Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam Haldegar
Langkah kaki kuda Maxime melambat saat ia mencapai tepi bukit kecil yang menghadap langsung ke Desa Rousanne. Dari tempatnya berdiri, desa itu terlihat… sekarat.
Rumah-rumah kayu yang lapuk. Jalan-jalan yang dipenuhi debu kering dan dedaunan mati. Tak ada asap dapur mengepul. Tak ada suara anak-anak. Tak ada tawa. Yang ada hanya bisikan angin dan tubuh-tubuh kurus yang bergerak pelan seperti bayangan hidup.
Maxime mengerutkan kening dalam. Pandangannya menyapu seluruh desa, dan dadanya berdenyut oleh rasa yang tak bisa ia abaikan.
“Inikah… Rousanne?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Bastian yang berdiri di sampingnya, menunduk pelan. “Ya, Yang Mulia.”
Maxime mengepalkan jemari. Ia tahu desa ini pernah terdampak wabah, tapi tidak pernah—tidak sekali pun—laporan yang ia terima menyebutkan kondisi separah ini. Bahkan setiap bulannya, ia menandatangani laporan alokasi dana: pengiriman gandum, bahan pokok, dan suplai obat-obatan ke desa-desa luar ibukota, termasuk Rousanne.
Setiap bulan.
Setiap bulan.
Tapi kenyataannya… desa ini seperti dilupakan.
Dikhianati.
“Para dewan…” desis Maxime. “Mereka telah membohongiku.”
Amarahnya tidak meledak. Ia mendarat diam di dada seperti batu hitam yang memberat setiap tarikan napas. Matanya tetap tajam, dingin, terlatih… tapi isi hatinya sudah meledak berkeping.
“Aku bersumpah demi nama Aragon,” ujarnya pelan tapi dalam, “semua yang berani bermain dengan hidup rakyat akan aku buat merangkak di hadapan rakyat yang mereka telantarkan.”
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, lalu menatap para ksatrianya.
“Mulai hari ini, kalian berjaga di sini. Satu tim tetap mengawasi desa, satu tim fokus mengikuti pergerakan Ratu Vivienne dari jauh. Tak boleh terlihat, tak boleh ikut campur kecuali jika nyawanya terancam. Laporkan setiap gerakan sekecil apa pun—bahkan jika ia hanya menghela napas lebih cepat dari biasanya.”
Para ksatria mengangguk serentak.
“Dan kau, Bastian.” Maxime memanggil orang kepercayaannya yang muncul dari balik rindang pohon.
“Saya di sini, Yang Mulia.”
“Temani mereka. Aku tahu kelompok pemberontak itu tak akan diam. Mereka pasti sudah tahu Vivienne ada di sini. Aku butuh mata dan pedang yang bisa membaca niat musuh sebelum mereka sempat menembakkan panahnya.”
Bastian menyentuh dada, membungkuk dalam. “Saya akan mengorbankan nyawa saya sebelum membiarkan siapa pun menyentuh Ratu.”
Maxime menatap lembah satu kali lagi, seakan berusaha menangkap satu sosok tertentu di antara kabut tipis dan atap-atap reyot desa itu.
Sosok wanita yang telah mencuri ketenangannya… dan kini mempertaruhkan dirinya untuk menyelamatkan orang-orang yang bahkan kerajaan pun telah lupakan.
“Aku ingin tetap di sini…” gumam Maxime lirih. “Menjaga dari dekat. Tapi Aragon tidak bisa dibiarkan tanpa rajanya.”
Ia menatap Bastian dan para ksatria satu per satu.
“Aku akan kembali ke istana hari ini, selesaikan semua pekerjaan secepat mungkin… dan setiap malam, aku akan kembali ke tempat ini. Diam-diam. Hingga dia pulang.”
Ia menarik tali kudanya, lalu menambahkan—lebih kepada dirinya sendiri daripada orang lain:
“Kalau dia ingin berdiri di antara rakyat dan kematian… maka aku akan berdiri di antara dia dan kehancuran.”
Dan dengan satu hentakan tumit, Maxime berbalik arah—meninggalkan desa untuk sementara… namun tidak dengan hatinya.
——
Hari ketiga.
Udara pagi di Rousanne masih terasa dingin, menusuk tulang seperti biasanya. Tapi pagi ini… ada sesuatu yang berbeda.
Vanessa duduk di sisi dipan reyot di rumah kecil milik Morla—wanita paruh baya yang sejak awal kedatangannya, nyaris kehilangan hidup.
Namun kini, dada Morla sudah tidak lagi terangkat dengan napas tersengal. Kulitnya, yang kemarin pucat membiru, mulai menunjukkan rona kemerahan samar. Matanya masih terpejam, tapi jemarinya bergerak pelan seolah merespons kehangatan yang mulai kembali mengalir.
Vanessa menyentuh dahi Morla dengan punggung tangannya. Tak lagi sedingin batu.
Tabib Alana berdiri di belakangnya, mengamati dengan napas tertahan. “Ini… jauh lebih cepat dari yang kita prediksi.”
