Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
“Kenapa kamu suka duduk di sini?” tanya Wiji, suaranya pelan, nyaris larut bersama desir angin sore yang menyelusup di sela-sela daun akasia, menggetarkan ranting, membelai wajah mereka dengan bisikan alam yang tak terlihat.
Asmarawati menoleh perlahan, senyumnya mengembang kecil, seperti kuntum melati yang baru merekah di awal pagi. Tatapan matanya menembus cakrawala yang mulai berubah warna—dari biru keemasaan, lalu jingga yang remuk perlahan. “Karena di sinilah, Mas… aku merasa menjadi diriku yang sebenar-benarnya. Tanpa perlu menjadi siapa-siapa, tanpa harus menjawab harapan siapa-siapa. Hanya aku… dan waktu yang mengalir pelan seperti aliran kali Brantas di hadapan kita ini.”
“Apa yang membuatmu merasa seperti itu?” tanya Wiji, suaranya menyimpan penasaran yang lembut, seolah ingin membuka pintu-pintu rahasia yang tersembunyi di balik senyum perempuan itu.
Asmarawati tak segera menjawab. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali ke arah senja. Suaranya keluar pelan, mengalun lirih seperti tembang asmaradana dari gamelan yang dimainkan saat hati sedang rindu.
“Tempat ini bukan sekadar tempat. Ia adalah pelabuhan… bagi hatiku yang sering lelah berlayar dalam gelombang harapan dan kenyataan. Di sini, aku bisa berdiam… dan dalam diam itu, aku bisa mendengar suaraku sendiri. Suara yang tak tertindih oleh gaduhnya dunia. Tak terbelit oleh ambisi. Tak dipoles oleh tuntutan.”
Ia berhenti sejenak, seperti sedang menyusun kata yang pas. “Di sini, aku bisa menghirup kebebasan. Udara yang tak meminta apapun dariku, selain untuk dihirup dengan syukur. Aku bisa melihat burung-burung yang melintasi langit tanpa ragu—sayap mereka terbuka, bukan untuk pamer kekuatan, tapi untuk menjalani takdir terbangnya. Mereka hinggap di mana pun yang mereka suka, tanpa bertanya boleh atau tidak. Di bawah langit yang merona, di atas sungai yang memantulkan cahaya matahari sore, dan di antara ranting-ranting akasia yang melambai seperti tangan-tangan halus dari alam yang menyapa kita.”
Ia mengalihkan pandangan, menatap mata Wiji yang redup dalam kekaguman. “Mas… bagiku semua itu bukan sekadar pemandangan. Itu adalah nyanyian semesta. Sebuah doa diam-diam. Sebuah perayaan kecil atas hidup yang terus berjalan, meski kadang berat, kadang sunyi.”
“Asmarawati…” Wiji menyebut namanya nyaris tanpa sadar. Suaranya serak tertahan oleh keheningan yang suci. “Sampean… selalu punya cara untuk membuat hal-hal biasa menjadi begitu agung.”
“Apakah sampean juga merasakannya, Mas?” tanyanya pelan, suaranya seperti bisikan yang menyelinap di antara hembusan pawana.
Wiji mengangguk, meski wajahnya memerah, entah karena senja atau karena perasaan yang belum bisa ia namakan. “Iya… aku juga menyukainya. Tapi aku menyukainya bukan hanya karena senjanya. Tapi karena di sinilah aku bisa duduk bersamamu… dan mendengarkan hatimu berbicara. Itu jauh lebih indah dari burung-burung dan langit jingga.”
Asmarawati tersenyum, namun kali ini matanya tampak berkaca. Entah karena kata-kata itu, atau karena senja yang akan menghilang, seperti kenangan yang tak ingin dilupakan.
Asmarawati tersenyum lagi, kali ini lebih hangat, sehangat cahaya senja yang membasuh pipinya. Ia menunjuk ke arah ufuk barat, tempat warna jingga dan emas menyatu seperti lukisan Tuhan yang tak pernah selesai.
“Lihatlah senja itu, Mas…” katanya pelan, hampir seperti doa yang tak ingin terdengar terlalu lantang. “Ia memancarkan keindahan yang paling jujur… justru di ujung hidupnya hari ini. Ia tidak berteriak, tidak menyombong, tidak meminta dipuji. Ia hanya pulang, setelah seharian menyinari bumi Wonosari. Tapi dalam kepulangannya, ia justru menjadi paling cantik.”
