Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Setelah melihat ekspresi Arlena yang penuh haru dan bingung, Aldric kembali ke mejanya dan membuka daftar jurusan kuliah yang sudah ia persiapkan sejak tadi malam.
“Aku yang akan memilih jurusan untukmu,” ucapnya tanpa menoleh.
Arlena menatap punggung pria itu, bingung tapi juga penasaran.
“Kenapa Tuan tidak menanyakan apa yang saya suka?”
Aldric menoleh sekilas dan menjawab dengan nada datar, “Karena aku tahu, saat ini kamu bahkan belum tahu apa yang kamu sukai. Kamu terlalu lama hidup untuk menyenangkan orang lain. Bukan dirimu sendiri.”
Arlena terdiam. Ia tak bisa membantah.
“Untuk permulaan,” lanjut Aldric, “kamu akan belajar Manajemen Bisnis. Itu dasar. Aku ingin kamu bisa mengelola sesuatu, punya pondasi, dan bisa berdiri sendiri suatu saat nanti.”
Arlena mengangguk pelan. Ia tak tahu harus berkata apa, tapi di dalam hatinya, ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan.
Setelah menutup berkas dan memastikan dosen akan segera dihubungi, Aldric berdiri dari kursinya.
“Sekarang,” ucapnya sambil mengenakan jas tipis,
“Masakkan aku soto ayam.”
Arlena sempat membelalakkan mata, lalu tersenyum kecil.
“Baik, Tuan. Saya akan menyiapkannya sekarang.”
“Dan jangan lupa, tanpa terlalu banyak garam,” tambah Aldric dengan nada ringan, untuk pertama kalinya terlihat santai.
Arlena tertawa kecil, lalu segera bergegas ke dapur.
Hatinya terasa berbeda hari ini.
Untuk pertama kalinya… ia bukan hanya seseorang yang disuruh. Tapi seseorang yang mulai dihargai.
Setelah keluar dari ruang kerja, Arlena segera menuju dapur.
Jantungnya masih berdebar, memikirkan semua yang baru saja dikatakan oleh Aldric.
Tapi ia tahu, sekarang bukan saatnya larut dalam emosi. Ia punya tugas—memasak soto ayam.
Ia mengikat rambutnya dan mulai mengambil bahan-bahan dari kulkas dan rak dapur: ayam segar, serai, daun jeruk, lengkuas, bawang putih, bawang merah, kunyit, dan bahan pelengkap seperti soun, telur rebus, dan emping.
Tangannya cekatan mengolah bahan-bahan itu, meski di kepalanya masih terngiang kata-kata Aldric:
“Aku ingin kamu jadi wanita kuat. Pintar.”
Sambil menumis bumbu halus yang mulai menguarkan aroma harum, Arlena tersenyum tipis.
Aroma soto ayam yang perlahan memenuhi ruangan seakan menenangkan pikirannya.
Ia memasukkan ayam yang telah direbus ke dalam kuah kuning yang harum, menambahkan sedikit garam dan merica sesuai permintaan Aldric tidak terlalu banyak.
Air mendidih pelan, dan wangi rempah mulai mengalir hingga ke ruang tamu.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki berat terdengar. Aldric berdiri di ambang pintu dapur, hanya memperhatikan diam-diam.
“Baunya enak,” komentarnya singkat.
Arlena menoleh cepat, kaget tapi senang. “Terima kasih, Tuan. Tinggal menyiapkan pelengkapnya.”
“Jangan buru-buru. Masaklah dengan tenang.”
Arlena mengangguk dan kembali bekerja dengan hati yang lebih ringan.
Untuk pertama kalinya… ia merasa seperti seseorang yang punya tempat. Dan mungkin, rasa soto ayam kali ini akan terasa lebih dari sekadar makanan biasa.
Sambil menunggu Arlena menyelesaikan soto ayamnya, Aldric memilih untuk duduk di ruang keluarga.
Ia menyalakan televisi dan membiarkan suara berita bisnis mengalun pelan. Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di layar.
Sesekali matanya melirik ke arah dapur yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat duduknya.
Aroma soto ayam makin kuat tercium wangi rempah-rempah yang mengingatkannya pada masa kecil yang sudah lama terkubur. Hangat, tenang, dan entah kenapa… menyentuh.
Aldric menyandarkan tubuhnya ke sofa, melipat tangan di dada.
Ia bukan tipe pria yang suka masakan rumahan. Tapi hari ini, entah mengapa, ia menunggu. Bukan sekadar soto ayamnya… tapi gadis itu.
Perempuan rapuh yang sedang perlahan belajar bangkit.
Beberapa menit kemudian, langkah ringan terdengar dari arah dapur.
Arlena muncul dengan nampan di tangan, membawa sepiring soto ayam lengkap dengan emping, telur rebus, sambal, dan jeruk nipis.
“Silakan, Tuan,” ucapnya pelan sambil menunduk sopan, meletakkan nampan di meja.
Aldric menatap hidangan itu sejenak, lalu mengambil sendok.
Arlena berdiri di samping, menunggu tanpa suara. Jantungnya berdegup cepat.
Aldric meniup sedikit uap dari kuah panas, lalu mencicipi sesendok kecil.
