Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Saat Thalita hendak melayangkan pukulan untuk membalas tamparan Naira, Artha bergegas menahan tangan gadis itu.
Thalita menatap tangannya yang sudah berada dalam genggaman Artha, lalu beralih pada mata
tajam yang sedang menatapnya murka.
"Gue udah peringatin lo! Jangan sekali-sekali lo bikin ulah dengan Naira. Karena lo akan berurusan
sama gue!"
Tangan Thalita segera diempaskan begitu saja oleh Artha, membuat gadis itu terhuyung ke depan. Segera menyambar tangan Naira, Artha mengajak gadis itu untuk bergabung dengan teman-temannya.
Thalita menatap kesal akan pemandangan itu. Naira yang dia anggap hanyalah gadis ingusan, tak memiliki kelebihan, berotak kosong sekaligus miskin, malah mendapatkan perhatian lebih dari Artha, sang pangeran sekolah.
Semua ini rasanya tidak adil. Dia jauh, jauh lebih pantas digandeng oleh Artha. Bukan cewek yang
selalu menjual kesedihan demi menarik empati
Lawan jenis. Kaki mengentak kesal, ingin sekali mengumpat, tetapi urung dilakukan karena banyaknya pasang mata yang sedang
memperhatikannya.
Ketika Artha dan Naira berjalan beriringan, pandangan Mesa tak terlepas dari genggaman tangan lelaki itu. Entah mengapa insting Mesa merasakan jika Artha dan Naira bukanlah sepupu. Apalagi Julian mengatakan kalau Naira hanya teman sekolah yang kebetulan dekat dengan Artha. Jadi, kedekatan keduanya menurut Mesa
merupakan sesuatu yang patut dicurigai.
Begitu Artha dan Naira berhenti, Mesa menempatkan diri bersisihan pada lengan Artha yang sedang menggandeng Naira. Dia memunggungi Naira, begitu tak sopan sebagai orang yang baru datang.
"Ta, gue ke sini khawatir dengan kondisi lo semalem," katanya seraya memeluk lengan Artha
yang masih menggenggam tangan Naira.
Naira yang merasa dipunggungi akhirnya mengalah, melepaskan cekalan tangan Artha.
Artha menoleh padanya, tetapi gadis itu mundur menjauh. Dia memilih duduk-duduk di salah satu
kursi berbahan semen yang terletak di dekat pos
satpam.
"Kalian ngobrol yang nyaman, gue mau nemenin Naira." Julian langsung berlari ke arah Naira, mencari kesempatan untuk mendekatkan diri. Mumpung ada Mesa sehingga Artha tak akan mengganggunya. Sebelum dia beranjak, lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dua botol minuman kemasan yang suhunya masih dingin dikeluarkan dengan salah satunya disodorkan pada Naira.
"Minum dulu!" kata Julian seraya duduk di tempat yang sama sebelah kanan Naira. Gadis itu menggeser sedikit menjauh karena tampaknya
Julian terlalu mepet padanya.
"Thanks!"jawab Naira singkat seraya mengambil alih teh botol yang masih tersegel itu.
"Sorry, gue nggak tahu kalau mama lo ngggak ada. Artha nggak ngasih tahu gue. Gue baru denger semalem. Gue turu berduka cita atas perginya nyokap lo."
Naira mengangguk.
"Makasih. Enggak papa. Nggak semua kesedihan harus dipublikasikan, bukan?"
"Tapi kalau lo butuh temen ngobrol, atau mau
curhat, gue bisa kok dengan senang hati nyediain
waktu."
Naira menoleh pada Julian, lalu dia tersenyum
tipis.
“Lo udah bilang ke Artha?"
"Hah? Mengapa harus bilang ke Artha? Bukannya
dia juga asyik sendiri dengan Mesa?"
"Heem." Naira mengiakan.
"Tapi dia yang selama ini ada buat gue."
"Gimana kalau sekarang gue yang ngegantiin Artha? Gue juga nggak kalah keren dari Artha. Memang sih, gue di bawahnya Artha dikit. Tapi soal perhatian, gue bisa lebih dari Artha." Julian
membanggakan diri sekaligus mempromosikan diri.
"Maksud lo?" Naira menatap dengan menyipitkan mata.
"Maksud lo apa ngomong kayak gini?"
Julian menghela napas sekali, mengembuskannya kemudian. Ini adalah kesempatan untuk mengutarakan perasaannya pada Naira.
"Gue suka sama lo, Nai. Gue udah jatuh cinta sama lo sejak pertama kali lihat lo! Gue pengen lo jadi cewek gue." Dengan penuh keberanian dan
perjuangan akhirnya kalimat itu terucap juga.