Ia menghela napas lirih. “Senja itu seperti cinta yang matang… tak lagi meledak-ledak, tapi tetap menyala. Ia tahu kapan harus datang, dan kapan harus merelakan malam mengambil alih. Ia tahu bahwa keindahan tidak harus abadi, cukup hadir pada waktu yang tepat.”
Wiji diam. Ia merasa seperti baru saja membaca puisi yang ditulis langsung oleh alam, dan dibacakan oleh suara perempuan yang hatinya penuh cahaya.
“Meskipun keindahannya hanya sesaat, Mas,” lanjut Asmarawati, “namun ia selalu ditunggu. Selalu dirindukan. Tak pernah dianggap basi. Padahal tiap hari ia datang dan pergi. Begitulah hidup, mungkin. Perjalanan panjang yang melelahkan… hanya untuk tiba di ujung. Tapi di ujung itu, kita bisa memancarkan cahaya—walau hanya sekejap.”
Wiji menunduk, lalu menatap wajah Asmarawati yang kini bermandikan cahaya tembaga. “Kata-katamu begitu indah, Dek. Seperti penyair yang sedang menulis dengan tinta hatinya.”
Asmarawati tertawa pelan, lembut seperti alunan gending malam. “Memangnya hanya penyair yang boleh berkata indah, Mas?”
“Entahlah,” jawab Wiji dengan ragu, sambil mengusap tengkuknya. “Mungkin... hanya penyair yang berani menyuarakan isi jiwanya.”
Asmarawati menggeleng kecil. “Tidak, Mas… Semua orang punya puisi dalam dirinya. Hanya saja, tak semua orang berani menyelaminya. Ada yang takut, ada yang belum tahu caranya. Tapi ketika hati bicara jujur, kata-kata pun bisa menjelma jadi bait.”
Wiji memandangnya dalam-dalam. Senja di langit seperti pindah ke wajah perempuan itu. Lembut. Hangat. Dan perlahan menjelma misteri yang ingin terus ia pahami.
“Asal seseorang punya hati yang peka, dan kemauan untuk jujur…” suara Asmarawati mengalir pelan seperti air kali yang menyentuh tepian tanggul ini. “Ia bisa menuturkan kata-kata seindah apapun. Karena keindahan tak selalu lahir dari puisi. Ia tumbuh dari rasa. Dari luka yang diolah menjadi makna. Dari bahagia yang dipeluk dengan rendah hati.”
Ia menatap jauh ke ujung langit, di mana senja terakhir menggigil di ujung hari. “Semua orang bisa merangkai keindahan, asal mereka berani menyuarakan yang dirasa, tanpa takut dinilai, tanpa malu dianggap lemah. Sebab tak ada kata yang sia-sia bila ia lahir dari kejujuran.”
Wiji diam. Ia memainkan kerikil kecil di dekat jari-jarinya. Lalu pelan berkata, “Aku bukan orang yang pandai berkata-kata, Dek. Bahkan sering kali… aku hanya duduk diam, takut salah bicara, takut terlalu biasa. Kata-kataku sering tak punya sayap untuk terbang, atau akar untuk berpijak.”
Ia menunduk, mengusap dagunya yang diganjal telapak tangan.
Asmarawati menoleh, sorot matanya teduh, tapi tajam seperti embun yang menetes di ujung daun. “Panjenengan tak perlu pandai berkata manis, Mas. Tidak semua keindahan lahir dari kata-kata yang indah. Kadang, yang paling bermakna justru kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh, meski sederhana.” Ia tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya, “Yang lebih penting dari tutur kata adalah laku. Panjenengan cukup bertanggung jawab atas setiap kata yang pernah panjenengan ucapkan. Itu sudah lebih dari cukup. Karena kata yang keluar dari mulut, harus dijaga oleh hati dan ditegakkan oleh perbuatan.”
Hening menyusup di antara mereka. Tapi hening itu bukan kekosongan. Ia seperti ruang sunyi tempat dua hati bisa saling bernafas tanpa perlu bersuara.
Senja telah nyaris tenggelam, tapi bagi keduanya, percakapan itu adalah cahaya yang belum padam. Sebuah pertemuan antara keberanian dan keraguan, antara kejujuran dan harapan, yang menggema jauh di dalam dada mereka masing-masing.
Wiji balas menatap, matanya tenggelam dalam sorot teduh milik Asmarawati. Tatapan itu bukan milik orang yang hendak menggoda, tapi milik seseorang yang mencoba memahami dunia dalam jiwa orang lain.