Ia diam.
Arlena menelan ludah, menunduk lebih dalam.
“Maaf jika rasanya tidak sesuai selera Tuan…”
Aldric meletakkan sendok, lalu bersandar.
"Ini enak.”
Arlena mengangkat wajah, tak percaya.
“Serius?”
Aldric mengangguk pelan. “Aku belum pernah makan soto seenak ini selama bertahun-tahun.”
Arlena tersenyum kecil, malu-malu. Tapi di dalam hatinya, ada rasa haru yang membuncah.
Untuk pertama kalinya… hasil kerja kerasnya diakui.
Dan pria yang mengaku dingin itu, perlahan mulai mencair.
Arlena baru saja selesai menghidangkan soto ayam di meja makan.
Ia masih berdiri di samping sofa, menanti instruksi dari Aldric—atau mungkin sekadar melihat reaksi berikutnya dari pria yang semakin sulit ditebak itu.
Tiba-tiba, suara derap tumit tinggi terdengar dari pintu depan.
Seseorang masuk tanpa mengetuk, langkahnya cepat dan penuh percaya diri.
Seorang wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang dan gaun mewah berwarna maroon muncul di hadapan mereka.
"Mas!" serunya, senyum lebar tersungging di wajahnya.
Aldric mengernyit, langsung berdiri. "Leona? Siapa yang mengizinkanmu masuk?"
Leona menghampirinya tanpa ragu, bahkan mencoba menggandeng lengannya.
"Kenapa tidak mengangkat ponselmu? Aku rindu," ucapnya manja, dengan suara lembut yang dibuat-buat.
Arlena yang mendengar kalimat itu sontak terdiam. Tubuhnya menegang.
Ia cepat-cepat menundukkan kepala dan berbalik, hendak kembali ke dapur tanpa suara.
Hatinya terasa aneh seperti sesak dan panas. Padahal tadi ia baru saja tersenyum karena sebuah pujian.
Ia tak tahu siapa wanita itu. Tapi jelas satu hal… wanita itu tidak asing bagi Aldric.
Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri, saat ia meninggalkan ruang makan.
Aldric memperhatikan gerakan Arlena dari ekor matanya. Rahangnya mengencang.
“Leona, kamu harus pergi,” ucapnya dingin.
Leona tertawa kecil. “Baru datang sudah diusir? Apa karena gadis tadi? Pelayan baru itu?”
Tatapan Aldric membeku. Tapi sebelum ia membalas, Leona menambahkan,
“Mas, kamu tidak mungkin serius sama perempuan seperti itu, kan? Lihat dia. Kumuh dan—”
“Cukup,” potong Aldric tajam. “Jangan pernah bicara seperti itu di rumahku lagi.”
Suara Aldric dingin, datar, namun penuh ancaman.
Leona terdiam, matanya membulat, tak percaya.
Aldric sudah berubah. Dan ini pertama kalinya… ia membela wanita lain.
"Keluar dari rumahku sekarang juga, Leona," ucap Aldric tajam.
Nada suaranya tidak bisa ditawar.
Leona masih berdiri terpaku, mulutnya terbuka seolah ingin membantah, namun sorot mata Aldric terlalu dingin untuk dihadapi. Akhirnya, dengan wajah kesal dan bibir mengerucut, ia melangkah pergi sambil menghentakkan tumit sepatunya keras-keras.
Begitu pintu tertutup, Aldric menarik napas panjang, menenangkan pikirannya yang sempat terusik.
Ia lalu menoleh ke arah dapur. Langkahnya pelan saat mendekat.
Saat tiba di ambang pintu, ia melihat Arlena sedang duduk di kursi sudut, menunduk, tangan memeluk lutut. Ia terlihat berusaha menyembunyikan sesuatu… mungkin air mata.
“Arlena,” panggilnya lembut, nada suaranya kini berbeda dari sebelumnya.
Gadis itu segera berdiri dan menunduk. “Maafkan saya, Tuan…”
Aldric hanya menatapnya sejenak, lalu berkata, “Ayo, kita makan dulu.”
Mereka duduk berdua di meja makan. Arlena terlihat gugup.
Tangannya bergetar sedikit saat mulai menyendok kuah soto ke dalam mangkuknya sendiri.
Aldric mengawasinya.
Saat sendok logamnya tanpa sengaja beradu dengan mangkuk dan menimbulkan suara kecil, Aldric bangkit dari duduknya.
Arlena tersentak.
“Duduk yang tegak,” ucap Aldric sambil berjalan ke sampingnya. “Dan biasakan… makan dengan tenang. Sendok jangan berbunyi begitu.”
Ia membetulkan posisi duduk Arlena pelan-pelan
menarik kursinya, lalu menyesuaikan cara ia memegang sendok.
“Seseorang yang ingin dihormati, harus belajar menghormati dirinya sendiri terlebih dulu. Bahkan dari hal-hal kecil seperti ini.”
Arlena menunduk lagi, kali ini bukan karena takut… tapi karena malu.
Namun di balik itu, ia tahu di balik sikap dingin pria itu, ada perhatian yang tidak biasa.
Dan tanpa sadar… ia mulai belajar jadi pribadi yang lebih baik.