar aman di rumah ini.
Diandra menatapnya dengan tatapan meremehkan. "Kenapa? Takut lo?"
Hayaning berusaha mengendalikan emosinya. Ia bukan gadis kecil yang lemah. Tidak lagi.
"Aku ngga takut Mbak, ngga usah sok dramatis," balasnya dingin. "Jadi kalau kamu cuma mau bikin aku ciut, cari hiburan lain."
Diandra menyeringai, matanya penuh ejekan. "Sombong sekali kamu, well gue tau itu cuma pembelaan diri."
Ia berjalan mendekat, lalu menepuk pelan pipi Hayaning.
"Selamat bertunangan Hayaning, adikku yang begitu kasihan." Ucapnya untuk yang terakhir, sebelum Diandra pergi dari ruangan itu.
Hayaning mer*mas rok gaunnya, mencoba menenangkan diri. D*danya masih sesak, napasnya belum stabil.
Sungguhan. Ia harus lebih kuat dari ini.
•••
Rumah Adhijokso benar-benar menjadi ramai sebab banyak didatangi oleh orang-orang penting dari kalangan pejabat dan para pengusaha ternama. Riuh suara percakapan menggema di setiap sudut ruangan, gelas-gelas kristal beradu dalam berbagai perayaan, sementara senyum-senyum diplomatis menghiasi wajah para tamu.
Ben berdiri di sudut ruangan, mengenakan setelan jas hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Tatapannya tajam, mengamati pergerakan orang-orang di sekitar dengan waspada, meski ekspresinya tetap datar dan sulit diterka.
Hingga sampai matanya menangkap sosok yang sejak tadi ia cari—Hayaning. Berdiri anggun di tengah ruangan, perempuan itu tampak seperti lukisan hidup.
Gaun berwarna biru muda lembut membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan siluetnya yang jenjang dan anggun. Rambutnya tergerai indah, sedikit bergelombang di ujung, membingkai wajahnya yang teduh dan begitu khas.
Sorot matanya tenang, bibirnya melengkung dalam senyum sopan, tetapi Ben mengenalnya terlalu baik untuk tertipu. Di balik ketenangan itu, ia bisa merasakan sesuatu—sebuah batas tak kasat mata yang sengaja Hayaning bangun, entah untuk melindungi dirinya sendiri atau menahan sesuatu agar tak terlihat. Dan Ben, sialnya, selalu ingin menjadi orang yang bisa menembus batas itu.
Hayaning pandai menampilkan wajah tanpa cela, meski hatinya mungkin bergejolak.
Namun, suasana hatinya yang sudah buruk sejak lalu-lalu semakin memburuk ketika melihat Adipta mendekati Hayaning.
Pria itu tersenyum santai, berbicara dengan nada akrab, lalu tanpa ragu menyentuh lengan Hayaning—seolah tak pernah ada niat buruk yang pernah terlintas di kepalanya. Padahal, belum lama ini, tangan yang sama ingin menyakiti calon tunangannya sendiri.
Ben mengepalkan tangan.
Sial. Ia sudah berusaha mengendalikan diri, tapi melihat bagaimana Adipta bertindak seolah Hayaning adalah barang miliknya—rasa marah yang sudah ia tekan kembali naik ke permukaan.
Riuh tepuk tangan menggema, memenuhi ruangan saat kedua orang yang menjadi pusat acara berdiri di depan para tamu elite.
Adipta berbicara dengan percaya diri, membanggakan rencana masa depan mereka, tentang bagaimana ia dan Hayaning akan menjadi pasangan sempurna.
Ben mengepalkan tangan di sisinya, mencoba menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Sebab, sekeras apa pun ia ingin menghancurkan momen ini, Hayaning tetaplah Hayaning—seseorang yang tidak bisa dipaksa untuk menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Tapi tunggu, Ben juga tetaplah Ben yang akan meledakkan bom waktu sebentar lagi, sehingga semua orang akan melihat bagaimana bobroknya keluarga ini, ataupun diantara mereka yang merasa ikut terseret sebab sudah menutupi tindak-tanduk kebusukan salah seorang anggota keluarga Adhijokso.
"Well, Boom!" Gumamnya pelan sembari tersenyum sinis.
Ben mengambil segelas minuman beralkohol dari meja terdekat, menggulirkannya di antara jemarinya sebelum akhirnya meneguk isinya perlahan.
"Dan kini, kita tiba di momen yang dinanti," suara MC menggema, memecah keheningan yang memenuhi ruangan. "Kami mengundang kedua calon untuk maju ke depan dan saling menyematkan cincin—sebuah simbol perjanjian yang akan mengikat kalian menuju pernikahan."
Hayaning dan Adipta saling menatap.
senyum tipis terukir di bibir pria itu, sementara Hayaning tetap dengan ekspresinya yang tenang.