“Aku…” suaranya nyaris tak terdengar, seperti angin yang tersesat di sela dahan. “Aku tidak sepenuhnya mengerti maksudmu, Dek.”
Hening tiba-tiba tumbuh di antara mereka, bukan seperti hening yang janggal, tapi hening yang khusyuk—seperti doa yang diam-diam naik ke langit, seperti langit yang tak tergesa menampung air mata bumi.
Tak satu pun dari mereka melanjutkan kata-kata. Hanya mata yang bicara. Saling mengamati, saling menyelami, seolah hendak membaca isi hati tanpa suara.
Angin seolah enggan mengusik, seperti ikut menghormati percakapan diam itu. Burung-burung yang tadi sempat ribut di dahan pohon akasia, kini memilih diam—seolah alam tahu, ada sesuatu yang sakral sedang terjalin.
Waktu berjalan lambat, tapi tak membosankan. Justru sebaliknya—tiap detiknya terasa berarti. Seperti daun yang jatuh perlahan tapi pasti. Seperti napas yang ditahan, karena takut merusak keindahan.
Dua pasang mata itu bersitatap. Tapi bukan tatapan biasa. Ada rasa yang belum diucap. Ada harap yang belum diberi nama. Mereka bicara dalam bahasa yang tak diajarkan di sekolah atau kitab mana pun—bahasa sunyi, bahasa batin.
“Jangan menatapku seperti itu, Mas…” bisik Asmarawati pelan, suaranya lirih seperti desir angin yang takut menyentuh. Ia lalu cepat-cepat memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona yang entah datang dari senja, atau dari dadanya yang mendadak hangat.
Wiji tergagap. Ia segera menunduk, lalu memalingkan pandangan. “Maaf…” katanya, pelan sekali.
Permintaan maaf itu sederhana, namun tulus. Seolah ia merasa telah menyentuh bagian jiwa yang belum waktunya dibuka.
Senja pun mulai benar-benar tenggelam. Langit memudar, mengganti jingga dengan nila. Tapi di antara dua hati itu, cahaya baru justru mulai menyala—perlahan, hati-hati, tapi nyata.
Merasa suasana hati mulai terlalu dalam untuk dijangkau, Asmarawati segera mencari celah, semacam pelampung ringan agar perahu perasaan mereka tak karam terlalu cepat.
“Oh iya, Mas…” katanya, dengan nada yang sengaja dibuat riang, seperti senandung gadis kecil yang sedang menyembunyikan degup jantungnya. “Lusa aku pentas lagi di kampung sebelah. Sampean hadir, iya? Temani aku…”
Wiji menoleh, senyumnya tipis, nakal, penuh siasat menggoda. “Kalau aku ndak hadir… bagaimana?”
Asmarawati langsung manyun, menoleh dengan mata setengah memelotot namun penuh manja. “Ndak bisa, Mas! Pokoknya sampean harus hadir! Kalau sampean ndak datang, aku ndak mau ketemu lagi sama sampean. Beneran!”
Nada suaranya setengah bercanda, setengah sungguhan. Ada ancaman kecil di balik senyumnya yang bersinar tembaga—dan itu membuat Wiji semakin tak bisa menahan tawa.
“Hehe… eh iya, iya… jangan begitu. Aku cuma bercanda, kok. Tenang saja, Dek… untukmu, aku pasti datang. Meskipun hujan, atau angin kencang. Aku akan tetap datang.”
Asmarawati memiringkan kepala, mencubit pipinya sendiri sambil menatap penuh selidik. “Janji?”
Wiji menghela napas panjang, lalu menatap langit yang mulai temaram. “Tak perlu janji, Dek. Karena aku tak ingin hanya jadi penutur kata manis. Aku akan datang… membawa bukti, bukan janji.”
Asmarawati mencibir manja, mulutnya mencucu. “Huh… gombal mukiyo…”
Wiji hanya tersenyum, tapi dalam hatinya, kata-kata Asmarawati sudah ia simpan seperti pusaka. Ia ingin datang bukan hanya sebagai penonton, tapi sebagai seseorang yang berarti di balik panggung itu.
Waktu terus merambat. Matahari perlahan turun dari takhtanya, menyerahkan langit pada remang. Cahaya jingga menjadi bayangan terakhir di permukaan air kali. Burung-burung mulai kembali ke sarang, gembala domba berbaris rapi menuju ke kandang.
Dua anak muda itu tetap duduk, membiarkan senja mengunci rahasia mereka dalam cahaya terakhirnya. Mereka tak berkata-kata lagi. Tak perlu. Kadang, diam justru lebih fasih dari segala ujaran.
