NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kemarahan Lady Armelle

Paviliun Ravellyn — Jamuan Teh untuk Para Bangsawan Wanita

Cahaya sore menyaring melalui tirai tipis berwarna gading, menyiram ruangan berlangit kaca itu dengan cahaya keemasan yang hangat. Meja panjang dihiasi porselen bermotif bunga musim semi, dan berbagai kudapan halus tersusun rapi dalam susunan tiga tingkat. Harum teh melati dan kayu manis memenuhi udara, menyatu dengan suara tawa pelan dan dentingan cangkir.

Vanessa, yang kini sepenuhnya berperan sebagai Ratu Vivienne Aurenhart, duduk di ujung meja, mengenakan gaun biru safir dengan bordir benang perak. Penampilannya tenang dan terjaga, rambutnya disanggul anggun namun tidak terlalu kaku. Senyum tipis terukir di bibirnya—bukan senyum basa-basi, tapi senyum milik seseorang yang mengamati segala sesuatu dengan cermat.

Di sekelilingnya duduk para wanita dari keluarga bangsawan terkemuka. Lady Selhurst selaku tuan rumah duduk tak jauh darinya, dengan ekspresi yang hangat meski hati-hati. Di sisi kanan, Lady Yseult mengamati bunga di cangkirnya, sementara Lady Caliste duduk dengan posisi lurus, tangan dilipat anggun di pangkuannya.

Dan di ujung kiri meja, duduk Lady Armelle dari keluarga Lysandre—anggun, tapi sorot matanya tajam dan menyelidik. Senyumannya tak pernah sampai ke mata.

Topik pertama yang mengalir ringan—seputar kebun musim panas Lady Selhurst dan pesta dansa yang akan digelar bulan depan. Obrolan itu hanya basa-basi sopan, hingga akhirnya Lady Yseult, yang sejak tadi diam, menyentuh topik yang lebih menarik.

“Aku mendengar… ada insiden di pasar beberapa waktu lalu,” ucapnya pelan sambil menoleh ke Vanessa. “Ada yang mengatakan… Ratu kita turun tangan menyelamatkan seseorang dengan cara yang tak biasa.”

Beberapa wanita langsung saling melirik—terutama mereka yang selama ini skeptis akan perubahan Vivienne. Lady Armelle tertawa kecil, manis tapi mengejek.

“Ya. Aku pun mendengarnya. Konon, dengan sigap dan… penuh keahlian.” Ia memiringkan kepalanya ke arah Vanessa, senyumnya licik. “Bakat yang sangat mengagumkan untuk seseorang yang dikenal tak pernah belajar ilmu pengobatan.”

Vanessa menyesap tehnya perlahan, sebelum menjawab. “Aku tidak pernah menempuh pendidikan resmi… tapi ketertarikan pada dunia pengobatan bukan hal yang baru. Hanya saja baru sekarang aku diberi kesempatan untuk menyalurkannya.”

Nada suaranya tenang dan tulus. Tapi Lady Armelle tidak menyerah.

“Kesempatan yang datang… tiba-tiba,” katanya sambil menatap wanita-wanita lain. “Sungguh menginspirasi. Dari seorang ratu yang dulu terkenal keras kepala dan suka mencampuri urusan politik, kini berubah jadi penyelamat rakyat.”

Tawa kecil terdengar dari ujung meja, namun tidak semua ikut serta. Lady Caliste jelas tak menyukai arah pembicaraan itu. Namun sebelum sempat berkata apa-apa, Lady Armelle kembali melontarkan sesuatu yang lebih menusuk.

“Namun, Yang Mulia…” katanya lembut, “Bukankah tanggung jawab seorang ratu… yang terutama, adalah memberi ahli waris bagi tahta Aragon? Sudah lima tahun berlalu, tapi kerajaan kita belum juga dikaruniai penerus. Tentu sebagai rakyat… kami hanya berharap yang terbaik.”

Beberapa wanita mulai menunduk tak enak hati. Lady Selhurst membuka mulut, seolah hendak menengahi, namun Lady Armelle belum selesai.

“Jika Yang Mulia belum mampu memberikan warisan untuk Aragon… bukan hal yang salah, bukan, jika sang Kaisar mempertimbangkan pilihan lain? Bahkan, mungkin rakyat akan lebih tenang.”

Suasana menjadi hening. Udara terasa kaku, dan semua mata kini tertuju pada Vanessa.

Namun berbeda dengan yang diharapkan Lady Armelle, Vanessa tidak menunjukkan kemarahan, tidak pula rasa malu. Ia hanya meletakkan cangkir tehnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Armelle.

“Aku kagum,” ucapnya tenang. “Karena jarang sekali ada tamu jamuan teh yang berani mengajukan usulan pemerintahan di antara scone dan teh melati.”

Lady Caliste menahan tawa pelan di balik tangan.

