Alby dan Putri adalah dua remaja yang tumbuh bersama. Kedua orang tua mereka yang cukup dekat, membuat kedua anak mereka juga bersahabat.
Tidak hanya persahabatan, bahkan indahnya mahligai pernikahan juga sempat mereka rasakan. Namun karena ada kesalahpahaman, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimana jika pasangan itu dipertemukan lagi dalam keadaan yang berbeda. Apakah Alby yang kini seorang Dokter masih mencintai Putri yang menjadi ART-nya?
Kesalahpahaman apa yang membuat mereka sampai memutuskan untuk berpisah?
Simak cerita selengkapnya ya...
Happy reading.
------------
Cerita ini hanya fiksi. Jika ada nama, tempat, atau kejadian yang sama, itu hanya kebetulan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon el nurmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alby vs Arif
Happy reading...
Senja yang mulai menjingga mengiringi langkah Arif yang terlihat tak bertenaga. Bukan karena lelah bermain bola, melainkan kenyataan yang baru saja diketahuinya.
Arif baru pulang dari rumah Alfi dan beberapa teman lainnya yang memang bertetangga. Mereka asik mengobrol di teras depan rumah Alfi dan disuguhi gorengan buatan neneknya.
Gelak tawa seakan hanya topeng belaka. Karena nyatanya, hati Arif merasa teriris melihat keadaan keluarga Bu Rita.
Masih terngiang di telinga Arif isak tangis kakak iparnya manakala keluarga itu terusir dari desa. Dengan hanya membawa harta benda yang tak seberapa, mereka meninggalkan desa dan pergi entah kemana.
"Apa Kak Alby tahu keadaan Mbak Putri saat ini? Dan Alfi, apakah dia anak Kak Alby? Kalau diperhatikan, sekilas mereka memang mirip," gumam Arif.
Sesampainya di depan rumah Alby, Arif terpaku menatap wanita yang tengah menyiram tanaman di halaman depan. Di balik kesederhanaan yang terlihat pada sosok itu, pastinya ada luka yang tertoreh cukup dalam di hatinya.
Apa Mbak Putri sudah memaafkan Kak Alby? Batinnya.
Arif melangkah menuju pintu masuk. Putri yang mengetahui kehadirannya langsung membelakanginya seolah tak ingin menyapa.
"Mbak..."
"Iya?" Putri menoleh dan menatap bingung pada Arif.
"Nggak kok. Nggak ada apa-apa," elak Arif yang tersenyum kikuk dan berlalu ke dalam rumah.
"Dia kenapa? Apa jangan-jangan dia sudah mengingatku," gumam Putri yang tiba-tiba merasa kecut.
Setelah pekerjaannya selesai, Putri hendak pamit pulang. Arif yang baru keluar dari kamarnya memanggil Putri yang hendak berlalu pergi.
"Mbak, ini bawa saja. Lumayan daripada dibuang," ujar Arif menyodorkan sekantong plastik buah-buahan yang diambilnya dari dalam lemari pendingin.
Tidak hanya Putri, Intan yang melihat hal itupun merasa heran. Melihat Putri yang hanya diam, Arif menghampirinya dan meraih tangan Putri agar menerima pemberiannya.
"Apa-apaan kamu?" tanya Alby yang melihat hal itu dan menuruni tangga dengan langkah cepat.
"Iya, Rif. Kenapa kamu perhatian sekali sama Putri. Buah-buahan itu juga baru kemarin dibeli Ibu dari pasar," ujar Intan.
"Ya, nggak apa-apa. Anggap saja ini tanda perkenalan Arif sama Mbak yang manis ini, hehe. Ini Mbak diterima. Oh iya, saya juga masih jomblo lho," canda Arif.
"Rif! Jangan macam-macam kamu," hardik Alby.
"Kenapa? Kan memang iya. Sudah Mbak pulang saja, nanti keburu gelap. Daah, sampai besok!" Arif melambaikan tangannya pada Putri yang berlalu masih dengan raut wajah yang bingung.
"Kalau kamu juga baik sama dia, yang ada dia malah semakin melunjak," delik Intan.
Arif tak mau ambil pusing dengan ucapan Intan. Tapi satu hal yang disadarinya yakni ketidaksukaan Alby akan sikapnya pada Putri.
Aku yakin mereka berdua sedang bersandiwara. Kak Alby pura-pura tidak mengenal Mbak Putri di depanku juga di depan Kak Intan. Oke, sandiwara kita lanjutkan. Aku ingin tahu sampai mana Kak Alby bisa bertahan, batin Arif.
***
Suasana malam yang sunyi menghadirkan rasa sepi di hati Putri. Satu persatu orang dari masa lalu muncul dan mulai memberi warna dalam kehidupannya.
Warna seperti apa yang akan mereka berikan saat ini, apakah warna yang sama dengan yang pernah mereka berikan sebelumnya? Mengapa mereka hadir seolah ingin menggali lagi masa lalu yang ia kubur demi masa depan putranya.
