NovelToon NovelToon
Mempelai Pengganti

Mempelai Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Pengantin Pengganti / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Romansa
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'

'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bukan benihku

Rendra menatap Alda dengan mata yang penuh dengan emosi yang sulit diartikan. ada amarah, kecewa, tapi juga kepasrahan yang mulai muncul di sorot matanya. ia tertawa kecil, getir.

"jadi selama ini kau hanya diam-diam menyukainya? tapi kau tidak pernah mencoba? kau bahkan tidak pernah bilang padanya, Da?"

Alda menghela napas, sedikit menggigit bibirnya sebelum menjawab. "aku takut, Ren. aku takut merusak apa yang sudah ada. aku dan Rama sudah bersahabat sejak lama. jika aku mengutarakan perasaanku dan ternyata itu tidak sejalan dengannya, maka semuanya akan berubah. dan aku tidak siap kehilangan dia sebagai seorang sahabat."

kali ini, giliran Rama yang menatap Alda dalam diam. ia masih mencoba memahami semuanya. sejak kapan Alda menyukainya? bagaimana bisa ia tidak menyadarinya selama ini?

Rendra mendengus, lalu mengusap wajahnya kasar. "jadi, kau memilih untuk tetap diam dan akhirnya malah menikah dengannya dalam keadaan yang mendadak seperti ini?"

Alda menunduk sejenak, lalu menatap Rendra dengan keyakinan penuh. "aku memang tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku dulu, tapi aku yakin dengan keputusanku sekarang. Rama adalah seseorang yang aku percayai, seseorang yang aku tahu tidak akan pernah menyakitiku."

Rendra menggeleng, wajahnya penuh frustrasi. "dan aku tidak cukup baik untuk itu?"

Alda diam, tidak ingin menjawab pertanyaan itu dengan kata-kata yang bisa lebih menyakitkan. ia tidak ingin memperpanjang luka Rendra.

saat itu, Rama yang sejak tadi mendengarkan akhirnya membuka suara. suaranya tetap lembut dan tenang seperti biasa. "Rendra, aku tidak akan pernah meremehkan perasaanmu. aku tahu betapa sulitnya menerima kenyataan ini."

Rendra menatap Rama tajam, jelas tidak senang mendengar nada tenangnya.

namun Rama tetap tersenyum kecil. "tapi satu hal yang perlu kau pahami, Alda telah memilih. dan aku akan melakukan yang terbaik untuk tidak mengecewakan kepercayaannya."

Rendra mengepalkan tangan, matanya menatap Rama penuh dengan ketidakpuasan. "kau baru datang dalam hidupnya, dan tiba-tiba kau mengambil semuanya begitu saja. apa kau pikir semudah itu?"

Rama masih tetap tenang. ia menatap Rendra dengan tatapan yang penuh pengertian. "aku tidak mengambil apa pun, Rendra. aku hanya berada di sini untuknya. jika Alda memilihku, itu bukan karena aku memaksanya, melainkan karena hatinya yang mengarah kepadaku."

Rendra tertawa sinis. "kau bicara seakan-akan ini hanya tentang pilihan. tapi aku tahu, kau tidak akan pernah bisa memahami bagaimana rasanya melihat seseorang yang kau cintai memilih orang lain."

Rama terdiam sejenak, lalu ia tersenyum kecil. "aku tidak akan berdebat soal itu. aku hanya ingin satu hal, Rendra. jika kau memang menghormati Alda, maka belajarlah untuk melepaskan. aku tahu ini sulit, tapi mempertahankan sesuatu yang sudah tidak mungkin hanya akan semakin menyakitimu."

Rendra memejamkan matanya sesaat, mengambil napas panjang. ia tahu bahwa apa yang dikatakan Rama ada benarnya, tapi egonya masih menolak untuk menerimanya begitu saja.

akhirnya, tanpa berkata apa-apa lagi, Rendra hanya mengalihkan pandangannya, sebelum melangkah pergi dengan langkah yang berat.

