NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:55k
Nilai: 4.9
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rencana Haldegar

Langit Aragon malam itu gelap pekat tanpa bulan. Kabut tipis menggantung di sekitar taman dalam istana, membuat nyala lentera tampak berpendar lembut. Di ruang kerja pribadi Ratu, hanya sebatang lilin yang menyala di sudut meja, menerangi wajah Vanessa yang serius menatap peta terbentang di depannya.

Peta tua itu menunjukkan wilayah-wilayah kecil di selatan kerajaan. Jemarinya berhenti di satu nama kecil, nyaris terhapus tinta usia.

Rousanne.

Desa yang terpencil, terlupakan dalam laporan-laporan resmi, namun ia dengar dari Alana bahwa wilayah itu saat ini terkena wabah demam luka yang tak kunjung pulih—dan tak ada tabib yang berhasil membantu.

“Kalau ramuan ini memang bekerja… maka Rousanne adalah tempatnya,” bisik Vanessa, lebih pada dirinya sendiri.

Ia menulis cepat di selembar catatan kecil: nama bahan, dosis uji, dan cara aplikasi. Di sudut bawah kertas, ia menggambar simbol kecil—dua daun menyilang dan tetesan perak di tengah. Simbol rahasia percobaan mereka.

Pintu diketuk perlahan.

Tok. Tok.

“Masuk,” ucap Vanessa lirih.

Lucien muncul di ambang pintu, mengenakan jubah malam berlapis wol. Wajahnya lelah, tapi matanya langsung tajam ketika melihat apa yang dibentangkan di meja.

“Apakah… Yang Mulia sudah memutuskan?” tanyanya dengan nada rendah, sopan, namun mengandung kecemasan.

Vanessa menoleh dan mengangguk pelan. “Kita berangkat besok malam, Lucien. Aku tidak ingin menunda lebih lama.”

Lucien ragu sejenak sebelum melangkah lebih dekat.

“Maafkan kelancangan saya, tapi… apakah ini benar-benar harus dilakukan secara diam-diam?Kaisar tidak akan menyetujui ini, tentu, tapi—”

Vanessa menyela lembut, namun mantap.

“Justru karena itu, Lucien. Kaisar terlalu mencemaskanku… dan aku mencemaskan mereka yang mungkin tak bisa menunggu izin atau pengawalan resmi hanya untuk mendapatkan bantuan.”

Lucien menunduk hormat, namun suaranya tetap mengandung keberanian untuk menyampaikan pendapat.

“Saya mengerti kekhawatiran Anda, Yang Mulia. Namun… penyamaran ini sangat berisiko. Jika sesuatu terjadi di luar istana—”

“Aku mempercayaimu, Lucien,” ucap Vanessa, lembut namun penuh makna. “Itulah sebabnya aku meminta kau ikut. Karena kau tahu medan, tahu cara bekerja diam-diam… dan karena aku tahu kau tak akan mengkhianati kaisar ataupun aku.”

Lucien terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan.

“Baik, Yang Mulia. Jika itu keputusan Anda, saya akan memastikan semuanya berjalan seaman mungkin.”

Ia kemudian membuka tas kecil di balik jubahnya dan mengeluarkan sebuah bros perak berbentuk burung hantu, lambang kuno para penyusup medis kerajaan.

“Saya menemukannya di arsip penyembuhan lama… milik para tabib keliling pada masa perang besar. Mereka menggunakannya saat menyusup ke wilayah musuh untuk menyembuhkan para tawanan.”

Lucien menyerahkannya dengan kedua tangan.

“Izinkan saya menyematkannya untuk Anda, jika Yang Mulia berkenan.”

Vanessa tersenyum. Ia mengangguk.

“Kau tak perlu meminta izin untuk hal sekecil itu, Lucien. Tapi terima kasih.”

——

Angin malam berhembus lembut dari jendela balkon yang terbuka sebagian, membawa aroma bunga malam dari taman istana. Di dalam kamar, nyala lampu minyak di sudut ruangan menari pelan, memantulkan cahaya tembaga ke dinding-dinding batu yang hangat.

Vanessa berdiri di depan cermin besar berbingkai emas, menyisir rambut panjangnya perlahan dengan sisir kayu bertatah mutiara. Gaun tidurnya jatuh lembut di bahu, menyisakan garis leher yang tenang dan anggun. Tatapannya terpaku pada bayangannya sendiri—namun pikirannya jauh dari sana.