Vanessa hanya mengangguk pelan. “Ramuan itu mulai menunjukkan efeknya. Tapi kita belum bisa berhenti di sini. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk infeksi kedua.”
Ia memutar tubuh sedikit, mengambil kantung kulit kecil berisi larutan pembersih buatan sendiri. “Luka di punggungnya harus dibersihkan hari ini. Kalau tidak, kita bisa kehilangan momentum.”
Lucien datang membawa air bersih hangat, wajahnya terlihat sedikit lega. “Rakyat desa mulai mendekat. Ada dua anak muda tadi pagi bertanya… apakah mereka juga bisa membantu.”
Vanessa melirik ke arah jendela yang sudah tak sepenuhnya utuh. Di luar sana, terlihat dua pemuda kurus tengah menunggu, berdiri kikuk sambil memeluk seikat kain bersih dan tumbuhan kering.
Hati Vanessa menghangat.
“Kalau keajaiban tidak datang dari langit…” ucapnya lirih, “maka biarlah kita ciptakan dengan tangan kita sendiri.”
Ia kembali memeriksa perban di tubuh Morla. Luka yang sebelumnya menghitam kini tampak lebih bersih, merah muda. Masih berbahaya, tapi tidak lagi mematikan.
Tabib Alana menghela napas lega. “Yang Mulia… saya sungguh tidak mengerti. Anda bahkan menggunakan kombinasi tak lazim—air rendaman kulit kayu selar dan ramuan dari daun puncak muric.”
Vanessa tersenyum tipis. “Daun muric bekerja seperti antibiotik alami, jika didampingi dengan asupan pemulih. Kulit selar menjaga kulit luar tetap hangat agar bakteri tidak menembus lebih dalam.”
Tabib Alana tercenung. “Saya tak pernah diajari itu.”
“Kau tidak perlu tahu semuanya sekaligus,” jawab Vanessa pelan. “Tapi kau harus mau mempelajari yang berbeda.”
Suara batuk lembut membuat mereka semua menoleh.
Morla.
Wanita itu membuka mata samar-samar, lalu menatap Vanessa.
“…kau bukan malaikat,” gumamnya lemah.
Vanessa terkekeh pelan, menunduk. “Sayangnya, bukan.”
Morla menatapnya lebih lama. Vanessa menggenggam tangannya. “Dan aku akan tetap di sini. Sampai kau bisa berdiri dan memeluk anak-anakmu lagi.”
Dari balik pintu, Tuan Edric berdiri mematung. Tak berkata sepatah kata pun. Tapi untuk pertama kalinya, pria keras kepala itu menundukkan kepalanya pada seorang wanita yang dulu ia sebut sebagai ‘lelucon kerajaan’.
——
Mentari merambat naik dari balik bukit, menyinari tanah Rousanne yang basah dan dipenuhi jejak kaki baru. Meski kabut masih menggantung rendah, aroma kaldu hangat dan roti panggang perlahan-lahan menggantikan bau tanah dan kayu lapuk.
Lucien berdiri di tengah alun-alun kecil—jika area itu masih layak disebut demikian. Beberapa tikar anyaman telah digelar di atas tanah keras, dan pot-pot besar berisi bubur gandum, sayur, serta kaldu ayam rebus mengepul lembut, dijaga oleh dua orang suruhan yang ia datangkan dari ibukota.
Warga desa mulai berdatangan. Tubuh-tubuh kurus, pakaian usang, langkah ragu-ragu. Tapi ada harapan di balik tatapan mereka—yang sebelumnya gelap seperti tanah yang tak disirami.
Lucien menyambut mereka dengan senyum ramah.
“Satu per satu. Semua akan dapat bagian,” katanya lembut, sambil membagikan semangkuk makanan kepada seorang nenek tua yang dibimbing oleh cucunya.
Ada lebih dari seratus warga hari itu. Anak-anak dengan mata besar yang lapar, para ibu yang menggendong bayi kurus, para pria tua yang tetap menjaga sikap meski kerutan di wajah mereka seperti menceritakan ratusan musim kelaparan.
Tabib Alana membantu mengatur barisan dan mencatat nama-nama mereka, sekaligus kondisi kesehatan umum yang bisa dilihat sekilas. Sementara itu, Vanessa duduk di dekat sebuah tong kosong, mengamati dari kejauhan. Rambutnya dikepang sederhana, tudungnya masih menutup sebagian wajahnya. Tapi sorot matanya penuh semangat.
Lucien sempat meliriknya. Ia tahu, ini bukan hanya soal membagikan makanan.
Ini tentang membangun kembali kepercayaan. Menyalakan kembali nyala hidup.
Saat sesi pembagian hampir selesai, Vanessa bangkit dan menghampiri kerumunan yang mulai duduk menikmati makanan mereka.
Suara Vanessa pelan namun jelas saat ia berbicara kepada mereka semua.
“Kalian butuh lebih dari sekadar obat dan makanan,” katanya. “Kalian butuh tanah yang bisa ditanam. Air yang bisa diminum. Tempat tinggal yang bisa memberi kehangatan. Dan… satu sama lain.”
Orang-orang menatapnya. Tak ada yang menyela.
