“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Niko mencengkram erat dagu istrinya. “Sudah kutegaskan, kau hanya perlu duduk diam, turuti perintahku dan jangan bertingkah!” geramnya sambil melotot.
“Mas, apa kamu bahagia?” lirih Kayuna, wajahnya pucat pasi, berusaha melawan ketakutan. “Selama lebih dua tahun kita menikah, tidak ada kebahagiaan dalam rumah tangga kita!”
Plak!
Suara lantang yang baru saja keluar dari mulut Kayuna menggema di ruangan, bersamaan dengan suara keras dari sebuah tamparan yang mendarat tepat di pipinya.
Tubuhnya tersungkur. Kayuna meringis getir, wajahnya tertunduk. Pipinya memanas—membekas jari-jari tegas yang baru saja menghantamnya.
Niko mengatupkan bibirnya, api amarah semakin menyala di matanya. Tangannya mengepal erat, dengan senyum remeh dia pun berjongkok, mendekatkan diri pada istrinya.
“Apa katamu? Selama ini apa kurangku, hah?! Kehidupan mewah sudah kuberikan untukmu, Ibumu, Kakakmu, hidup mereka terjamin dari uangku!” bentak Niko seraya mencekik erat leher Kayuna.
Tatapannya nyalang, bak kehilangan akal. Pria itu menyerang dengan kejam—menghujani Kayuna dengan siksaan bertubi-tubi. Niko menyeret wanita malang itu, memaksanya berdiri, lalu mendorong keras hingga tubuh sang istri terbentur dinding.
“Akh …!” pekik Kayuna kala tubuhnya menghantam keras dinding kamar, tapi ia tetap berdiri. Tatapannya gemetar, namun belum menyerah.
Niko masih melangkah maju, kali ini ia menjambak rambut istrinya. Dengan tatapan sengit laki-laki arogan itu berbisik tajam. “Kau sudah berani?”
“Mas ….” Kayuna tercekat, sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suaminya.
Niko melepas kasar genggamannya. Tatapan sendu istrinya membuatnya sedikit goyah, tetapi siksaan tak berhenti di situ.
Kayuna masih berdiri di sudut ruangan. “Mas Niko,” isak Kayuna seraya mendongak perlahan. “Aku tidak pernah meminta hartamu, selama kita menikah, apa kamu pernah sedikit saja menganggapku sebagai istri? Istri yang kamu cintai, yang kamu muliakan?!”
Niko menyunggingkan bibirnya, lalu tertawa remeh sebelum melontarkan kata-kata yang menusuk. “Kau ingin dimuliakan? Kau masih merasa kurang? Ayolah, jangan serakah, Kayuna.”
“Aku tidak menjadikanmu budak saja, kau harus bersyukur. Seorang CEO terpandang sepertiku mau menikahi gadis rendahan sepertimu, selain aku, tidak akan ada yang mau menerimamu!” Niko terus merendahkan istrinya.
“Mas—” Kayuna terisak, tak kuasa lagi menahan air mata yang semakin bercucuran. “Bebaskan aku, aku mohon,” lirihnya.
Niko berdecak tajam, tangannya sudah mengepal erat. Lalu mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Kayuna, dengan suara beratnya ia berbisik. “Kau ingin bebas?”
Kayuna mengerjap, suara lirih sang suami membuatnya semakin tertekan. “M-mas …,” gumamnya terbata sambil menunduk.
Niko mengangkat tangannya, perlahan ia menyibak rambut hitam yang menutupi wajah istrinya. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh pipi Kayuna, tetapi tatapannya masih terus menusuk.
“Dengar, Yuna. Setelah kau menginjakan kakimu di rumah ini, itu tandanya kau sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi. Kau … berada dalam genggamanku, patuhi aku selama kau masih menjadi istriku,” desis Niko, menekankan setiap bait ucapannya.
Kayuna yang sejak tadi menunduk, kini memberanikan diri, mendongak—menatap suaminya. “Aku bukan boneka yang bisa kamu kendalikan, atau peliharaan yang harus selalu patuh bahkan saat Tuannya melakukan kekerasan,” ujarnya pelan, namun tajam.
Mendengar ucapan istrinya, rahang Niko menegang, dahinya mengerut rapat — menahan amarah yang nyaris meledak. “Boneka? Peliharaan?!” dengusnya. Ia kembali mencekik istrinya. “Baiklah, aku akan mengajarimu, cara menjadi peliharaan yang patuh.”
Deru tangis membuncah memecah keheningan malam, menggema di lorong rumah besar. Seorang pria dengan sorot mata beringas menarik paksa pergelangan tangan istrinya—menyeretnya menuju rooftop.
Setelah tiba, Niko membuka pintu dengan kasar.
Bruk!
Kayuna terjatuh di lantai, kala Niko menghempaskannya dengan keras. Wanita itu segera mundur saat sang suami melangkah mendekat, napasnya tercekat, ia menggigit bibir bawahnya.
“Dengar, Wanita jalang!” Niko kembali menajamkan suaranya. “Jangan macam-macam denganku, sekali saja kau berani melawanku, akan kupastikan hidupmu dan keluargamu tidak akan bisa tenang.”
Kayuna menelan ludah, keringat dingin membasahi pelipisnya. “Mas, ini urusan kita, jangan libatkan keluargaku. Aku mohon,” pintanya, memohon dengan sungguh.
Plak!
Satu tamparan kembali menghantam wajah perempuan malang itu.
