Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Awal dari Kehilangan
Langit Jakarta masih gelap ketika jam menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Udara dini hari menyusup dari celah jaket dan menyentuh kulit seperti teguran kecil dari alam semesta. Di koridor lantai delapan sebuah apartemen sederhana, seorang gadis duduk menyender pada dinding, dengan mata sembab dan wajah lesu.
Suzy.
Ia duduk bersila di lantai depan unit apartemen 812—milik seseorang yang akhir-akhir ini makin terasa asing baginya: Paijo.
Satu jam... dua jam... tiga jam berlalu sejak dia datang tengah malam tadi. Berharap lampu unit menyala. Berharap suara langkah kaki. Berharap... apa saja.
Tapi yang ia dapatkan hanya kesunyian dan beberapa tatapan heran dari tetangga yang keluar-masuk unit sebelah.
Ia menolak pulang. Ia ingin penjelasan. Ia butuh jawaban.
Dan tepat saat ia mulai tertidur karena kelelahan, suara “ting” dari lift membangunkannya. Suara langkah berat dan terburu-buru terdengar dari ujung lorong.
Paijo.
Dengan wajah lelah, rambut acak-acakan, dan setelan rapi ala eksekutif yang baru saja menyelesaikan ‘dinas malam’. Tas kerja disampirkan sembarangan di bahu, dan kancing kemeja atas sudah dilepas. Pandangannya kosong... sampai ia melihat sosok yang duduk di depan pintu.
“Mbak Suzy...?” suaranya tercekat.
Suzy membuka mata. Menatap Paijo yang baru datang. Dalam sepersekian detik, matanya bergetar, tapi ia buru-buru menunduk.
“Mas...” gumamnya pelan. “Akhirnya pulang juga.”
Paijo melangkah cepat dan berjongkok di depannya.
“Ya Allah, kamu ngapain di sini? Dari kapan?”
Suzy tertawa kecil, getir. “Dari semalam. Nunggu kamu.”
Paijo menyentuh bahunya, panik. “Kenapa nggak kabarin? Kenapa nggak pulang?”
Suzy mengangkat bahu. “Aku coba. Tapi nomormu nggak aktif.”
Baru saat itu Paijo ingat: dia mematikan ponsel saat bersama klien semalaman di Hotel Grand Leora. Klien kelas atas. Permintaan Claudia yang katanya ‘nggak bisa ditolak’. Uang besar. Sangat besar.
Tapi saat ini, tak ada angka yang cukup untuk menebus rasa bersalahnya.
“Mbak... maaf...” bisiknya.
Suzy menggeleng. “Nggak apa-apa. Nggak usah minta maaf. Mas Paijo pasti sibuk.”
Mereka terdiam sebentar.
“Masih boleh aku masuk?” tanya Suzy akhirnya.
Di dalam apartemen, keheningan lebih pekat dari udara pagi. Suzy duduk di sofa, memeluk lututnya. Paijo berdiri di dapur, membuat teh tanpa benar-benar sadar sedang melakukan apa.
Kepalanya berisik. Hatinya sesak.
“Mas kerja di mana semalam?” tanya Suzy tanpa menoleh.
Paijo terdiam. “Ada... urusan kerjaan.”
“Film?”
“Iya... semacam itu.”
Suzy mengangguk pelan. “Ternyata dunia film sibuk juga ya. Sampai bikin orang lupa kabarin temennya.”
Kalimat itu seperti pisau pelan. Paijo tahu, ini bukan sekadar ‘lupa kabarin’. Ini soal pengkhianatan yang belum sepenuhnya diucapkan. Soal harapan yang digantung di antara pintu dan pagi.
Suzy melanjutkan, “Aku seneng Mas sekarang makin sukses. Tapi aku juga sedih... karena Mas bukan lagi Mas Paijo yang aku kenal waktu kerja di toko buku.”
Paijo duduk di sisi lain sofa. “Aku... berubah ya?”
“Banyak.”
Mereka kembali diam. Tapi kali ini bukan karena kehabisan kata, melainkan karena terlalu banyak yang ingin diucapkan tapi tak tahu harus dari mana.
“Kenapa berhenti kerja di toko?” tanya Suzy.
“Ada tawaran gede. Aku nggak bisa tolak.”
“Kamu kembali ke pekerjaan lama?”
Paijo menoleh cepat. “Maksudnya?”
Suzy menatap lurus. “Aku tahu Mas pernah punya masa lalu. Nggak pernah aku tanya karena aku pikir, Mas sendiri yang akan cerita.”
Paijo menggigit bibir. “Mbak Suzy...”
“Tapi sekarang, aku mulai mikir... mungkin aku nggak akan pernah dikasih tahu.”
Paijo menunduk. “Aku cuma... nggak mau kamu kecewa.”
Suzy tersenyum pahit. “Aku kecewa bukan karena Mas punya masa lalu. Tapi karena Mas nggak percaya sama aku.”
Air matanya mengalir pelan. Tapi ia tetap menatap Paijo.
