NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6: Apel dari Pohon Tertinggi

Langkah-langkah Oiko membelah jalur sempit di antara pepohonan rimbun yang menjulang tinggi ke langit. Cahaya matahari memantul dari sela-sela dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah. Daun-daun bergoyang pelan diterpa angin lembut, menimbulkan suara gemerisik yang menenangkan, seperti bisikan hutan yang hidup.

Oiko menarik napas panjang. Udara hutan terasa lebih hangat, lebih hidup dibanding daerah salju sebelumnya. Tapi perutnya... mulai berbunyi.

Krucuk... krucuk...

“Lapar…” keluhnya pelan, sambil menatap ke sekeliling.

Di tengah perjalanan itu, matanya menangkap sesuatu di antara cabang-cabang pohon yang tinggi. Sebuah pohon menjulang lebih tinggi dari pohon lain, batangnya besar dan kokoh, dan di atasnya—buah!

"Apel?" gumam Oiko, matanya berbinar. “Iya, itu apel!”

Beberapa buah merah terang menggantung manis di antara dedaunan. Warna merahnya begitu kontras dengan hijau di sekitarnya, membuatnya tampak seperti harta karun yang menggoda di antara dedaunan hijau. Oiko langsung berjalan ke arah pohon itu.

Saat berdiri di bawahnya, ia mendongak. Pohonnya... tinggi. Sangat tinggi.

“Ini… tiga meter lebih,” katanya sambil menelan ludah. “Tapi aku laper banget.”

Ia menatap batang pohon itu. Permukaannya kasar, tapi tidak banyak cabang di bagian bawah. Tidak ada pijakan yang memudahkan. Bagi seseorang yang tidak terbiasa, memanjat pohon ini hampir mustahil.

Namun, Oiko bukan tipe orang yang menyerah hanya karena satu rintangan kecil.

Ia menepuk-nepuk tangan, menarik napas dalam, lalu membuka kedua lengannya dan memeluk batang pohon itu.

“Gue... naik!”

Cara manjat Oiko agak... aneh. Ia bukan seperti pemanjat pohon profesional yang bisa meloncat-loncat cekatan. Tidak. Ia lebih seperti... berusaha merayap ke atas pohon sambil memeluknya erat, tubuh menempel sekuat tenaga sambil menggeliat seperti ulat besar yang tersesat.

“Hus… hus… huh… berat banget pohon ini…” keluhnya sambil menggeretakkan gigi.

Setelah bersusah payah dan hampir terpeleset dua kali, akhirnya Oiko berhasil mencapai salah satu cabang besar. Ia menghela napas lega sambil duduk di sana sebentar, membiarkan tubuhnya sedikit rileks.

Lalu ia melihat apel itu. Menggantung indah di ujung ranting.

“Sedikit lagi…” katanya, lalu mulai merangkak pelan-pelan menyusuri cabang.

Ranting tempat apel itu tumbuh tampak lebih tipis dan agak rapuh. Tapi Oiko sudah terlalu lapar untuk peduli. Ia menjulurkan tangannya… tapi masih belum sampai. Ia mengerutkan kening, lalu maju sedikit lagi.

Suara "krek…" terdengar samar.

Tapi Oiko berhasil meraih apel itu!

"YESS!" katanya pelan sambil tersenyum senang. Ia memetiknya hati-hati. Apel itu dingin, segar, dan baunya harum. Tapi… matanya langsung melirik satu apel lain, hanya sedikit lebih jauh… menggodanya.

"Hm... satu lagi aja…"

Ranting tempat apel kedua itu tumbuh bahkan lebih tipis. Tapi Oiko, dengan tekad kuat, mulai merayap lagi pelan-pelan, menyeimbangkan tubuhnya hati-hati. Keringat dingin mengucur di dahinya. Angin semilir lewat, menggoyangkan cabang.

Tangan Oiko hampir menyentuh apel itu…

KREEEKKKK!

“Waaahhhh!!!”

Ranting patah! Oiko terjatuh dengan apel pertama di tangannya. Tubuhnya terlempar dari atas pohon, memutar di udara, sebelum menghantam tanah dengan suara:

“DUGHH!!”