“Aku tak bisa menjanjikan mukjizat. Tapi aku bisa berjanji satu hal—aku akan membantu kalian untuk hidup lagi. Untuk menjadikan Rousanne bukan hanya tempat tinggal… tapi tempat untuk tumbuh.”
Ia menoleh ke Lucien. “Mulai besok, aku ingin ajak mereka menghidupkan kembali desa ini. Kita bersihkan sumur tua, kita tanami lahan kosong, dan kita bangun tempat perawatan kecil.”
Lucien mengangguk. “Saya akan urus peralatannya.”
Salah satu pemuda desa yang kemarin ikut membantu membawa air, berdiri dan mengangkat tangannya ragu.
“Kalau kami ingin membantu… kami harus mulai dari mana, Yang Mulia?”
Vanessa tersenyum. “Dari keberanian untuk percaya.”
Dan hari itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun… suara tertawa kecil terdengar di Rousanne.
——
Di kejauhan, dari balik semak dan reruntuhan rumah tua yang ditinggalkan, dua pria berjubah gelap mengintai dengan teropong kecil dari logam hitam yang bentuknya sudah tak lazim bagi rakyat biasa.
“Warga mulai pulih. Satu pasien wanita menunjukkan reaksi signifikan terhadap ramuan. Tak ada kematian. Tidak ada reaksi negatif sejauh ini.”
Pria satunya mendesah.
“Ini… tak mungkin hanya kebetulan. Tadi malam si wanita itu nyaris mati. Hari ini, ia sudah duduk bersandar dan makan.”
“Aku lihat langsung,” sahut yang satu lagi. “Ia bahkan tertawa kecil. Kalau ini berlanjut, seluruh desa akan mulai mempercayainya.”
Mereka saling bertukar pandang.
“Sebaiknya kita segera laporkan ini.”
——
Percikan api meletik dari bara yang disentuh besi panas. Udara lembap bercampur aroma logam dan jelaga. Di tengah ruang batu tua itu, Lord Haldegar berdiri membelakangi bawahannya. Bahunya tegang. Rahangnya mengeras. Di tangannya, selembar laporan dari pengintai yang baru saja kembali—isinya singkat, namun menghantam harga dirinya lebih keras dari tinju.
Tangannya mengepal.
“Ramuan itu… bekerja?” Suaranya serak, nyaris seperti bisikan yang dikekang amarah.
Tak ada yang menjawab.
Tak perlu.
Ia membalikkan badan. Matanya menyapu ruangan bagai sembilu yang mengiris daging.
Namun justru di sanalah senyum licik itu mulai merayap ke wajahnya—senyum seorang pria yang menemukan celah di balik kekalahan.
“Kalau begitu…” katanya pelan. “Kita ubah arah angin.”
Dengan isyarat kecil, salah satu tangan kanannya melangkah maju dan menyerahkan sebuah botol kaca kecil berisi cairan hitam pekat. Cairan itu tampak serupa dengan ramuan milik sang Ratu, kecuali warna gelapnya yang tidak wajar—nyaris seperti tinta kematian.
“Kau,” tunjuknya ke pria yang baru saja melapor. “Kau akan menyusup ke sana.”
Pria itu menunduk, menerima botol tersebut dengan dua tangan.
“Menyamarlah sebagai warga. Campurkan ini ke dalam ramuan milik putri Aurenhart. Tak perlu banyak. Satu tetes cukup untuk menimbulkan efek yang bisa menimbulkan… kematian.”
“Baik, Tuan.”
Haldegar berjalan mendekati meja batu yang dipenuhi dokumen tua. Tangannya menyentuh simbol Aurenhart yang tergambar samar di sudut peta—bekas cap darah dari puluhan tahun silam.
Alderic.
Ia menghela napas panjang, lalu bergumam rendah, nyaris seperti doa yang busuk:
“Jika putrimu mati, Alderic… kau akan keluar dari tempat persembunyianmu. Dan saat itu terjadi… aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Bahkan jika itu artinya aku harus menyeret diriku sendiri ke kematian.”
Dendamnya bukan sekadar dendam. Itu adalah warisan luka—tertulis di tubuh dan sejarah keluarganya.
Salah satu pengikutnya maju lagi. “Tuan, mengenai wanita itu… Selene.”
Haldegar mengangkat alis tanpa menoleh. “Apa yang dia lakukan sekarang?”
“Terakhir diketahui, ia naik ke pegunungan Arvelha untuk menemui seorang penyihir tua bernama Madra Nuviel.”
Haldegar menyeringai tipis. “Ah… tentu. Wanita sepertinya tidak pernah bergerak tanpa racikan sihir.”
Ia diam sejenak, lalu menambahkan tanpa ragu:
“Awasi dia. Jangan biarkan dia selangkah pun lepas dari pengawasan. Laporkan setiap gerakan kecilnya. Jika dia mulai bermain dengan sesuatu yang bukan miliknya, aku ingin tahu lebih dulu sebelum langit mulai runtuh.”
Kegelapan di ruangan itu terasa lebih padat.
Dan rencana pun bergerak, seperti belati yang menyelinap di balik bayangan malam.
luar biasa
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️