Pintu kamar terbuka perlahan tanpa suara. Maxime masuk, masih mengenakan jubah panjang berwarna hitam yang belum sempat ia lepas. Wajahnya letih, bahunya sedikit merosot—bekas dari rapat panjang yang menguras kesabaran dan harga diri.

Begitu matanya menangkap sosok istrinya di cermin, ia berhenti sejenak.

Tak ada kata.

Hanya napas yang sedikit lega.

Perlahan, Maxime melangkah mendekat. Tanpa suara, ia berdiri di belakang Vanessa, dan sebelum sang istri sempat menoleh, ia melingkarkan lengannya dengan erat di pinggangnya. Kepalanya bersandar, dagunya bertumpu di bahu lembut wanita itu.

“Akhirnya,” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Vanessa tersenyum samar di depan cermin. Tangannya masih memegang sisir, tapi gerakannya berhenti.

“Kau terlambat pulang,” bisiknya.

“Dewan hari ini seperti kumpulan anak kecil yang tersinggung karena mainannya direbut,” keluh Maxime pelan, suaranya lelah tapi tetap dalam dan berat. “Aku hampir menyeret mereka keluar satu per satu.”

Vanessa membalikkan kepalanya sedikit, mata mereka bertemu lewat pantulan cermin.

“Tapi kau tak melakukannya.”

“Sayang sekali, ya?” Maxime menyeringai kecil. “Kupikir kau akan menikmati melihat mereka berlutut sambil menangis.”

Vanessa tertawa kecil, lembut. Suara tawa itu cukup membuat Maxime menutup mata sebentar—menyerap kehangatan itu seperti seorang lelaki yang akhirnya menemukan api di tengah malam beku.

Ia mengecup bahu Vanessa, pelan, lalu berbisik:

“Aku lelah.”

Vanessa meletakkan sisirnya di meja. Ia memegang tangan Maxime yang masih melingkar di perutnya, mengeratkan genggaman itu.

“Beristirahatlah. Kau di rumah sekarang.”

Maxime tidak langsung menjawab. Hanya napasnya yang terdengar, berat namun mulai melambat, seolah tubuhnya mencoba percaya bahwa ia kini berada di tempat yang paling aman.

Dengan tangan yang masih melingkar di pinggang Vanessa, ia perlahan menuntunnya untuk berbalik menghadapnya.

Gerakannya lambat, seperti enggan merusak keheningan yang tenang itu.

Dan ketika mata mereka bertemu—tanpa cermin, tanpa pantulan—hanya tatapan langsung antara dua manusia yang saling mengenali dalam diam… dunia luar seketika tak ada artinya.

Maxime menatapnya lama. Tak berkata apa pun. Hanya menatap wajah itu—wajah yang dulu tak ia percaya, yang dulu hanya penuh prasangka… kini menjadi satu-satunya tempat ia bisa bersandar tanpa ditikam dari belakang.

Vanessa mengerjap pelan. “Apa?”

Maxime mengangkat satu tangan, menyentuh sisi wajahnya.

“Kau tahu…” bisiknya, suaranya serak karena kelelahan, “…aku melewati hari ini tanpa membunuh siapa pun… hanya karena tahu kau akan menungguku malam ini.”

Vanessa nyaris tertawa lagi, tapi Maxime menunduk pelan, menyentuhkan dahinya ke dahinya.

“Jangan tertawa,” gumamnya. “Aku serius.”

“Aku tahu.”

Ia menutup mata, mencium keningnya dengan lembut.

“Aku tahu ini bukan pernikahan yang sempurna. Aku tahu kita memulainya dalam abu dan keterpaksaan. Tapi saat aku kembali… dan melihatmu di sini… di kamar ini… menyisir rambutmu seperti ini…”

Maxime menarik napas dalam, menahannya sesaat.

“Aku lupa bahwa aku lelah.”

Vanessa menunduk, jemarinya meremas ringan lengan Maxime.

“Kau tak harus menjadi kuat setiap saat, Maxime.”

“Kalau bukan aku, siapa lagi?” jawabnya, nyaris pahit. “Dewan hanya menunggu aku goyah. Dunia luar menunggu aku gagal. Tapi kau…”

Ia menatap Vanessa dalam-dalam.

“Kau tidak menunggu aku jatuh. Kau menungguku pulang.”

Vanessa mengangguk kecil, tersenyum lembut—namun hanya untuk beberapa detik. Karena entah kenapa… saat kalimat itu meresap perlahan dalam benaknya, sesuatu yang asing menyelinap ke dalam dada.

Sebuah perasaan… yang tak bisa ia beri nama.