“Aku cuma pengen tahu, Mas. Apa kamu beneran pengen berubah? Atau kamu cuma ngomong waktu itu buat bikin aku seneng?”
Paijo mengusap wajahnya. Kepalanya penuh. Tapi ia tahu, tak ada gunanya menyalahkan keadaan.
“Aku pengen berubah,” katanya pelan. “Tapi... kenyataan lebih rumit dari yang aku bayangin.”
Suzy mengangguk.
“Aku ngerti. Semua orang butuh bertahan hidup. Tapi aku nggak bisa nunggu kamu terus, Mas. Kalau kamu mutusin kembali ke jalan yang dulu, aku... ya udah. Aku pamit.”
Suzy berdiri, mengambil tasnya.
Paijo ikut berdiri. “Mbak Suzy, tunggu...”
Suzy menoleh. “Aku harap Mas nggak lupa, dulu aku pernah bilang: aku nggak butuh Mas jadi sempurna. Aku cuma pengen Mas jujur.”
Paijo tercekat.
Suzy menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik. Langkahnya perlahan menjauh, menyisakan keheningan dan hati yang porak-poranda.
Saat pintu tertutup, Paijo jatuh terduduk.
Pagi itu, matahari terbit seperti biasa.
Tapi bagi Paijo, hari itu adalah awal dari kehilangan—yang mungkin tak bisa ia tebus.
...****************...
Paijo berdiri di depan cermin apartemen sempitnya. Ia menatap pantulan wajahnya sendiri yang tak lagi ia kenali.
Rambut disisir klimis. Jas hitam yang terlalu mahal untuk pria sepertinya. Sepatu mengilap yang tak pernah ia beli dengan uang jujur.
“Joe Gregorius,” katanya lirih, mencoba menguji bagaimana nama itu terdengar keluar dari bibirnya sendiri.
Lalu ia menggeleng. “Mas Paijo,” bisiknya, dengan suara getir. “Mas Paijo…”
Nama itu lebih terasa seperti rumah. Namun rumah yang baru saja ia tinggalkan.
Kemarin pagi, Mbak Suzy pergi dengan air mata. Hari ini, Claudia datang dengan senyum dingin.
“Aku udah atur jadwal shooting kamu buat teaser film ‘Sultan Nafkah’,” kata Claudia, duduk di meja makan apartemen Paijo seperti ia yang punya tempat itu.
Paijo hanya mengangguk, duduk di hadapannya.
“Dan malam ini kamu ke Hotel Ellipse. Klien lama. Tante Lydia. Dia request khusus kamu. Dengan bonus dua kali lipat, karena katanya kamu... ‘lagi langka muncul’.”
“Madam...”
Claudia mendongak, alisnya terangkat. “Ya?”
Paijo menghela napas. “Aku nggak yakin mau lanjut semua ini.”
Claudia tersenyum. “Kamu tahu siapa yang juga nggak yakin bisa lanjut hidup? Mbok Sarni. Kalau kamu berhenti sekarang, dia yang pertama kena imbasnya.”
Paijo mencengkeram gelasnya. “Saya udah ngasih setengah dari yang kamu transfer buat biaya rumah sakitnya. Tapi... sampai kapan?”
“Ya sampai hidup kita selesai, Paijo,” jawab Claudia santai. “Welcome to dunia dewasa, honey. Hidup tuh mahal. Apalagi yang dosa-dosanya udah numpuk kayak kamu.”
Paijo menggertakkan gigi. Tapi ia tahu Claudia benar. Di dompetnya, saldo nyaris kosong. Tagihan rumah sakit Mbok Sarni masih menggantung. Satu-satunya hal yang bisa membayar semua itu—adalah dirinya sendiri.
Tubuhnya.
Nama panggungnya.
Masa lalunya.
“Kalau kamu berhenti, aku telepon Suzy. Aku kirim satu foto kamu sama Madam Ulfa di kolam renang hotel kemarin malam. Aku yakin Mbak Mahasiswi UI itu bakal seneng tahu betapa kamu ‘berbakat akting’,” Claudia menambahkan sambil berdiri.
“Dan kamu tahu aku bisa lacak dia, bahkan tanpa perlu buka Instagram.”
Paijo menutup mata. Di dalam dadanya, seolah ada dua bagian yang saling menarik: cinta yang ia pupuk, dan kewajiban yang ia telan.
Setelah Claudia pergi, Paijo mengambil ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari rumah sakit di kampung.
Paiman mengirim pesan:
Jo, Mbok butuh cuci darah lagi minggu ini. Biayanya 5 juta. Kalo bisa cepat ya, Jo.
Paijo terduduk di lantai, menatap ponsel seolah benda itu makhluk jahat.
Ia menggenggam rambutnya, tubuhnya gemetar. Dalam kepalanya, terngiang suara Suzy:
“Aku cuma pengen Mas jujur…”
Ia ingin jujur. Ia ingin berhenti. Tapi harga kejujuran terlalu mahal.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️