Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 27
Hujan berhenti, menyisakan tanah basah dan bekas roda mobil pelarian.
Soni berdiri di depan gerbang belakang mansion, payung hitamnya tergeletak di tanah.
Ia menatap jauh ke arah jalan yang gelap.
“James…”
bisiknya pelan, hampir seperti gumaman.
Ia tidak berteriak.
Tidak mengamuk.
Justru semakin diam
semakin berbahaya.
Para penjaga saling melirik, menunggu perintah.
Soni mengambil ponselnya, menekan satu nomor.
“Hidupkan jaringan pencarian.
Semua unit.”
“T-tuan… maksud Anda seluruh"
“Seluruh jaringan.”
Suaranya rendah tapi tajam.
Penjaga menelan ludah.
“Baik, Tuan.”
Soni menatap sisa benturan di pagar kecil itu.
Ia menendang sedikit bekas injakan kaki James.
“Dia lebih pintar dari yang kukira,”
gumamnya.
Kemudian Soni menoleh ke arah kepala keamanan.
“Sampaikan pada semua titik:
James tidak boleh lolos malam ini.”
“Dan Hana?” tanya kepala keamanan.
Soni menegang.
Matanya meredup sedikit.
“Hana dibawa kembali.”
Nada suaranya berubah tajam.
“Dalam keadaan hidup.”
Para penjaga membungkuk, lalu bergegas memenuhi perintah.
Soni berdiri sendirian di bawah lampu gerbang.
Di matanya…
bukan kemarahan.
Tapi ketakutan.
Sesuatu yang bahkan ia tidak sadari.
Ketakutan kehilangan kendali
seperti orang tuanya dulu kehilangan kendali atas keluarga mereka.
Ketakutan James akan pergi untuk selamanya.
Dan ketakutan bahwa Hana bukan lagi miliknya.
Ia berbisik:
“Jangan paksa aku memusnahkan semuanya, James…”
Nathan membuka papan besar penyelidikannya dan menempelkan foto tambahan—foto dari arsip lama, foto hitam-putih kabur dari malam kejadian.
James dan Hana duduk di sofa.
Raina di samping mereka, memeluk lutut.
James masih memegang bros ibunya.
Hana menyandarkan kepala di bahu James, masih belum pulih secara emosional.
Nathan menatap mereka.
“Aku perlu kalian kuat untuk ini.”
James menegakkan tubuh.
“Aku siap.”
Nathan menggeser foto.
“Ini foto kecelakaan ibumu dari file kepolisian yang tidak pernah dipublikasikan.”
Hana menggigit bibir.
James menatap foto itu lama.
Mobil ringsek.
Pagar besi tertembus.
Dan di luar bingkai foto…
Ada bayangan seseorang.
“Ini… siapa…?”
James bertanya.
Nathan menunjuk gambar itu.
“Aku perbesar tadi siang.”
Ia mengambil foto versi besar yang sudah diperjelas.
Hana menutup mulut dengan tangan.
Raina memekik kecil.
James terbelalak.
Di foto itu terlihat siluet seorang pria dengan ciri ciri
• Rambut sedikit panjang
• Postur tinggi
• Jaket kulit
• Kalung kecil dengan inisial A
Hana langsung gemetar.
“Itu orangnya… itu pria yang… ibumu temui malam itu…”
Nathan mengangguk.
“kemungkinan besar adalah pria yang menjalin hubungan dengan Melena sebelum kematiannya.”
James menatap Nathan dalam-dalam.
Nathan mengambil dokumen kuno dari map cokelat.
“Dan ini…”
ia menaruh kertas di meja,
“…adalah hasil tes DNA yang ‘tidak pernah dikirim’.”
James nyaris tidak bernapas.
“DNA… test?”
Nathan mengangguk.
“Melena pernah melakukan tes DNA kecil untuk ‘keperluan medis’.
Tapi datanya tak pernah sampai ke rumah sakit.”
Nathan menggeser kertas itu ke James.
“Aku temukan ini… di arsip ayahku.
Ia menyembunyikannya sebelum mati.”
James membuka amplop.
Tangan Hana ikut gemetar melihatnya.
Di dalamnya
Nama Bayi: James Arther
Ayah terdaftar: Soni Adrian Arther
Tingkat kecocokan: 0%.
James berhenti bernapas.
Hana langsung memegang pipinya, menangis pelan.
“James…”
bisik Hana.
James memejamkan mata.
Air matanya mengalir.
Bukan marah.
Bukan kecewa.