Seolah ada tali tak terlihat yang tiba-tiba menegang di balik punggungnya. Seolah udara menjadi sedikit lebih dingin. Seolah waktu, dalam sekejap, menahan napasnya.

Gelisah.

Itu bukan rasa takut yang jelas. Bukan pula kecemasan karena rencananya esok malam. Bukan karena ia berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari Maxime. Ini lebih dalam dari itu.

Lebih sunyi.

Seperti… suara kecil dalam dirinya membisikkan sesuatu.

Sesuatu yang belum terjadi. Tapi akan.

Vanessa mencoba mengabaikannya. Ia menutup matanya, memeluk Maxime lebih erat. Tapi jantungnya tak mau tenang. Denyutnya mulai tak beraturan, dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke tubuh Vivienne, ia merasa takut pada waktu yang belum datang.

Apa yang akan terjadi?

Kenapa perasaanku tak tenang?

Maxime belum menyadarinya. Ia masih memeluk Vanessa dengan tenang, mengusap punggungnya perlahan. Baginya, ini hanya malam yang damai. Malam yang sangat ia butuhkan.

Vanessa menelan napasnya dalam-dalam.

“Maxime,” gumamnya, nyaris tak terdengar.

“Hm?”

“Jika… jika suatu hari nanti kau kehilangan arah—ingat, bukan semua yang hilang berarti tak kembali.”

Maxime membuka matanya, sedikit bingung. Tapi ia hanya mengecup puncak kepala istrinya dan menjawab tenang:

“Kau tak ke mana-mana, Vivienne.”

“Ya,” Vanessa memejamkan matanya.

“Semoga begitu.”

Tapi di dalam dirinya, perasaan itu terus tumbuh. Seperti benih kecemasan yang pelan-pelan mulai berakar.

Dan ia tidak tahu… bahwa malam itu akan menjadi malam terakhir sebelum segalanya mulai berubah.

——

Di bawah reruntuhan bekas rumah bangsawan tua di Belvoir, api menyala pelan dari mangkuk besi yang menggantung di tengah ruangan melingkar. Dinding-dindingnya penuh ukiran lambang kuno dan simbol medis yang sudah dilarang oleh Kerajaan Aragon. Udara di sini lembap, namun tenang—seperti ruang doa… untuk rencana-rencana kegelapan.

Lord Haldegar Cendervale berdiri di depan meja batu yang dipenuhi peta tua dan laporan tulisan tangan. Ia tidak mengenakan mahkota atau lambang resmi, namun auranya cukup membuat para bawahannya menunduk tanpa diperintah.

Seorang pria bertubuh kurus memasuki ruangan, jubahnya basah oleh kabut pagi. Ia berlutut cepat.

“Laporan dari dalam istana, Tuan…”

Haldegar tak menoleh. “Bicara.”

“Ratu—Vivienne—akan meninggalkan istana dini hari ini. Tujuannya… Desa Rousanne.”

Baru kali ini Haldegar menoleh. Gerakannya pelan, hampir anggun, tapi sorot matanya bagai pisau yang menusuk lurus ke jantung si pembawa kabar.

“Sendiri?”

“Tidak. Bersama Tabib Alana dan asisten kepercayaannya, Lucien. Tapi tanpa pengawalan resmi.”

Hening beberapa detik.

Lalu Haldegar melangkah ke arah dinding, di mana sebuah lemari besi tersembunyi terbuka sedikit. Ia menarik satu gulungan kertas dari dalamnya dan membentangkannya—peta wilayah utara dan selatan dengan titik-titik merah yang sudah ditandai sebelumnya.

Ia menunjuk satu titik kecil: Rousanne.

“Daerah lemah. Terinfeksi. Rawan. Dan… terlalu dekat dengan salah satu jalur penyimpanan bahan terlarang yang kita tanam di bawah tanah.”

Lord Haldegar masih menatap titik kecil bertuliskan Rousanne pada peta tua di hadapannya.

Jarinya tidak bergerak, tapi pikirannya berputar cepat—mengurai serpihan informasi yang sebelumnya hanya ia letakkan di pinggiran.

Dan di antara kabut pikirannya, satu percakapan lama kembali menyeruak.

“Ada sesuatu yang sedang dilakukan Vivienne bersama Tabib Alana.”

Haldegar, yang kala itu hanya diam di singgasananya yang terbuat dari batu kasar, mengangkat alis tipis.

“Apa itu?”

Selene mengangguk, tenang.

“Entahlah. Tapi kuperhatikan pergerakan mereka… terlalu tertutup. Bahkan para pelayan tak tahu apa yang terjadi di dalam ruang kerja mereka. Lucien menjaga pintu. Tidak ada keluar-masuk selain mereka bertiga.”