Alda menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Rama. mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Rama kepada Alda.

sesuatu yang baru saja ia sadari, bahwa mungkin, Alda tidak hanya sekadar sahabat baginya.

Rama menatap punggung Rendra yang semakin menjauh sebelum akhirnya menghela napas dan berbalik menatap Alda. tatapannya lembut, penuh makna yang sulit diartikan.

"terima kasih, Da."

Alda sedikit mengernyit, tidak mengerti. "untuk apa?"

Rama tersenyum kecil. "untuk mencintaiku sehebat itu. untuk bertahan dalam diam tanpa pernah menuntut apa pun."

Alda terdiam. ada rasa haru yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. kata-kata sederhana itu seolah memiliki makna yang dalam, seakan mengakui perasaan yang selama ini ia pendam sendiri.

tanpa berkata-kata lagi, Rama meraih tangan Alda, menggenggamnya dengan hangat sebelum membimbingnya kembali menuju mobil. suasana di antara mereka terasa berbeda kali ini. tidak ada lagi jarak canggung, tetapi ada keheningan yang penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan.

dalam perjalanan pulang, Rama beberapa kali melirik ke arah Alda yang duduk diam di sampingnya. sejak tadi, wanita itu lebih banyak menunduk, sesekali memainkan ujung bajunya, seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Rama akhirnya memecah keheningan. "kenapa kamu diam saja, Da? sejak tadi seperti menghindari tatapan ku."

Alda menggigit bibirnya, lalu menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara lirih, "aku... aku merasa malu, Ram."

Rama meliriknya sekilas, alisnya terangkat. "malu? kenapa?"

Alda menggenggam tangannya sendiri, menunduk semakin dalam. "mungkin aku memang murahan, ya, Ram. bagaimana mungkin aku menyukai laki-laki lebih dulu? harusnya perempuan tidak begitu, kan?"

mendengar itu, Rama langsung menepikan mobil ke pinggir jalan dan mematikan mesin. ia kemudian berbalik menatap Alda, ekspresinya berubah serius.

"kenapa justru murahan?" suaranya terdengar pelan tapi tegas. "itu bukan kesalahan, Da. yang salah adalah... kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?"

Alda terkejut, mendongak menatap Rama.

Rama tersenyum kecil, tapi ada tatapan yang sedikit menyesal di matanya. "kenapa tidak dari dulu, Da? saat aku belum bersama Naila?"

Alda terdiam. jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. ada sesuatu dalam suara Rama yang membuat hatinya terasa sesak.

"aku takut, Ram..." suaranya hampir berbisik. "aku takut kehilangan kamu sebagai sahabat. dan aku takut kalau ternyata aku bukan orang yang kamu pilih."

Rama terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "kalau aku tahu lebih awal... mungkin ceritanya akan berbeda, Da."

Alda menatap Rama dalam diam, hatinya semakin berdebar. tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Rama kembali menyalakan mesin mobil dan kembali melajukan kendaraan mereka.

perjalanan pulang mereka terasa berbeda. tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi keheningan itu terasa lebih dalam dari sebelumnya. seolah ada banyak hal yang ingin diutarakan, tetapi keduanya memilih untuk membiarkannya tetap mengambang di udara.

selang beberapa menit, sampailah mereka di tempat tujuan, bangunan paling nyaman yang sudah ditinggalin Rama sejak kecil. tetapi tepat sebelum mereka sempat turun, mata mereka langsung tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman. kendaraan itu jelas asing bagi Rama maupun Alda.

namun, yang lebih menarik perhatian adalah keributan yang terjadi di teras rumah. suara Ayah dan Ibu Rama terdengar meninggi, diikuti suara Raka yang sepertinya tengah berdebat sengit dengan beberapa pria berbadan tegap, tampaknya ajudan atau pengawal seseorang.

Rama dan Alda saling bertukar pandang sebelum buru-buru keluar dari mobil dan berjalan mendekat. saat itulah, Rama langsung terkejut begitu melihat sosok wanita yang berdiri di antara keributan itu.