"Apa? "
Naira cukup terkejut dengan pengakuan Julian. Dia sendiri bingung harus apa. Belum pernah sekali pun dalam benaknya menjalin hubungan dengan pria. Apalagi sampai pacaran.
"Gue serius sama lo!"
Julian meraih tangan Naira, menggenggamnya dengan kedua telapak tangannya, lalu mengarahkan pandangan pada perempuan itu.
"Gue nggak mau nutup-nutupin perasaan gue buat lo."
"Julian ...." Naira berkata lirih. Sampai detik ini dia bingung harus menjawab apa.
"Gue ... belum pernah kepikiran buat pacaran. Gue masih sekolah juga. Gue nggak mau fokus terpecah-pecah sama kisah cinta yang katanya bikin sakit hati itu."
Julian terkekeh pelan. Tangannya pun masih memegang tangan Naira, enggan melepaskan.
"Itu nggak akan terjadi kalau lo nerima gue. Lo nggak akan sakit hati. Gue janji. Gue sayang sama lo. Gue bakal nungguin sampai lo siap."
"Apa yang siap-siap? Lepasin enggak tangan Naira!" Dari belakang Artha langsung menoyor
kepala Julian.
"Eh, apaan sih, lo, Ta. Ngeganggu banget. Lagian lo udah sama Kak Mesa masih aja ngerusuhin gue sama Naira?" Julian langsung saja protes karena dirasa Artha sudah membuat masamasa romantisnya bersama Naira buyar.
"Lo kalau mau nembak cewek lihat-lihat sikon, dong! Ini sekolah, Bro! Lo pikirini taman?"
Seketika itu Julian melepaskan tangan Naira. Dia terlalu terbawa suasana sampai-sampai tak
menyadari jika sedang berada di kawasan sekolah.
"Sorry. Nai, hari Minggu gue jemput, ya?" Julian tak mau menyerah. Hari ini ditolak, PeDeKaTe harus tetap berjalan.
"Hari Minggu Naira sama gue."
Naira diam saja. Hanya Artha yang mejawab. Mesa yang menunggu di motor Julian hanya menatap dari kejauhan interaksi mereka bertiga.
Wajahnya sudah masam sejak tadi.
"Ya udah Minggu depannya lagi. Lo jangan nyusahin temen, dong, Ta! Dukung, kek!" Julian
kembali merengek, meminta dukungan Artha.
"Lagian lo bisa nggak, sih, sukanya sama cewek lain. Jangan Naira. Naira itu udah dianggep anak sendiri sama Nyokap gue. Dan gue tahu banget siapa lo. Mana mungkin gue izinin lo deket-deket sama Naira."
"Oh, jadi sekarang lo dan Naira saudara angkat?" tanya Julian memastikan. Mungkin karena itulah sejak tadi Naira menyuruhnya untuk bertanya dan meminta izin pada Artha. Ya, mungkin karena status Naira adalah saudara angkat.
"Lebih dari itu," kata Artha tegas.
"Ayo, Nai, kita pulang!"
Mengabaikan Julian yang masih tidak mengerti, Artha menggandeng tangan Naira, mengajak gadis itu untuk segera pulang.
"Hai, gimana dengan Mesa?" tanya Julian
menahan Artha.
"Lo yang bawa dia kemari, harusnya lo juga yang
tanggung jawab."
"Eh, gimana?"
"Urusan dia udah selesai. Lo bawa dia balik. Gue mau ngajak Naira pulang," kata Artha tegas sembari menggandeng tangan Naira.
"Gue bisa kok nganter Naira. Mesa ke sini pengen ketemu lo. Lo anter aja dia. Naira biar sama gue." Julian pun tak terima. Dia cepet-cepet pulang
sekolah biar terkejar ke sekolah Artha untuk bisa
Jemput Naira. Eh, Artha malah menahan-nahannya. Kesempatan kayak gini kan jarang didapat.
"Mama mau nyuruh gue ngajak Naira pulang hari ini. Ngerti lo!"
"Apa? "
"Udah, gue cabut dulu. Bawa Mesa pulang!" Artha segera pergi begitu saja, mengajak Naira untuk ke tempat parkir sekolah.
Julian belum sepenuhnya mengerti, tetapi mengingat Artha yang mengatakan kalau Naira disuruh mamanya pulang, itu menyimpulkan bahwa Naira akan diadopsi oleh orang tuanya Artha. Pandangan beralih pada Mesa yang berdiri sembari bersandar pada jok motornya dengan menampilkan wajah masam. Dia berdiri kemudian. Mau tidak mau harus bertanggung jawab membawa Mesa kembali ke rumahnya.