Adipta mengambil cincin dari kotaknya dengan gerakan percaya diri, lalu mengangkat tangan Hayaning, jemarinya dengan sengaja meng*lus kulit halus itu sebelum akhirnya menyematkan cincin di jari manisnya. "Kini, kamu milikku sepenuhnya," gumamnya pelan.
Hayaning tetap tersenyum, tapi di balik tatapan teduhnya, ada kilatan ketidaknyamanan.
Saat gilirannya tiba, Hayaning mengambil cincin dengan tangan yang tampak tenang. Ia menatap jemari Adipta sebelum akhirnya memasangkan cincin itu dengan gerakan yang nyaris tanpa emosi. "Selamat, kita bertunangan," katanya pelan.
Tepuk tangan menggema di ruangan, para tamu bersorak riang. Namun, di sudut sana, Ben tetap membisu. Matanya berkilat, karena amarah yang ia tekan dalam-dalam.
Ben kembali mengambil gelas berisi wine lalu ia meneguknya dalam satu tarikan napas, berharap cairan merah itu bisa menenangkan bara di dadanya. Namun, nyatanya, rasa panas yang mengaliri tenggorokannya tak mampu meredam api yang berkobar di pikirannya.
Kilatan mata mereka bertemu, Hayaning menatap Benjamin yang juga menatapnya dengan sorot dalam nan tajam dari kejauhan.
"Mari berdansa," bisik Adipta, lalu mengulurkan tangannya, Hayaning dengan anggun menerima ajakan itu, jari-jarinya bercengkrama dengan telapak tangan Adipta.
Adipta menuntun Hayaning ke lantai dansa, menggenggam tangan perempuan itu dengan erat, seakan ingin menunjukkan kepemilikannya di hadapan semua orang.
Musik klasik mengalun lembut, mengiringi langkah-langkah mereka. Hayaning mengikuti irama dengan anggun, senyum tipis menghiasi wajahnya, tetapi matanya… matanya tidak benar-benar menatap Adipta.
"Damn!" Deru nafas Ben yang berat bergolak bersama dengan kepalanya yang terasa mendidih.
Hayaning sadar akan tatapan itu. Membiarkan matanya bertemu dengan Ben dalam sepersekian detik di kejauhan.
Lalu... Kilatan itu kembali. Tatapan mereka berbicara dalam sunyi.
Adipta menarik Hayaning lebih dekat. "Kamu tampak cantik sekali malam ini," ia berbisik.
"Terimakasih Mas," jawab Hayaning.
Saat Hayaning berputar dalam genggaman Adipta, gaunnya melayang dengan anggun, seakan menjadi putri dari negeri dongeng—begitu yang terlihat dalam pandangan Benjamin ketika ia memperhatikan Hayaning berdansa dengan si bedebah itu.
Tepukan tangan bergema, lalu tamu-tamu mulai ikut berdansa dengan pasangan mereka masing-masing, suasana semakin hidup.
"Ekhem..."
Ben segera menoleh, wajahnya menunjukkan rasa kesal. Suara itu berasal dari Bela, guru piano Hayaning.
"Hey, Handsome, maukah kamu berdansa denganku?" ajaknya pada Ben, pria yang memang menjadi sasaran incarannya.
Awalnya, Ben ingin menolak. Namun, ada rencana lain yang lebih menarik, yang membuatnya memilih untuk mendekat pada Hayaning dengan cara ini.
"Ya," jawabnya singkat, meskipun pandangannya sudah terfokus pada Hayaning.
Lampu-lampu mulai diredupkan, menciptakan suasana yang semakin romantis di ruangan itu. Pasangan-pasangan yang berdansa tampak hanyut dalam alunan musik klasik yang lembut, mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan anggun.
Hayaning dan Ben kini berdiri berdekatan, memeluk pasangan dansa masing-masing. Mata mereka saling bertaut dalam hening. Tak ada kata yang keluar, hanya keheningan yang menambah kedalaman tatapan mereka.
"Damn! Kamu sangat harum," bisik Adipta lalu menyapa pipi kanan Hayaning dengan b1birnya. Sementara Ben melebarkan matanya dengan sorot jengkel ketika melihat itu.
Hingga ketika perputaran pasangan dalam gerakan dansa itu terjadi, Ben segera meraih pinggang Hayaning, sementara Bela masuk kedalam pelukan Adipta, pria buaya yang tak masalah tunangannya berada dalam pelukan pria lain asalkan ia mendapatkan pengganti yang sama cantiknya.
"Hallo nona," sapa Adipta pada Bela, si bule dari Jerman, guru piano Hayaning.
"Hai tampan," balas Bela, sembari mengedipkan sebelah matanya.