Di kejauhan, dari balik anyaman bambu warungnya, Yu Kastun memperhatikan keduanya dengan tatapan menyipit, matanya tajam seperti mata emak-emak yang sedang membaca cerita dari jarak jauh.
“Siapa itu, Tung?” tanyanya, sambil tetap memegang gelas kopi yang kini tinggal ampas.
Untung, anaknya, yang sedang duduk-duduk di bangku panjang sambil makan kerupuk, menoleh santai. “Oh, itu Wiji, Mak!”
“Wiji?” Yu Kastun mengerutkan kening. “Sama siapa dia itu? Kok ndak biasanya…”
“Sama Asmarawati,” jawab Untung sekenanya, sambil menggigit kerupuk yang terakhir.
“Asmarawati? Asmarawati.... anaknya Ki Ratmoyo? Yang sinden itu?”
“Iya, Mak… Asmarawati.”
Yu Kastun ternganga sebentar. “Wiji deketan sama Asmarawati?”
Untung hanya mengangkat bahu. “Ndak tahu, Mak. Urusan mereka. Wong sama-sama muda, ya wajar…”
Yu Kastun mendecak. “Ladalah… iki sih bakalan rame!”
Untung menoleh dengan wajah bingung. “Kenapa sih, Mak?”
“Ndak apa-apa, Tung. Wes, Emak pulang dulu. Kamu jagain warung. Nanti habis maghrib Emak balik lagi,” kata Yu Kastun, lalu pergi sambil membawa pikirannya sendiri yang entah melayang ke mana.
Sementara itu, senja benar-benar lenyap ditelan malam. Tak ada lagi semburat jingga yang tertinggal di cakrawala. Hanya sisa-sisa cahaya tipis yang perlahan luruh, digantikan kelam yang mengembang seperti selimut waktu.
Wiji dan Asmarawati bangkit dari tempat duduknya. Tidak tergesa, tidak juga berat. Ada kesunyian kecil yang ikut berdiri bersama mereka—sunyi yang lembut, bukan karena canggung, melainkan karena terlalu banyak rasa yang tak sempat diucapkan.
Mereka berjalan perlahan ke arah motornya masing-masing. Mesin matic milik Asmarawati menyala dengan suara lembut, seperti dirinya. Sementara suara CB Wiji sedikit lebih berisik, lebih laki-laki, tapi malam ini pun suara itu terdengar lebih tenang dari biasanya.
Mereka melaju bersama—dalam satu arah, satu jalan, meski akan berakhir di tujuan yang berbeda. Jalan desa yang sempit itu seolah jadi panggung kecil bagi dua hati yang saling mencari.
Saat sampai di ujung jalan, di persimpangan kecil tempat lampu-lampu rumah mulai menyala malu-malu, Asmarawati memperlambat laju motornya, lalu menoleh ke kiri. Di sana, halaman rumahnya menanti, diterangi lampu gantung temaram dan bayang pohon sawo yang berdiri anggun di pojokan.
Ia mengangkat tangan, memberi isyarat perpisahan. Senyum kecil mengembang di wajahnya, seolah berkata: "Terima kasih, Mas, untuk hari ini."
Wiji membalas dengan anggukan pelan, matanya tak ingin cepat-cepat beralih. Ia melihat Asmarawati masuk ke halaman rumahnya, lalu pelan-pelan menghilang di balik pintu kayu bercat hijau lumut.
Setelah itu, Wiji kembali melajukan motornya, menyusuri jalan yang lebih sepi. Udara malam mengalir perlahan menyapu wajahnya, membawa sisa aroma sore dan mungkin... sedikit aroma rindu. Rumahnya berada di RT 12, sekitar tujuh ratus meter lagi dari rumah Asmarawati di RT 19. Masih satu jalur, cuma beda RT saja.
Namun malam ini, jalan yang biasanya terasa biasa saja, kini terasa berbeda. Lebih hidup. Lebih panjang. Seperti waktu yang menolak cepat berlalu.
Karena dalam diam dan jarak yang sederhana itu… Wiji tahu, hari ini bukan hanya soal duduk bersama di tepi senja, tapi tentang tumbuhnya sesuatu yang belum bisa ia beri nama—namun terasa hangat di dalam dada.
“Darimana, Nduk, kok baru pulang?” sambut Sundari di depan pintu.
“Dari tanggul, Bu,” jawab Asmarawati ringan.
“Akhir-akhir ini kok sering ke sana. Ngapain sih?”
