Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Ujian Rasa yang Terlupakan
Suasana di Akademi Rasa berubah seketika. Kehadiran makhluk dari Alam Rasa Awal, yang menyebut dirinya Rasa Kekosongan, membuat seluruh dunia rasa terguncang.
Aura makhluk itu menyelimuti tanah, membuat tanaman layu, air kehilangan rasa, dan angin berhenti membawa aroma. Bao menggenggam gagang pedangnya, namun merasa keringatnya tak memiliki rasa. Ketakutan yang menyeruak adalah… hambar.
Nian berdiri di depan makhluk itu. Simbol tujuh rasa di punggungnya bergetar, berusaha menolak kehampaan yang memancar dari sosok asing itu.
"Kau bilang kau datang untuk menguji kami," ujar Nian. "Ujian apa yang kau maksud?"
Makhluk itu tidak menjawab segera. Ia hanya mengangkat satu tangan. Dari telapak tangannya, muncul bola kelabu—kristal yang tak memantulkan cahaya.
"Ini adalah Inti Rasa Awal," katanya. "Hanya mereka yang mampu menjaga rasa mereka dalam kehampaan mutlak yang akan berhasil. Aku akan menanamkan ini di pusat dunia. Siapa pun yang menyentuhnya akan menghadapi ujian rasa yang terhapus."
"Dan kalau gagal?" tanya Sari yang muncul di samping Nian.
"Mereka akan kehilangan semua rasa, selamanya. Menjadi kosong seperti aku."
Makhluk itu kemudian lenyap, meninggalkan bola kelabu itu melayang di udara. Perlahan bola itu jatuh, menghujam tanah dan tertanam di tengah Akademi Rasa. Seketika langit menjadi senyap. Tak ada burung berkicau. Tak ada angin bertiup. Hening total.
Nian melangkah mendekat. "Aku akan menghadapinya. Ini tugasku."
Sari menarik lengannya. "Tidak. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam."
"Justru karena kita tak tahu, aku harus mencobanya lebih dulu."
Dengan satu tarikan napas, Nian menyentuh bola kelabu itu.
---
Dunia di sekelilingnya lenyap. Ia terbangun di ruang putih tanpa dinding, tanpa batas. Tak ada warna, tak ada suara, tak ada rasa.
"Apa ini…?"
Suara ibunya bergema di telinga: "Rasa bukan hanya kekuatan, Nian. Ia adalah cermin dirimu sendiri."
Tiba-tiba, muncul bayangan dirinya sendiri. Tapi ini bukan Nian yang sekarang. Ini Nian kecil, yang masih takut, masih lemah, masih mencari arti dirinya.
"Kau ingin menjadi pewaris rasa?" tanya bayangan itu. "Lalu kenapa kau buang semua rasa sakitmu? Bukankah itu bagian dari rasa juga?"
Nian terdiam. Ia tak bisa menjawab. Ia selalu berusaha menghindari rasa pahit, menolak duka, menutupi kemarahan. Tapi kini, semua rasa itu kembali, mengalir deras seperti banjir.
Rasa kecewa karena ditinggal ibunya.
Rasa bersalah karena kematian guru pertamanya.
Rasa takut kehilangan Bao dan Sari.
Ia tenggelam dalam lautan rasa yang tak terucap. Tapi justru saat itu, ia merasa… hidup.
Dengan tekad kuat, Nian memeluk bayangan dirinya. "Aku adalah semua rasa itu. Aku tidak akan menyangkalnya lagi."
Ruang putih itu retak. Cahaya pelangi menyembur dari dalam tubuhnya. Simbol rasa di punggungnya muncul satu per satu—kali ini menyala lebih terang.
Satu simbol baru muncul. Simbol kelapan.
Sebuah titik perak keabu-abuan yang berkilau lembut. Bukan kehampaan. Tapi penerimaan.
---
Saat Nian membuka mata, dunia telah berubah.
Kristal kelabu telah berubah menjadi batu rasa baru. Batu itu kini memancarkan aura rasa kompleks yang tak bisa dijelaskan dengan satu kata.
Sari dan Bao berlari mendekat. "Kau berhasil?!"
Nian mengangguk. "Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku menerima semua rasa, bahkan yang tak ingin aku rasakan."
Batu itu mulai membelah. Dari dalamnya, muncul cahaya yang membentuk simbol baru. Alam Rasa Awal perlahan menyatu dengan dunia rasa.
Namun, di kejauhan, sosok Rasa Kekosongan berdiri di atas puncak gunung, menatap jauh dengan mata kelabu.
"Satu berhasil. Tapi berapa banyak yang bisa menyusulnya? Era Rasa Kedelapan… baru dimulai."