Dengkuran halus terdengar dari sosok putra semata wayangnya. Kehadiran Alfi menjadi alasannya bertahan dalam menjalani pahit getir kehidupan ini. Sosok ini pula yang membuatnya tidak bisa membenci pria yang meninggalkannya begitu saja.
Seandainya kamu tahu Ayahmu ada di sini di dekat kita, apa yang akan kamu lakukan, Al? Apakah kamu akan membencinya atau justru sebaliknya. Bukankah kamu sangat merindukannya? Apa sebaiknya Mama memberitahukan keberadaanmu padanya? Tapi apa yang akan kita dapatkan dengan melakukan hal itu? Dia bahkan tak berniat menanyakan kejadian yang sebenarnya di masa lalu. Dan terlebih lagi, dia akan berkeluarga. Mama takut kamu kecewa, Al. Biarlah semua itu hanya akan jadi rahasia Mama, dan sebisa mungkin Mama akan membuatmu bahagia, batin Putri sambil mengusap pipi Alfi yang terlelap itu dengan sangat lembut.
Keesokan harinya, Putri kembali menjalani rutinitas paginya. Ia mempersiapkan sarapan untuk Alfi dan berangkat ke rumah majikannya.
Sesampainya di sana. Putri tertegun mendapati Alby dan Arif sudah ada di ruang makan.
"Maaf saya terlambat," ucap Putri pelan.
"Tidak apa-apa mbak. Bisa tolong buatkan kopi?" pinta Arif.
"Kenapa tidak kamu buat aja sendiri?" tanya Alby dengan tatapannya yang tajam.
"Kan Mbak-nya udah datang. Ya kan, Mbak?"
Putri mengangguk dengan sangat canggung. Saat ia akan mengambil cangkir kopi, titah Alby menghentikannya.
"Buatkan dulu aku jus!"
"Eeh, Kak Alby antri dong. Arif dulu yang minta jadi Arif yang duluan dibuatkan. Saya dulu Mbak!" Pintanya.
"Di sini aku yang majikan dia," sahut Alby tak mau kalah.
"Berarti Arif juga majikannya dong. Kan Arif adik Kak Alby. Sekali-kali ngalah sama adik. Kopi hitam, Mbak. Jangan terlalu banyak gulanya, yang buatnya kan udah manis. Apalagi yang minumnya. Perpaduan yang cocok deh kita ini, manis ketemu manis." Godanya.
Merasa kesal mendengar ocehan sang adik, Alby menoyor kepala Arif sebelum berlalu meninggalkan ruang makan menuju tangga.
"Jusnya gimana, Al? Maksud saya, Pak Dokter," tanya Putri gugup.
"Taruh saja di situ. Aku mau mandi dulu," sahut Alby.
Putri lantas membuatkan kopi pesanan Arif. Wanita itu tidak menyadari pria di belakangnya sedang menyeringai.
Awas kalian ya! Kalian pikir bisa membodohiku, hmm? Batinnya.
***
Gumpalan awan yang bergelayut manja di atas sana, seolah siap menjatuhkan butiran airnya di mana saja. Sinar mentari yang semula terik dengan mudahnya redup hanya karena awan hitam yang menghalanginya.
Satu helaan nafas dibuang kasar pemiliknya. Memandang langit yang meredup tak ubahnya memandang kehidupannya sendiri.
Intan terperanjak saat mendengar suara kursi yang ditarik. Ia tersenyum tipis pada pria yang kini duduk si sampingnya.
"Hari ini kamu libur, Ga?"
"Iya. Kamu masuk malam?"
"Begitulah," sahut Intan malas.
Arga menautkan alisnya menatap Intan yang menampakkan raut wajah sedih.
"Kenapa? Sepertinya kamu sedang ada masalah. Nggak biasanya cuaca begini kamu ngajak ketemuan." Ujarnya.
"Menurut kamu bagaimana perasaan Alby padaku?"
"Alby? Hmm, sejujurnya siapapun bisa melihatnya. Dokter Alby tidak ada perasaan lebih padamu." Sahutnya.
"Tega kamu, Ga. Jujur banget," ujar Intan datar. Dokter Arga terkekeh pelan.
"Lalu kamu ingin aku bilang apa? Waah, salut aku Tan, Alby itu cinta banget lho sama kamu. Begitu?" Oloknya.
Intan menekuk wajahnya melihat Arga yang sedang mengolok dirinya. Memang benar adanya siapapun bisa melihat bagaimana sikap Alby padanya. Lalu, haruskah ia menyerah dengan hubungan mereka?
Boleh tdk tamat sekolah tp Jangan Mau di Goblokin Lelaki.. Apa lg Mantan Suami yg Gak Jelasa Statusnya.
Di katakan Mantan Suami, Nikahnya masih Nikah Sirih, bukan Nikah Syah Secara Hukum Negara.
Oh Putri Goblok, Mudah x memaafkan..
aku suka cerita nya gx bertele2 terus bisa saling memafkan
sukses buat author nya,,, semangatt