“Aaaaa… duh…” erangnya. Debu beterbangan. Tubuhnya tergeletak di tanah, punggungnya kotor dan celananya penuh pasir dan dedaunan.

Ia terdiam beberapa detik.

Lalu matanya melirik ke tangan kanannya.

Apel.

Masih utuh.

“Fuh… aman,” desahnya lega. Ia memeriksa apel itu pelan, tidak ada goresan, tidak penyok. Lalu matanya melirik ke kiri. Apel kedua juga ikut jatuh dan tergeletak beberapa meter darinya. Masih utuh juga.

“Hebat… dua-duanya selamat,” katanya sambil tertawa kecil.

Ia bangkit perlahan. Celana dan baju lusuhnya kini penuh debu dan bekas tanah. Ia menepuk-nepuk pakaiannya sekenanya, lalu menyeka wajahnya dengan lengan. Setelah itu, Oiko duduk sejenak di bawah pohon, menggigit apel pertamanya perlahan.

Krunch.

Manis. Segar. Dingin. Juicy.

Rasanya seperti hadiah langit setelah perjalanan panjang dan jatuh dari ketinggian.

“…enak banget…” katanya sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak perjalanan dari gua dimulai, ia merasa sedikit bahagia.

Setelah menghabiskan apel pertama dan menyimpan apel kedua di dalam kantong baju, Oiko berdiri lagi. Ia menatap jalan setapak kecil di antara pepohonan, jalan yang belum ia telusuri.

“Lanjut lagi…” gumamnya.

Ia mulai berjalan lagi, langkah-langkahnya lebih ringan sekarang. Tenaga dari apel tadi memberi kekuatan baru di tubuhnya. Ia mulai berjalan semakin dalam ke hutan, membelah bayangan dan cahaya, menyusuri jalur sunyi yang entah akan membawanya ke mana.

Namun, di kejauhan… angin membawa suara lembut. Seperti... suara tawa?

Oiko berhenti. Matanya menyipit. Ia menajamkan pendengarannya.

Benar.

Ada suara. Di antara desiran daun dan bisikan angin... ada suara.

“…Heh… akhirnya… ada tanda kehidupan…”

...

Langkah Oiko semakin cepat. Suara yang samar tadi perlahan-lahan terdengar lebih jelas di antara desiran angin dan gerak ranting. Nafasnya memburu, tapi ia terus berlari, menyusuri celah sempit antara batang pohon dan semak belukar.

“Tolong… tolong aku…” suara itu kini lebih jelas. Suara seorang perempuan, kecil, ketakutan.

Oiko langsung mempercepat langkahnya. Kakinya menyentuh akar-akar pohon, ranting-ranting mengenai lengan dan pipinya, tapi ia tidak peduli.

“Aku harus temukan dia!”

Suara itu kini tepat di dekatnya. Ia melirik ke kiri, dan…

“HAAAAAAAAA?!”

Oiko langsung berhenti mendadak, matanya membelalak.

Di depan matanya, hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri—ada seorang gadis kecil bertelinga hewan. Rambutnya panjang, perak keunguan, dan di atas kepalanya sepasang telinga mirip rubah atau serigala yang bergerak sedikit saat angin menyentuhnya. Wajahnya tampak panik, tubuhnya gemetar, dan matanya mengarah ke…

Seekor monster besar berwujud serigala raksasa.

Taringnya mencuat dari mulutnya, matanya merah menyala, bulunya hitam kelam, dan tubuhnya besar hampir setinggi pohon kecil. Monster itu adalah Fenrir, predator buas yang dikenal di legenda.

Si gadis kecil terpojok di bawah pepohonan. Fenrir itu mengendap-endap pelan ke arahnya, seolah-olah sedang bermain-main dengan buruannya.

“...Dia bakal dimakan!” gumam Oiko.

Tanpa pikir panjang, Oiko langsung menunduk, meraih batu sebesar kepalan tangan dari tanah. Ia menggenggam erat, lalu melemparnya sekuat tenaga.

WUSS! BAK!

Batu itu menghantam bagian kepala Fenrir.

Monster itu menggeram keras, lalu langsung menengok ke arah Oiko.

“GRRROOOAAAARRR!!!”

Oiko menegang.

“...Abis… hidup gue di sini.” Suaranya nyaris tak terdengar, wajahnya kaku. Ia menelan ludah keras-keras.