Karina.

sosok yang sudah lama tidak ia temui, kini berdiri dengan wajah penuh amarah.

ketika Rama semakin mendekat, Karina tiba-tiba melangkah maju dan menarik kerah bajunya dengan kasar. mata wanita itu menyala penuh emosi, dan tanpa ragu, ia menunjuk wajah Rama dengan penuh kemarahan.

"kenapa kau tidak punya hati sedikit pun, Ram?! Naila menghilang dan kau malah asik berduaan dengan pelakor ini!" Karina berteriak lantang, matanya menyipit penuh tuduhan ke arah Alda. "dimana otakmu, Rama?! Naila itu sedang mengandung putrimu!"

Degg!

seakan petir menyambar, suasana langsung berubah tegang seketika. semua mata menatap Rama dengan keterkejutan luar biasa, termasuk Ibu dan Ayahnya yang kini terlihat begitu shock.

ekspresi ayahnya bahkan langsung berubah merah padam, tatapannya tajam mengarah ke putranya seolah ingin menerkam. "apa maksudnya ini, Rama?!" suara pria itu bergetar, penuh emosi yang tertahan.

Raka yang sejak tadi sudah bersitegang dengan para ajudan Karina, kini spontan menoleh kearah Rama dengan tatapan tak kalah menajam.

"tunggu semua, aku bisa jelaskan!"

Rama kemudian menoleh ke arah Karina, ekspresinya dingin namun tegas.

"apa kau gila?" Rama menatap wanita itu dengan penuh intimidasi, suaranya rendah namun penuh tekanan. "kau tiba-tiba muncul, membuat kegaduhan, lalu menuduhku dengan tuduhan yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa dasarnya?"

Karina tertawa sinis. "dasar? kau pikir aku bercanda, Ram?! Naila pergi meninggalkan apartemen dia kabur dari pengawasan ku, dan kau tau apa Ram? dokter bilang kandungan Naila lemah, dia tidak bisa kelelahan atau melakukan kegiatan berat. bagaimana jika sekarang dia terjadi apa-apa dijalan? kau bisa mikir sedikit saja tentang hidup Naila dan bayi itu?"

Karina melangkah maju, menatap Rama dengan sorot benci. "ya bayi itu Ram... bayi itu adalah putramu!! kau, Rama!. kau ayah dari anak itu!"

Alda yang sejak tadi berdiri diam, tiba-tiba merasa tubuhnya melemah. matanya sedikit bergetar, hatinya terasa nyeri seketika.

Rama yang melihat ekspresi Alda segera menggenggam tangannya dengan erat, seolah ingin menyalurkan kehangatan dan keyakinan.

"Alda, percaya padaku." Rama berbisik dengan suara yang lebih lembut, namun ada ketegasan di dalamnya.

namun, Alda hanya bisa menatap Rama dengan sorot mata yang sulit diartikan. ada kepasrahan, ada luka, ada ketidakpastian.

sementara itu, Rama kembali menatap Karina dengan ekspresi dingin.

"omong kosong! aku tidak pernah melakukan apa pun dengan Naila! aku bersumpah demi apa pun, Karina! aku bahkan tidak pernah menyentuhnya!"

Karina tertawa sinis. "lalu kau pikir, anak itu datang dari mana?! kau pikir Naila hamil dengan angin?! jelas saja kau kekasihnya sebelum pelakor ini merebutmu!"

Rama menggeram, rahangnya mengeras. ia bisa merasakan tatapan Ayah dan Ibunya yang masih menunggu penjelasan darinya.

"aku tidak tahu, dan aku tidak peduli, Karina!" Rama menegaskan. "yang aku tahu, pengalaman pertama kali aku melakukan hubungan suami istri adalah dengan Alda. dan itu terjadi kemarin! jadi jangan pernah menuduhku atas sesuatu yang tidak aku lakukan!"

"bohong!" karina berteriak lagi. "kau hanya berusaha menutupi kesalahanmu, Rama!"