Vanessa melanjutkan. “Tapi aku mengerti. Rasa khawatir terkadang membuat orang lupa etika. Apalagi… jika dirinya sendiri pernah menjalani tahun-tahun pernikahan yang tak kunjung membuahkan keturunan. Empati yang kau tunjukkan hari ini… luar biasa.”

Lady Armelle menegang. Matanya melebar, dan beberapa wanita mulai berbisik pelan. Vanessa tahu apa yang ia sentuh—sebuah skandal lama yang dulu nyaris tersembunyi: Lady Armelle pernah kehilangan kedudukannya karena tidak kunjung memiliki keturunan dengan suami terdahulu… yang akhirnya menceraikannya secara diam-diam.

Namun Vanessa tidak selesai di situ.

“Kau benar, Lady Armelle. Tanggung jawab seorang ratu memang besar. Tapi lebih besar lagi adalah menjaga kehormatan. Dan bagi kami yang memegang kedudukan tinggi, tak semua harus dijawab dengan rahim. Ada yang lebih penting: akal sehat… dan keanggunan dalam menjaga mulut.”

Lady Armelle langsung diam. Matanya merah, tapi tak bisa berkata apa-apa.

Vanessa meneguk tehnya sekali lagi, lalu menoleh ke Lady Selhurst. “Teh Anda sangat harum, Lady Selhurst. Saya berharap kita bisa berbicara tentang musim panen atau seni bordir setelah ini. Topik yang… lebih sesuai.”

Lady Selhurst, yang sejak tadi canggung, kini langsung mengangguk dengan senyum lega. “Tentu, Yang Mulia. Saya pikir itu ide yang sangat baik.”

Lady Caliste, dengan anggun, berkata, “Dan saya pikir… tidak semua orang di meja ini tahu cara berbicara kepada seorang ratu.”

Vanessa menoleh padanya dan tersenyum kecil. “Untungnya, beberapa masih tahu.”

——

Beberapa wanita mencoba mencairkan suasana dengan mengangkat topik-topik ringan seperti jenis bunga musim gugur atau gaun terbaru dari penjahit ibu kota. Namun, sebagian dari mereka masih mencuri pandang ke arah Vanessa—antara kagum dan tak percaya bahwa wanita yang dulu mereka hina kini bisa menjawab dengan begitu tajam namun tetap tenang.

Lady Caliste mendekat sedikit, cangkir tehnya nyaris menyentuh bibir. “Saya tak yakin siapa yang lebih pedas, tehnya… atau balasan Anda tadi, Yang Mulia,” ucapnya pelan, dengan senyum tipis.

Vanessa menoleh padanya. “Teh biasanya tak melukai siapa pun. Tapi lidah manusia… itu cerita lain.”

Lady Caliste tertawa ringan. “Sepertinya banyak yang perlu belajar lebih banyak etika sebelum bicara soal garis keturunan.”

Sementara itu, Lady Armelle masih duduk diam. Wajahnya sudah tak setegang tadi, tapi sorot matanya gelap. Ia memutar cangkir di jemarinya, lalu perlahan berdiri dari kursinya.

“Mohon maaf, Lady Selhurst, aku baru ingat ada janji dengan sepupuku sore ini,” ucapnya sambil sedikit membungkuk. “Jamuan Anda… sangat berkesan.”

“Semoga bukan terlalu berkesan,” gumam Lady Caliste, cukup pelan untuk hanya didengar Vanessa.

Vanessa hanya menatap Lady Armelle meninggalkan ruangan dengan tenang. Tak perlu menang dengan suara keras. Kadang kemenangan datang lewat diam yang tepat sasaran.

Tak lama kemudian, Lady Yseult mendekat. Ia membawa nampan kecil berisi potongan kue buah dan diletakkan di dekat Vanessa.

“Saya pribadi sangat menghargai kedatangan Anda hari ini, Yang Mulia,” katanya sopan. “Sudah lama kami mendambakan percakapan yang jujur. Meski… saya tak menyangka bisa menyaksikan duel kata yang lebih tajam dari pesta dansa di istana.”

Vanessa mengangguk pelan. “Saya hanya ingin memulai dari nol. Jika ada yang harus saya benahi, maka saya lebih memilih melakukannya langsung di hadapan mereka… bukan dari balik tirai.”

Lady Yseult tersenyum ramah, tapi tidak menjawab. Hanya menatap Vanessa sejenak, lalu kembali ke tempat duduknya.

Vanessa menarik napas panjang dan mengedarkan pandangan. Satu per satu wanita mulai bangkit dari kursinya, memberi salam perpisahan. Tak semua menyukai kehadirannya. Tapi tak satu pun berani lagi meremehkannya begitu saja.

Dan ketika Vanessa berjalan keluar dari Paviliun Ravellyn, angin sore menyapu gaunnya pelan. Tapi bukan angin yang membuat kulitnya merinding.