Fenrir itu menggeram makin ganas, dan tanpa aba-aba, langsung berlari ke arah Oiko!

“WAAAAAAHH!!!” teriak Oiko. Dalam kepanikan, tangannya secara refleks menjulur ke depan.

Tiba-tiba, matanya menyala. Cahaya samar dari tubuhnya bersinar sesaat.

[SKILL UNLOCKED: HUMANIZER - REFLEK CEPAT LV.1]

[SKILL UNLOCKED: HUMANIZER - LARI CEPAT LV.1]

Tubuh Oiko tiba-tiba bergerak cepat, instingnya meningkat drastis. Waktu seakan melambat. Ia melompat ke samping, menghindari terjangan Fenrir tepat waktu. Tangannya menyentuh kepala Fenrir saat ia menghindar, dan efek Humanizer langsung aktif.

Fenrir berubah… dari monster buas menjadi… serigala kecil berbulu abu-abu, bertubuh imut, gemetaran ketakutan.

“Arf! A-arf!” serigala kecil itu lalu lari terbirit-birit ke dalam semak, lenyap dari pandangan.

Oiko diam sejenak, napasnya berat, lalu jatuh terduduk.

“Gue… masih hidup?” gumamnya sambil menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tak ada monster lagi.

Lalu matanya beralih ke gadis kecil bertelinga hewan tadi. Ia masih berdiri di sana, tubuhnya menegang, matanya lebar menatap Oiko.

Oiko berdiri perlahan, mendekat, dan tanpa ragu, langsung memegang telinga hewan di atas kepala gadis itu.

"WAAHH! Bulu asli?! Ini asli?! Lembuuut!!"

Gadis itu langsung membeku. Wajahnya memerah, matanya membelalak, dan tubuhnya gemetar seperti ketel uap yang siap meledak.

Tapi… dia tidak bergerak.

Oiko mengelus telinga itu sekali lagi, matanya masih penuh rasa kagum.

“Serius ini lucu banget… kayak boneka hidup…” katanya sambil cekikikan kecil.

Gadis itu akhirnya membuka mulut, suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

“J-jangan pegang seenaknya…” katanya dengan nada malu-malu.

Oiko langsung tersadar. “Eh! Maaf! Sumpah maaf! Refleks!”

Ia langsung mundur satu langkah, wajahnya ikut memerah.

“Aku kira itu topi! Eh maksudnya, ya, aku kaget—eh, maksudnya…” Oiko panik sendiri, suaranya kacau.

Gadis itu menunduk, wajahnya masih merah, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Hehe… kamu aneh…”

Oiko garuk-garuk kepala. “Eh, maaf banget…”

Lalu, gadis itu menatapnya dengan mata bening yang masih agak berkaca-kaca.

“Terima kasih… kamu menyelamatkanku.”

Oiko hanya tersenyum canggung. “Iya… itu juga refleks… tapi untung kamu nggak kenapa-kenapa.”

Angin kembali berhembus pelan, menerpa pepohonan dan rambut mereka berdua. Suasana mendadak terasa hangat dan tenang.

Oiko menatap gadis itu lebih dekat. Wajahnya memang seperti anak kecil, tapi telinganya… matanya… auranya… berbeda. Ada semacam kekuatan samar yang tersembunyi dalam dirinya.

“Eh, kamu itu… Beastkin ya?” tanya Oiko pelan.

Gadis itu mengangguk pelan. “Iya… aku dari ras beastkin…”

Oiko mengangguk-angguk. “Oh… berarti bener kata si Onezards…”

“Siapa?” tanya gadis itu, penasaran.

“Ah, nggak, panjang ceritanya…” Oiko tertawa kecil.

Lalu gadis itu mengulurkan tangan kecilnya.

“Namaku… Rinya.”

Oiko membalas uluran itu, menjabat tangan kecil itu perlahan.

“Aku… Oiko.”

Mereka saling tersenyum.

Dari kejauhan, suara burung-burung mulai terdengar. Cahaya matahari yang tembus dari sela pepohonan seakan menyinari mereka berdua, seolah alam mengakui pertemuan ini bukanlah kebetulan…

Melainkan awal dari kisah besar yang belum mereka sadari.

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!