Tapi rasa kehilangan yang tidak bisa dilukiskan kata-kata.
Nathan menunduk.
“Aku minta maaf.”
James menggeleng.
Tidak ada kata.
Ia hanya menyalakan kembali semua ingatan—
• tatapan dingin Soni
• ketidakpeduliannya
• bagaimana ia tidak pernah memanggilnya “anak”
• bagaimana ia membiarkan James hidup seperti asing
Lalu satu hal menyakitkan:
“Jadi…
aku bukan siapa-siapa baginya…”
Hana memeluk James dari samping, tubuhnya sendiri bergetar.
“Tidak…
kau tetap anak yang kuat…
kau tetap James…”
James meletakkan kepalanya di rambut Hana, suaranya serak:
“Hana… satu-satunya yang peduli padaku… cuma kau…”
Hana menangis pelan.
Raina menyeka air mata sendiri.
Nathan memalingkan wajah, memberi waktu bagi James dan Hana.
James akhirnya mengangkat wajah, meski matanya merah dan basah.
“Kalau Soni bukan ayahku…”
James berbisik,
“…maka aku tidak punya alasan untuk takut lagi.”
Hana memegang tangannya.
“James… jangan bilang itu…”
James menatapnya lembut.
“Hana.
Aku tidak akan biarkan dia menyakitimu lagi.
Tidak selama aku punya napas.”
Hana hampir menangis lagi.
James ikut menangis
tapi kali ini bukan hancur.
Ini kekuatan.
“Mulai malam ini,” kata James tegas,
“aku bukan melarikan diri dari Soni.”
Nathan mengangguk.
“Kau akan melawannya.”
James berdiri.
“Aku akan bongkar semuanya.
Tentang kematian ibu.
Tentang pria itu.
Tentang DNA ini.”
Ia menatap Hana dan menggenggam tangannya erat.
“Dan aku akan pastikan tidak ada yang pernah menyentuh Hana lagi.”
Hana meneteskan air mata, tapi kali ini—
bukan takut.
Ini pertama kalinya ia melihat James sebagai seseorang yang siap berperang untuknya.
Raina berdiri.
“Aku bantu.”
Nathan menyeringai.
“Kita mulai dengan satu hal dulu.”
James menatapnya.
“Apa?”
Nathan menunjuk peta.
“Kita cari ‘A’.”
Keheningan menggantung.
Sampai Nathan menambahkan:
“Dan kita akan lawan Soni dengan kebenaran.”
Hujan telah berhenti, namun udara masih berat, seolah kota pun tahu ada sesuatu yang bergerak dalam gelap malam.
Di halaman mansion, lusinan penjaga berkumpul memanjang.
Semua menunggu satu orang.
Soni keluar dari pintu kaca besar tanpa jas, tanpa payung.
Hujan sisa menetes dari rambutnya ke wajahnya.
Senyap.
Tidak ada yang berani bicara.
Soni memandang ke kejauhan arah luar kota.
Arah mobil yang membawa James dan Hana kabur.
“Kalian semua dengarkan aku.”
Suaranya tidak keras,
tapi cukup untuk menusuk semua yang berdiri di sana.
“James telah mengambil sesuatu dariku.”
Penjaga saling melirik.
Soni mengedarkan pandangan dingin ke seluruh barisan.
“Dia membawa Hana.
Dan dia membawa rahasia yang seharusnya tidak dia temukan.”
Beberapa kepala keamanan menunduk, sadar betapa seriusnya kalimat itu.
Soni melanjutkan:
“Kita tidak punya waktu.
Aku ingin seluruh kota disisir.”
“Bagaimana cakupannya, Tuan?”
Kepala keamanan bertanya hati-hati.
Soni menatapnya…
perlahan…
tanpa emosi.
“Semua jalan keluar dan masuk kota.
Semua gang.
Semua jembatan.
Semua pos sekuriti.
Semua kamera jalan.”
Ia mendekat sedikit.
“Hingga tidak tersisa satu sudut pun tempat mereka bisa bernafas.”
Penjaga langsung bergerak.
Beberapa mengambil kendaraan.
Beberapa menurunkan drone.
Beberapa mengambil laptop dan membuka server kamera kota.
Soni berjalan ke ruang kontrol mansion
ruang yang jarang ia masuki, kecuali situasi paling mendesak.
Di dalam, layar besar menampilkan peta kota.
Soni menunjuk dua titik.
“Daerah timur dan barat harus kalian tutup.”
Ia menatap layar lain.
“Mobil sedan diperiksa. Motor diperiksa.