“Cuma mengusir jenuh, Bu…”
Sundari hanya mengangguk. “Ya sudah, tapi jangan pulang kemalaman, ya. Hati-hati.”
“Nggih, Bu,” sahut Asmarawati.
Setelah itu ia masuk kamar. Ia membuka HP-nya, lalu scroll mencari nama yang akhir-akhir ini sering ia cari.
“Mas…” tulisnya.
“Iya, Dek.” balas Wiji cepat.
“Sibuk, ndak?”
“Ndak.”
“Aku telepon, ganggu ndak?”
“Ndak. Telepon saja.”
“Asyiknya video call, ya Mas?”
Belum sempat Wiji menjawab, Asmarawati sudah lebih dulu menekan tombol video call. Wajahnya muncul di layar, dengan senyum malu-malu.
“Assalamualaikum, Mas…”
“Waalaikumsalam, Dek… Ada apa?”
“Ndak ada apa-apa. Cuma pengen ngobrol…”
Wiji menatapnya dari layar, tersenyum. “Malam ini tugasku cuma satu—menemani kamu.”
“Hem… mulai deh!”
Obrolan terus mengalir. Kadang serius, kadang jenaka. Hingga tanpa sadar mereka tertidur bersama, dengan sambungan video call yang masih menyala. Itulah yang orang-orang sekarang sebut: sleep call.
Fajar menyingsing. Adzan subuh berkumandang. Asmarawati membuka matanya dan melihat Wiji masih tertidur di layar, memeluk bantal dengan damai.
“Mas… bangun Mas…” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban, hanya dengkuran halus yang terdengar. Ia tersenyum, lalu memutuskan sambungan dan meninggalkan pesan: “Aku duluan, Mas.”
Pagi itu, embun masih bergelayut di ujung dedaunan saat Asmarawati membuka matanya. Sisa mimpi masih samar-samar menggantung di pelupuk, tapi ia tahu: hari ini bukan sekadar pengulangan kemarin. Ia bangkit. Mengambil air wudhu. Menunaikan shalat Subuh dengan khusyuk, seperti seorang penari yang memulai harinya dengan gerakan paling sakral.
Sesudahnya, ia bersiap-siap ke sekolah. Mengenakan seragam putih abu-abu dengan rambut yang diikat rapi. Wajahnya masih belia, tapi dalam matanya, ada nyala yang lebih tua dari usianya—nyala mimpi yang tak bisa dipadamkan oleh rutinitas atau keraguan.
Hanya sisa beberapa bulan lagi ia akan lulus. Namun ia tahu, ujian yang sebenarnya bukan di balik meja sekolah, melainkan di jalan hidup setelahnya.
Mimpinya tidak berakhir di pintu SMA. Ia ingin kuliah. Ia ingin menekuni ilmu seni dan sastra, bukan untuk mengejar gelar semata, tapi karena ia percaya: seni adalah bahasa tertua manusia. Dan sastra adalah nafasnya.
Ia tak ingin hanya menjadi penyanyi di atas panggung. Ia tak cukup puas hanya menjadi pesinden. Ia ingin lebih. Ingin menjadi perempuan yang mampu merangkum hidup, luka, cinta, dan waktu ke dalam karya. Ia ingin menjadikan hidup sebagai sajak panjang yang terus ia tulis dengan suara, gerak, dan makna.
Ia tahu, seni tanpa ilmu hanyalah buih yang memantul sebentar lalu hilang. Dan ilmu tanpa seni hanyalah sunyi—tanpa irama, tanpa rasa. Maka ia ingin menjahit keduanya dalam satu tubuh: tubuhnya sendiri, tubuh seorang seniman.
Baginya, seni adalah panggilan jiwa—bukan pilihan, tapi suara yang terus memanggil dari dalam, bahkan saat dunia di luar menjadi bising.
Hidupnya sendiri adalah panggung, penuh lakon, penuh babak, penuh peran. Dan ia ingin memainkan setiap adegannya dengan sungguh-sungguh.
Ia ingin melangkah, terus melangkah. Berkarya. Mencipta. Menjadi seniman sejati—dengan atau tanpa sorak penonton. Karena ia percaya: karya yang lahir dari kejujuran akan menemukan jalannya sendiri.
Sebab bagi Asmarawati… seni adalah cahaya dari dalam. Dan cahaya sejati tak pernah butuh sorot lampu. Ia bersinar dari keyakinan. Ia menyala dari keberanian untuk menjadi diri sendiri.