"Lo nggak pulang bareng Kak Mesa?" Naira bertanya ketika sudah menaiki motor Artha.
"Enggak."
"Kenapa?"
Bukankah harusnya Artha seneng ada Mesa yang mau datang ke sekolahnya.
"Gue nggak suka kalau lo deketan sama Julian.
Dia playboy. Lo jauhin dia."
"Benarkah? Bukannya kalian sama?"
Artha menggeleng.
"Gue nggak sama dengan dia. Gue tahu kapan deketin cewek, kapan harus melepaskan."
"Maksud lo? Lo nggak ada niatan buat kembali ngedeketin Kak Mesa. Gue lihat dia udah ngasih lampu ijo secara terang-terangan." Naira masih saja penasaran akan perasaan Artha ke Mesa.
"Gue nggak yakin. Lagian, kan sudah ada lo. Gue
udah nyaman sama lo!"
"Apa?" Tunggu! Naira nggak salah denger, kan?
"Nanti malam, gue pengen tidur kayak semalam. Meluk lo!"
Naira melotot. Lalu mencubit perut Artha.
"Arthaaaa! Lo mesum banget!"
Artha terkekeh kecil, lalu melesatkan motornya laju dengan Naira memeluk punggung lelaki itu
dari belakang.
Hari ini, Naira memutuskan menerima tawaran untuk pindah ke rumah Artha. Dia mengemasi barang-barang yang dibutuhkan dari rumah itu. Tidak banyak karena memang Naira tidak membawa semuanya.
Kontrakan masih tersisa lima bulan untuk ditempati. Dia meninggalkan barang-barang, dan hanya membawa pakaian serta buku pelajaran
dibantu Artha yang turut mengemasi.
"Ayo!" kata Artha mengajak Naira segera pergi.
Di tangan sudah ada tas besar untuk dibawa pulang.
"Ta, keputusan gue udah bener, kan? Gue takut ngerepotin keluarga lo. Keluarga lo selama ini udah banyak banget ngebantu kehidupan gue. Dan sekarang ditambah lagi ngebiayain hidup gue. Gue
ngerasa bersalah."
"Nai, kata Mama ini kewajiban dia buat ngurus lo. Dan itu semua karena status kita yang merupakan suami istri. Gue nggak akan ngelepasin lo sampai lo bisa mandiri dan nentuin hidup lo sendiri. Gue sayang sama lo!"
"Artha!" Naira tak menyangka Artha dengan
santai mengatakan bahwa menyayanginya. Tapi, ini mungkin hanya rasa sayang seorang keluarga.
Bukan sayang yang lain.
"Mengenai Mesa, gue nggak yakin dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Dia sempat nolak gue secara terang-terangan. Dan dia kembali setelah putus sama cowoknya. Walaupun perasaan gue belum sepenuhnya hilang, gue juga nggak mau kalau hanya dijadikan pelarian dia doang. Mending juga sama lo. Ya, kan?"
"Eh, bentar-bentar. Kenapa jadi sama gue?" tanya Naira bingung. Bukannya Artha bilang bahwa
dirinya bukan tipe Artha sama sekali.
"Gue belum pengen pacaran, Nai. Bukannya lo juga belum mau pacaran. Gue pengen ngelurusin
hidup gue."
Naira mengangguk mengerti.
"Iya. Gue juga pengen buat Mama bangga."
"Ya udah. Buruan! Mama udah nungguin lo di
rumah."
Naira menutup pintu rumahnya, menguncinya
dari luar.
Untuk sejenak dia memandangi rumah itu. Rumah yang sudah beberapa tahun ini menjadi tempatnya berlindung, bercengkerama dengan Mamanya. Namun, semua itu ternyata berakhir di sini dengan dirinya membawa kenangan itu pergi.
Artha meletakkan tas Naira di depan, lalu mengikatnya dengan tambang. Naira naik ke
boncengan, setelah Artha sudah siap.
"Kita berangkat! Peluk, Nai. Gue ngebut!"
Naira mengulum senyum, memukul bahu Artha sekali. Walaupun pada akhirnya dia sudah mulai terbiasa memeluk punggung lelaki itu ketika
mereka naik kotor seperti ini.
****
Seperti apa yang Artha katakan, Siena sudah menanti Naira di rumahnya. Di sana juga ada Nova, adik Artha yang baru menginjak kelas enam sekolah dasar.
Gadis berbulu mata lentik itu melihat kedatangan Artha dan Naira, tersenyum mengembang.