Ada tatapan yang ia rasakan menembus punggungnya. Tatapan tajam, dingin, menyimpan luka dan amarah.

Dari jendela belakang paviliun, Lady Armelle masih berdiri. Mengawasi Vanessa pergi. Bibirnya tertutup rapat, tapi jemarinya menggenggam kuat pinggiran jendela kayu.

——

Udara dingin menyelubungi ruang bawah tanah vila tua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon tua di Distrik Virelle. Api dari obor dinding berkedip samar, memantulkan cahaya oranye di dinding batu yang telah memudar oleh waktu dan lembap. Di ruangan itu, meja bundar dari kayu gelap menjadi pusat perhatian, dikelilingi oleh sosok-sosok yang bayangannya tampak lebih nyata daripada cahaya.

Lady Armelle Lysandre berdiri dengan tangan mengepal, jubah beludru merah marunnya berkibar pelan saat ia berjalan maju mundur di depan meja. Matanya menyala oleh kemarahan dan harga diri yang tercabik.

“Aku hanya ingin mempermalukannya, menjatuhkan topeng palsu yang kini dielu-elukan rakyat itu!” desisnya tajam. “Tapi malah aku yang dipermalukan! Di hadapan semua wanita bangsawan! Aku—Armelle Lysandre!”

Suara sepatu berderak di lantai batu. Di ujung ruangan, seorang pria tua duduk tenang di kursi tinggi bersandaran ukiran. Jubahnya berwarna hitam kelam, lambang bunga malam bermahkota duri tergambar samar di bros dada kirinya. Ia mengamati dengan mata kelabu yang tajam, penuh perhitungan. Dialah Lord Marceus Cendervale — ayah dari Lady Armelle, dan dalang dari banyak jaringan gelap anti-Aurenhart.

“Emosimu membawamu ke meja ini dalam keadaan kalah, Armelle,” ucap Marceus datar, “dan itu membuatmu tampak seperti gadis kecil yang kehabisan mainan.”

Armelle berbalik tajam. “Aku bukan gadis kecil, Ayah! Aku pewaris keluarga Lysandre, dan aku pantas berada lebih tinggi dari pelayan yang sekarang duduk di singgasana!”

“Pelayan itu bahkan lebih tenang daripada kau saat ini,” suara lain menyela, tenang dan penuh tekanan.

Selene.

Ia berdiri di ambang pintu lengkung batu, mengenakan gaun hitam sederhana dengan mantel gelap. Rambutnya disanggul setengah, dan tak ada senyum di wajahnya. Tatapannya seperti bayangan—dingin, sunyi, namun berbahaya.

Armelle menyipitkan mata. “Dan kau…” katanya pelan. “Aku pikir setidaknya kaulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita dari malu. Tapi apa yang kudengar? Kaisar dan Ratu kini… dekat? Hangat? Kau bahkan tak bisa menahan dia di sisimu—”

Selene berjalan perlahan mendekat. “Jaga ucapanmu.”

“Kau gagal, Selene. Seharusnya kau yang menarik Kaisar kembali sebelum dia benar-benar jatuh hati. Tapi sekarang, kau hanya berdiri di sini, dengan tatapan dingin seolah semua masih berjalan sesuai rencana!”

Selene tidak terguncang. Ia hanya menatap Armelle dengan dingin, lalu mengangkat satu alis.

“Karena semua memang masih berjalan sesuai rencana. Kau hanya terlalu haus pengakuan hingga tak sabar menunggu waktunya.”

“Waktu apa?” Armelle mencibir. “Kau bahkan tak tahu apa yang sedang direncanakan Vivienne sekarang.”

Selene mendekat, matanya kini tepat menatap Armelle. “Aku sedang mengamati.”

Ia menoleh pada Lord Marceus, lalu kembali pada Armelle.

“Vivienne dan Tabib Alana tengah menjalankan kegiatan rahasia. Aku belum tahu ramuan apa yang mereka buat… tapi itu bukan sesuatu yang biasa. Mereka merahasiakannya, menyembunyikannya dari banyak mata. Dan aku tahu satu hal—jika ada celah untuk menjatuhkan Vivienne, itu ada di dalam botol-botol yang sedang mereka racik.”

Armelle terdiam, napasnya memburu. Tapi tatapannya masih menyimpan api.

“Aku akan menjatuhkannya, Selene. Entah dengan cara elegan… atau memalukan.”

“Kau terlalu terpaku pada dendammu,” balas Selene tenang. “Sedangkan aku akan menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan dia sekali untuk selamanya—di hadapan rakyat, di mata Kaisar, dan di setiap lembar sejarah Aragon.”

Marceus bersandar lebih dalam di kursinya, memperhatikan kedua wanita itu.

“Kalau begitu,” gumamnya perlahan, “pastikan kalian tidak hanya menjatuhkan bayangannya… tapi juga membakar cahaya yang mengikutinya.”

——

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!