Kalau perlu, hentikan truk pengangkut sampah.”
Salah satu petugas berkata:
“Tuan, itu akan menarik perhatian pihak kepolisian.”
Soni menatapnya datar.
“Polisi sudah menerima donasi dariku selama bertahun-tahun.”
Bibirnya tersenyum tipis.
“Mereka akan tutup mata.”
Para petugas saling menelan ludah.
Kemudian, tiba-tiba, suara notifikasi muncul di salah satu komputer.
“Motion detected — Gate 7.”
Soni mendekat.
“Perlihatkan.”
Layar menampilkan rekaman samar:
Mobil hitam melaju cepat keluar gerbang samping.
Itu mobil Nathan.
Soni langsung mengenalinya.
“Mobil itu…”
gumamnya.
Ia menyentuh layar.
“Ikuti jejak ban itu.
Cari ke mana mereka mengarah.
Aku ingin posisi mereka dalam waktu 10 menit.”
Para petugas langsung bekerja.
Soni memejamkan mata sejenak.
Wajahnya menegang.
“James…”
bisiknya,
“kau pikir aku tidak tahu caramu melarikan diri?”
Ia ingat saat James remaja kabur untuk pertama kalinya.
Selalu lewat jalur belakang.
Selalu menuju area pinggiran kota.
“Tentu saja kau pergi ke tempat yang sepi…”
Ia membuka matanya.
“…di mana pikirmu aman.”
Soni mengambil ponsel, menghubungi seseorang.
“Sisir seluruh pinggir kota.
Pastikan tim kedua menyebar di daerah gudang, terminal, dan rumah kosong.”
Suara di seberang menjawab:
“Baik, Tuan.”
Soni mematikan telepon.
Langkahnya pelan, namun aura di sekitarnya terasa mencekik.
Ia berkata pada kepala keamanan:
“James sudah buat satu kesalahan besar.”
“Tuan… kesalahan apa?”
Soni menatap layar yang menunjukkan mobil mereka menuju arah pinggiran hutan.
“Dia pikir aku mencarinya karena ingin membunuhnya.”
Ia mencondongkan tubuh.
“Tapi dia lupa satu hal…”
Matanya berubah gelap.
“…aku tidak mengejar dia.”
Kepala keamanan menelan napas.
Soni melanjutkan:
“Aku mengejar Hana.”
Kemudian Soni berbalik dan keluar ruangan.
Setiap langkahnya seperti ketukan jam yang menghitung mundur menuju tragedi.
Satu mobil penjaga berhenti di pos polisi.
“Ada laporan kendaraan mencurigakan.
Plat nomor disembunyikan.
Mobil hitam.”
Polisi mengangguk.
“Arah mana?”
“Pinggiran kota, sekitar perbukitan.”
Polisi langsung menghubungi markas.
“Semua unit, periksa kendaraan hitam menuju jalur hutan.”
Drone keamanan Soni mulai terbang rendah, memindai jalanan gelap.
Cahaya inframerah menyapu tanah, mencari panas tubuh manusia.
Di layar operator…
Tiga titik panas terlihat bergerak ke arah hutan.
Tiga orang.
Operator berbisik:
“Tuan… saya menemukan tiga titik panas di sekitar gudang tua.”
Soni berhenti berjalan.
“Perlihatkan.”
Layar membesar.
Dan Soni tersenyum
senyum pendek, tenang, dan menakutkan.
“Mereka di sana.”
Ia memutar tubuh.
“Siapkan tim.
Aku akan ke sana sendiri.”
Di balik dinding beton tua itu…
James, Hana, Raina, dan Nathan tidak tahu bahwa seluruh kota sudah dibalik seperti halaman buku.
Namun Hana merasakan sesuatu.
Ia memegang dada.
“James…
aku… aku merasa dia semakin dekat…”
James meraih tangannya.
“Aku tidak biarkan dia sentuh kau lagi.”
Nathan mengambil jaketnya.
“Kalau begitu…
kita harus bergerak sebelum tim Soni tiba di sini.”
Raina berdiri cepat.
“Dia… dia sudah tahu?”
Nathan menatap monitor kecil yang ia gunakan untuk hack kamera kota.
Titik merah bergerak mendekat.
“…iya.”
Nathan menutup layar.
“Dia tahu.”
James mengepalkan tangan.
“Biar dia datang.”
Hana memandang James, ketakutan… tetapi juga percaya.
“James… jangan sendirian…”
James memegang pipi Hana.
“Kali ini… aku tidak akan kalah.”
24-11-2025
By Elara21