Di sisi lain meja batu, Lady Armelle duduk bersandar, menyipitkan mata penuh curiga.

“Lalu?”

Selene menatap keduanya. Tatapan yang dulu terlihat lembut kini menjadi bayangan dari niat yang jauh lebih kelam.

“Jika dia benar-benar sedang membuat ramuan seperti yang kudengar… dan jika ramuan itu bisa dibelokkan arah penggunaannya…”

Ia melangkah maju, perlahan.

“…maka kita tidak perlu mencemarkan nama Vivienne dengan fitnah.”

“Kita hanya perlu membiarkan dia mencemari dirinya sendiri.”

Haldegar membuka matanya.

Lambat, ia menarik napas panjang, lalu berbicara seolah kepada dirinya sendiri—atau mungkin kepada arwah-arwah yang menggantung di dinding batu tua itu.

“Jadi… dia benar-benar akan mengujinya di sana.”

Ia melirik kembali peta dan mengetuk bagian bawah wilayah Rousanne.

“Desa yang cukup jauh dari ibukota. Cukup lemah untuk tak banyak bertanya… tapi cukup padat untuk menjadi alat bukti.”

Matanya menyipit.

“Jika ramuan itu berhasil, Vivienne akan mendapat pujian. Tapi jika ada satu kegagalan… satu korban…”

Ia menoleh ke bawahannya yang masih berlutut.

“Apa yang biasanya dilakukan kerajaan pada tabib yang membuat rakyatnya mati?”

“Mereka diadili, Tuan. Di depan publik.”

“Bagus.” Haldegar berdiri tegak, punggungnya lurus bagai bilah pedang. “Biarkan sang Ratu berjalan menuju jebakannya sendiri.”

“Tapi jika itu berhasil?” tanya si bawahan hati-hati.

“Kalau berhasil…” Haldegar tersenyum samar. “…maka kita akan mengambil ramuan itu untuk diri kita sendiri. Dan membalikkan tujuan mulianya menjadi alat kekacauan yang tak pernah bisa ia kendalikan.”

Ia melangkah menuju rak besi yang berisi gulungan laporan dari desa-desa kecil. Tangannya terulur, menarik satu: Rousanne – Wilayah Pinggiran, Sumber Air Tercemar, Tingkat Infeksi Menengah.

“Kirim pengintai ke titik sumur utama. Amati semua interaksi sang Ratu. Jika dia menyentuh satu pun dari mereka—tulis, tandai, dan tunggu dampaknya.”

Ia menatap salah satu anak buahnya, kali ini dengan tatapan yang tak main-main.

“Jika seorang anak mati karena tangan permaisuri… maka darah yang akan mengalir di jalanan bukan dari kita.”

Dan malam itu pun bergulir dengan rencana baru.

Ratu akan pergi menyelamatkan.

Tapi musuhnya… sedang menunggu untuk menjadikannya pembunuh.

1
Ester Natalia
ok tetap semangat ratu
Vlink Bataragunadi 👑
sakit hati bgttt jadi Vivi/Sob/
Ita Xiaomi
Jd sedih😢
Wiliam Zero
Novelnya bagus 👍
Ita Xiaomi
Seandainya Theo tau klo Vivienne telah tiada.
Suryani Tohir
up
Ita Xiaomi
Hati-hati patah loh batang gelasnya😁.
Dewi hartika
thor jangan sampai kaisar terjatuh perangkap helena,moga ada yang menggambarkan kepada Vanessa bahwa raja tidak baik-baik saja,agar cepat di obati,panessa cepat di hukum lanjut thor semangat...
Qori Hasan
waduh.. ngeri ngeri sedap.. smoga... catatan smua tetsimpan di otak saja
Suryani Tohir
next
Suryani Tohir
up
Era Simatupang
ayo thor buat Maxim cemburu guling2 , loncat2 sampai bengek
nacho hong
cinta luar bisa
Era Simatupang
AQ sulit mencerna nya " peluang datang dari kebodohan"
nacho hong
ok
Ivo shaka
alurnya menarik dan membuat penasaran, sehingga tidak bisa berhenti membaca.
luar biasa
neen
ih gemes sama selene.. semoga max dan vivi bisa menghadapi bersama
Siti Amalia
kerennnnnnn bangettt novelnya thorrr....up yg banyak thor semoga happy ending
MiaCoxk
Menarik.. penuh intrik.
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️
syh 03
ceritanya bagus apa lg cara nulisnya dan kata2nya halus banget..enak di cerna 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!