"Cieee, Kak Artha bawa cewek!" goda Nova
sembari mengangkat ibu jari.
"Hussh! Anak kecil sok tahu."
"Yeeey!" Nova merengut kalau Artha sudah
memanggilnya anak kecil.
"Masuk dulu, Naira." Siena yang baru keluar dari
dalam rumah segera menyuruh Naira masuk.
Naira mencium tangan Siena, dan dibalas pelukan oleh perempuan paruh baya itu. Kehadiran Naira sudah lama dinanti-nantikannya. Bagaimanapun, sejak Artha bersama Naira, lelaki itu sudah banyak berubah. Hal itu membuat Siena yakin jika Naira bisa mengubah sifat Artha, dan menjadikan Artha pribadi yang lebih bertanggung jawab.
"Ka, anterin Naira ke kamarnya!" Siena mengusap kepala Naira, menggandeng gadis itu untuk naik ke tangga.
"Jadi barang-barang Naira ini Artha yang ngangkat ke atas, Ma?" Artha bertanya memastikan.
Ah, dia sekarang jadi kuli panggul, kan?
"Udah, buruan! Lagian cuma gitu doang. Masak
kamu nggak bisa ngangkat, sih?"
"Ya elah, Mama. Tega bener sama anak sendiri."
Mau tidak mau Artha memindahkan tas Naira untuk diletakkan pada kamar atas yang sudah disiapkan oleh mamanya jauh-jauh hari. Satu kamar yang cukup luas dan nyaman. Dan itu terletak tepat di samping kamar Artha.
Naira sempat terpukau dan ingin menangis melihat kamar barunya. Semua bernuansa pink seperti kamar perempuan pada umumnya. Dan yang paling membuatnya terharu adalah di dalam
kamar itu ada fotonya bersama Artha. Dia baru tahu kalau saat acara ijab kabul dulu, dengan
penampilannya yang sangat sederhana, tak mengenakan baju pengantin. Hanya kaus yang
dilapisi outher pemberian Siena, dan Artha yang hanya mengenakan kemeja lengan panjang telah diabadikan dan dicetak dalam ukuran besar untuk
diletakkan di dalam kamar barunya.
"Kamu suka kamarnya?" tanya Siena kemudian.
Naira mengangguk.
"Ini sangat indah. Terima kasih." Naira tak sanggup menahan rasa haru. Dia sempat meneteskan air mata setelahnya.
"Ya sudah. Kamu istirahat dulu. Biar Artha yang nanti bantu kamu beres-beres."
Naira menggeleng. Melihat Artha sudah lelah
membantunya seharian, mana mungkin dia tega membebani cowok itu untuk membantunya lagi.
"Naira bisa sendiri, Ma. Artha biarin istirahat. Dia
udah banyak ngebantu Naira."
Siena mengusap kepala Naira, lalu undur diri dan membiarkan anak menantunya beristirahat. Artha yang masih berada di kamar Naira, menarik
tangan gadis itu.
"Ta, lo mau ngapain?"
Artha tersenyum mencurigakan.
"Nai, itu balkon. Kalau saat malam gue ngetuk pintu ini, lo buruan buka, ya?"
"Apa? "
"Gue biasanya kabur dari rumah lewat pintu kamar ini. Berhubung sekarang lo yang nempatin, jadi gue ngasih tahu lo andai gue butuh bantuan lo!"
"Hah?"
Perasaan beberapa menit lalu Artha mengatakan mau menata hidupnya, tetapi saat berada di rumah, lelaki itu mengatakan hal lain. Padahal Naira sempat kagum melihat perubahan Artha, tetapi ditariknya lagi rasa kagum itu. Naira menggeleng.
"Dasar cowok labil!"
Saat acara makan malam tiba, Artha mendapatkan pesan dari Mahesa. Sebuah pesan misterius yang berupa pesan suara. Belum sempat Artha menyelesaikan makannya, dia beranjak dari meja makan.
Naira melihat Artha tanpa berani menegur. Hanya Ravindra yang kemudian menghardik sang putra.
"Hai, habiskan makananmu!"
Artha menoleh sesaat, mengalihkan perhatian dari smartphone di tangan menatap Ravindra.
"Bentar, Pa. Ada yang penting."
Artha beranjak menjauh. Ravindra hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putranya itu. Namun, dia segera kembali pada situasi, meminta semua orang yang sempat menghentikan makan karena memperhatikan interaksinya dengan Artha, untuk melanjutkan makannya.
Artha memutar voice note itu, menempelkan
pada telinga.
"Ta, buruan kemari! Gue butuh bantuan. Geng Deon ngeroyok gue!"