“Tutup mulutmu!” teriak Niko dengan lantang. “Karena ulah Ayahmu hidupku nyaris hancur. Meski dia sudah mati, tapi kau tetap harus membayar semuanya!” tegasnya.
Sebelum tragedi kematian Rusman — ayah Kayuna, keluarga Niko sempat terancam kebangkrutan.
Dituding menipu, Rusman dijatuhi hukuman berat setelah tertangkap basah mengkhianati Niko — bosnya sendiri. Nahas, pria paruh baya itu memutuskan mengakhiri hidup sebelum Niko benar-benar menuntut pertanggungjawaban. Dan akhirnya — Kayuna lah yang harus membayar tunai perbuatan ayahnya.
Niko berdiri, ia merogoh sakunya — mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat jari-jarinya menekan satu kontak lalu menghubunginya.
“Bereskan semuanya, bawa ponsel Kayuna ke rooftop,” ujarnya dalam sambungan telepon.
Tak lama, seorang pria bertubuh tinggi datang dengan membawa lembaran kertas yang menjadi pusat pertengkaran pasangan itu.
Kevin muncul dengan raut wajah dingin. Mengenakan jas hitam, dibalut dengan dasi yang terlihat rapi, mengeluarkan aura perfeksionisnya sebagai tangan kanan Niko.
“Ini, Pak. Barang yang anda minta,” ujarnya seraya menyodorkan sebuah ponsel dan lembaran kertas yang ada di tangannya.
Niko segera meraihnya, kemudian melangkah maju mendekati istrinya. Ia menyodorkan ponsel padanya.
“Hubungi pengacaramu sekarang juga, katakan padanya kau ingin membatalkan perceraian!” perintahnya dengan tegas.
“T-tapi, Mas ….”
“Kau belum mengerti juga? Perlu kupertegas dengan cara lain?” ucap Niko sembari melayangkan tangannya di udara, siap menampar kembali wajah istrinya.
Kayuna tertegun, baginya tak apa jika ia harus terluka atau bahkan mati di tangan suaminya. Tapi, yang menjadi beban berat hatinya saat ini, Niko mengancam akan mengusik keluarganya.
Dengan tangan gemetar, napas yang tersengal dan sisa tenaga. Kayuna meraih ponselnya, ia segera menghubungi Andi — pengacara yang ia tunjuk untuk menangani kasus perceraiannya.
Niko masih berdiri memperhatikan Kayuna, sementara Kevin tengah bersiap menyalakan api di sebuah tong sampah logam. Dengan santai Niko menegakkan bahunya sembari membakar satu per satu lembaran kertas perkara, yang hendak diajukan Kayuna sebagai pendukung gugatannya.
“M-maaf, Pak Andi. Saya ingin membatalkan gugatan saya,” ujar Kayuna lirih dalam telepon, setelah selesai berbincang ia segera menutupnya.
Niko tertawa puas, sudut bibirnya menyungging saat melontarkan kata pada istrinya. “Bagus! Begitu baru istriku,” ucapnya dengan nada meremehkan.
Dia pun melangkah mendekati Kayuna. “Jangan ulangi lagi ya, Sayang. Aku akan berusaha untuk lebih baik lagi kedepannya,” sambungnya seraya mengelus lembut ujung kepala Kayuna.
Ucapan manis Niko hanyalah kiasan. Nyatanya, selama pernikahan tak pernah sekali pun ia bersikap baik pada istrinya.
“Puas-puasin sedihmu, aku tunggu di kamar.”
Niko langsung melangkah pergi, setelah berhasil menyelesaikan misinya—membatalkan niat Kayuna untuk menggugat cerai dirinya.
Kevin ikut menyusul, mengekor di belakang bosnya.
“Pria jahanam!” dengus Kayuna, sorot matanya tajam—menatap bahu suaminya sebelum hilang saat pintu tertutup.
Kayuna mengusap kasar wajahnya, lalu ia duduk termenung sendirian, bersandar pada dinding yang mulai mendingin. Rambutnya acak-acakan, seluruh tubuhnya lebam, tulangnya terasa remuk seolah baru saja dicabik-cabik dengan kejam.
Netranya menangkap sebuah botol kaca tergeletak di samping tong sampah, tempat terbakarnya lembaran-lembaran yang dipenuhi oleh harapannya.
Dengan langkah terhuyung, Kayuna mendekat dan meraih botol tersebut.
Prang!
Ia menghantam sebuah tiang dengan botol yang di genggamnya. Lalu kembali melangkah dengan tertatih, tatapannya kosong ke depan.
Di tepi rooftop, Kayuna mengangkat tangannya di udara, ia meletakkan pecahan botol kaca ke pergelangan tangan.
“Apakah semua akan berakhir jika aku mati?” Kayuna tersenyum getir. “Hidup pun, terasa seperti di dalam peti mati.”
Gemuruh terdengar samar dari kejauhan, semilir angin malam menerpa wajah seorang wanita yang tengah dihantam penderitaan. Siksaan demi siksaan, hinaan serta cacian ia telan selama menjalani bahtera rumah tangga dengan Niko—akibat keterpaksaan.
“Dua tahun lebih, aku sudah berusaha bertahan, Ya Allah ... Sekarang, aku sudah merasa tak sanggup lagi,” isak Kayuna, suaranya pecah berkeluh pada sang pencipta.
Tangannya masih menggenggam pecahan kaca. Dengan wajah getir, Kayuna bersiap menggoreskannya ke pergelangan tangan—mengakhiri segalanya.
*
*
Bersambung ….