Sementara Hayaning yang kini berada dalam pelukan Ben, merasakan bagaimana genggaman pria itu begitu erat di pinggangnya. Seakan menegaskan bahwa ia tak akan membiarkan Hayaning lepas begitu saja.
"Kamu baik-baik saja?" suara Ben terdengar rendah di telinganya, hanya untuk didengar olehnya.
Hayaning mengangkat wajahnya sedikit, menatap mata pria itu yang dalam dan tajam. Ia mengangguk kecil.
Rahang Ben mengetat begitu melihat wajah Hayaning yang ayu rupawan dengan riasan makeup tipis, "Nona, kamu sangat cantik." Bisiknya memuji.
“Terima kasih,” balasnya lirih, b1birnya melengkungkan senyum tipis.
Mereka bergerak seirama, dalam kedekatan yang membuat keduanya jatuh dalam kenyamanan.
"Kamu sangat tidak nyaman berdansa dengan tunanganmu itu, tapi tidak dengan saya." Ucapnya dengan nada bangga.
Hayaning menatapnya sekilas, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, bukannya menjawab, ia justru menghela napas, membiarkan dirinya mengikuti gerakan Ben yang mengarahkannya dengan begitu luwes.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tenggelam dalam alunan musik.
Ben menyeringai kecil, jemarinya mengerat di pinggang Hayaning sebelum menariknya lebih dekat. "Saya bisa merasakannya," cicitnya. "Tubuhmu tegang saat bersama si Dipta itu, tapi saat di dekat saya, kamu... rileks." Ucapnya melanjutkan dengan percaya diri.
Hayaning mendengus dingin. Matanya menoleh ke arah Adipta yang kini sibuk merayu Bela, tanpa sedikit pun memedulikannya.
Pria itu, memang br*ngsek. Tetapi Hayaning masabodo.
Diputarnya tubuh Hayaning dalam satu gerakan lincah, membuat gaunnya berputar anggun di udara sebelum Ben kembali meraihnya. Genggamannya kuat, memastikan Hayaning tetap berada dalam pelukannya.
"Saya ingin membawa Nona ketempat yang lebih sunyi, tapi sepertinya tidak bisa."
"Memang tidak bisa, karena ini bukan tempatmu untuk bertindak sesuka hati," balas Hayaning datar, meski napasnya sedikit tercekat oleh cara Ben menahannya erat.
Ben menyeringai kecil, matanya berkilat tajam. "Kalau begitu... Mari kita saksikan suguhan terbaik di pesta pertunangan mu ini."
Kening Hayaning berkerut, "apa? Apa yang kamu bicarakan?"
Ben semakin merapatkan tubuh Hayaning lalu berbisik lembut ditelinganya. "Waktunya untuk melihat bom waktu yang saya janjikan meledak."
Setelah mengatakan itu, cahaya yang mengarah kearah dinding membuat semua mata sontak tertuju pada layar proyektor yang tiba-tiba menyala di tengah aula, mencuri seluruh perhatian tamu undangan.
Dalam dekapan Ben, tubuh Hayaning menegang, terutama saat layar itu mulai menampilkan sebuah video dengan kualitas jernih—terlalu jernih.
Di layar besar, sosok Farel—kakak ketiganya—terpampang jelas dalam situasi yang sulit disangkal. Ia tengah berdekatan dengan seorang pria yang juga merupakan pejabat, interaksi mereka begitu akrab dan penuh kedekatan yang melampaui batas hubungan profesional.
Musik dansa masih mengalun, tetapi atmosfer pesta berubah drastis. Bisikan memenuhi ruangan, tatapan-tatapan terkejut dan penuh j1jik saling bertukar di antara para tamu.
Farel, yang semula asyik berbincang dengan pria itu—atau lebih tepatnya, kekasihnya—terhenti mendadak. Wajahnya memucat, rahangnya mengatup erat, dan matanya membulat saat menyadari apa yang baru saja disiarkan kepada semua orang.
Ben menundukkan kepalanya sedikit, mendekat ke telinga Hayaning, lalu berbisik dengan nada rendah yang nyaris terdengar puas. "Lihat, Nona. Suguhan yang saya janjikan. Namun begitu... maafkan saya, sebab sudah merusak pertunanganmu."
Bukan tanpa alasan Ben melakukan ini, sebab ia tahu bahwa dalang di balik kematian ibu kandung Hayaning adalah kakak tirinya sendiri—Farel Adhijokso.
Hayaning tetap diam. Syok membungkamnya, begitu pula sang ayah, Brata Adhijokso, yang berdiri kaku dengan wajah pucat ketika menyaksikan aib anak kandungnya sendiri terpampang nyata didepan layar besar yang sedang ditonton banyak orang.
di tunggu bab selanjutnya 💪😊