Ayah Rama tiba-tiba meninggikan suaranya, bahkan terdengar menggema keras.

"CUKUP!!"

semua orang langsung terdiam.

tatapan tajam pria itu kini beralih sepenuhnya kepada putranya. "Rama, Ayah ingin jawaban yang jujur. apakah benar kau tidak pernah menyentuh Naila?"

Rama menatap Ayahnya dengan sorot mata penuh keyakinan. "Rama bisa taruhkan apapun Ayah. aku bersumpah, aku tidak pernah melakukannya."

keheningan menyelimuti suasana. semua mata masih menatap Rama, seolah ingin mencari celah kebohongan.

Alda yang sejak tadi terdiam, hanya bisa menggenggam jemarinya sendiri. hatinya masih bergetar.

lalu, tiba-tiba suara Karina kembali terdengar, namun kali ini lebih pelan.

"kalau begitu... buktikan, Rama." Karina menatapnya penuh tantangan. "kalau kau memang tidak bersalah, lakukan tes DNA begitu anak itu lahir. Jika memang bukan anakmu, aku akan menarik semua tuduhan ini."

Rama mengepalkan tangannya, lalu tanpa ragu, ia menatap Karina dengan tegas.

"baik. aku terima tantanganmu. bahkan aku menantikan tes DNA itu dilakukan, karena aku tahu kebenarannya. aku tidak pernah menyentuh Naila, dan aku tidak akan membiarkan diriku dijebak oleh kebohongan seperti ini!"

suara Rama terdengar tegas. semua orang di sana menahan napas, termasuk Alda yang masih berdiri di sampingnya dengan tatapan sendu.

karina menggeram, tangannya mengepal kuat. "kau benar-benar tidak tahu diri, Ram! aku tidak mengerti bagaimana kau bisa bersikap setenang ini setelah menghancurkan hidup Naila!"

"aku yang menghancurkan hidupnya?" Rama mendengus sinis. "katakan padaku, siapa yang menghilang tanpa kabar? siapa yang meninggalkan rumah tanpa sepatah kata pun? jika benar dia mengandung anakku, seharusnya dia datang padaku dan bicara baik-baik! Bukan malah kabur seperti ini!"

Ayah Rama masih menatap putranya dengan raut wajah sulit ditebak. sementara ibunya tampak cemas, ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri.

seketika suasana menjadi semakin tegang. Alda yang sejak tadi diam akhirnya menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, "sudah cukup..."

Rama menoleh padanya, begitu pula Karina.

"pertengkaran ini tidak ada gunanya." Alda melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar. "jika memang harus menunggu tes DNA, maka tunggulah. tidak perlu membuat kegaduhan seperti ini."

Rama menatap Alda dalam diam. dia tahu, di balik ketenangannya, hati istrinya pasti terluka.

Karina mendecak kesal, lalu menoleh ke ajudannya. "kita pergi."

ketiga ajudan itu langsung membuka jalan untuknya, dan tanpa sepatah kata lagi, Karina masuk ke mobilnya dan pergi.

begitu mobil itu menghilang dari pandangan, suasana rumah masih terasa tegang. Ayah Rama menatap putranya lekat-lekat sebelum akhirnya berkata dingin, "aku harap kau tidak mempermalukan keluarga ini, Rama."

lalu tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Raka dan sang Ibu yang hanya bisa menatap putranya dengan khawatir sebelum akhirnya ikut masuk.

tinggal Rama dan Alda yang masih berdiri di tempatnya.

Alda menggigit bibirnya, lalu berbisik pelan, "apa yang akan kita lakukan sekarang, Ram?"

Rama menoleh, lalu dengan lembut ia menggenggam tangan Alda dan menatapnya dalam. "aku tidak takut, Da. aku tahu kebenarannya, dan aku akan membuktikannya padamu. aku tidak pernah menyentuhnya!"

Alda menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. "aku percaya."

dan dengan itu, Rama menggenggam tangannya lebih erat, seolah meyakinkan bahwa dia tidak akan pernah melepaskannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!