"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren.sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. pukul 11.50 WIB.
"mengapa tak ada yang membangunkanku? ah, sial! jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairah Assyifa itu.
Ia merutuki dori sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid.
trus apa yang akan terjadi di hari-hari humairah di pesantren tersebut, apakah humairah akan menemukan jodohnya di pesantren tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ridwan jujun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya Mencintaimu, Mas
Huma kini sudah duduk di hadapan Huda. Namun ia sama sekali tak berani menatap laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu. Jujur, Huma amat gugup. Ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Apakah kamu tidak ingin melihat wajah suamimu, Humairoh?" tanya Huda dengan suara yang lembut.
"Ma-maaf, Mas," jawab Huma. Suaranya agak bergetar. Ia sungguh tak bisa berpikir jernih sekarang. Jantungnya berdetak begitu cepat. Bahkan ia lupa pesan bundanya tadi agar ia segera menghampiri Huda dan mencium tangan suaminya itu.
Huma mengangkat wajahnya. Mencoba memandang wajah tampan suaminya, yang kini sudah berada sangat dekat dengannya. Senyuman manis tampak terukir di wajah suaminya itu.
Kedua manik mereka kini saling menatap dalam kebahagiaan dan rasa cinta.
"Kamu cantik sekali, Humairohku," ucap Huda.
Huma hanya bisa tersenyum, tersipu malu. Kedua pipinya kini merah merona.
"Terima kasih, Mas."
Huma segera meraih tangan Huda dan mencium punggung tangan suaminya itu dengan bibirnya yang lembut. Sementara Huda membalas dengan memegang ubun-ubun Huma seraya mengucapkan do'a.
"Allahumma inni as-aluka min khairihaa wa khairi ma jabaltuhaa 'alaiih, wa a'uudzubika min syarrihaa wa syarri maa jabaltuhaa 'alaiih."
"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya (istri) dan kebaikan apa yang saya ambil dari padanya, serta aku berlindung kepada-Mu dari kejahatannya dan kejahatan apa yang aku ambil daripadanya."
"Ana uhibbuka fillah, Humairohku," ucap Huma seraya menatap mesra manik Huma.
Huma hanya membalas ucapan suaminya itu dengan senyuman manis.
Huda kini mencium kening Huma. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira, hari ini Huma benar-benar sudah jadi miliknya. Belum genap tiga bulan mereka saling mengenal, namun kini mereka sudah disatukan dalam sebuah ikatan yang suci. Mungkin bagi orang lain, ini terlalu cepat. Namun takdir Allah, siapa yang tau.
Jodoh, rezeki, hidup, dan mati hanya Allah saja yang tau. Sebagai manusia, kita hanya berdo'a dan menerima segala ketentuan dari-Nya.
"Ehm ehm .... Mesra-mesraannya dilanjutin lagi aja nanti. Nggak kasian sama jomblo yang disini apa?" ucap Sauqi. Jiwa jomblonya benar-benar tak kuasa menahan kemesraan yang ditunjukan Huda dan Huma. Jika diperbolehkan, ingin sekali ia menikah saat itu juga. Entah dengan siapa.
"Hehehe ...." ringis Huda memamerkan deretan giginya yang putih. Ia tersadar bahwa di ruangan itu memang masih banyak orang. Sedari tadi fokusnya hanya kepada perempuan yang baru saja menjadi istrinya itu. Serasa dunia hanya ada mereka berdua saja.
Sementara itu, Huma juga terlihat malu mengingat kemesraannya dengan Huda tadi. Tampak di deretan sana, Abi Ahmad dan Umi Aliyah juga tersenyum melihat tingkah pasangan pengantin baru itu.
"Ayo tukar cincin dulu, biar mesra-mesraannya dilanjutin lagi nanti," ucap Umi Aliyah seraya tersenyum kepada mereka berdua.
"Eh. Iya, Umi."
Huda mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna silver yang memang sudah ia siapkan dari beberapa hari lalu. Cincin yang seharusnya menjadi cincin acara khitbahnya dengan Huma. Namun kini cincin itu malah menjadi cincin pernikahan mereka.
Huda meraih jari-jemari Huma dan segera memasangkan cincin berbahan platinum itu di jari manis Huma. Beruntung ukuran jari tangan kanan Huma sama dengan tangan kirinya, sehingga cincin berhiaskan permata itu sangat pas melingkar di jari manis Huma.
Kini gantian Huma yang memasangkan cincin di jari manis Huda. Cincin dengan bahan yang sama namun dengan model yang polos. Huda sengaja memilih cincin berbahan platinum premium dan bukan berbahan emas, karena di dalam islam seorang laki-laki haram hukumnya memakai sesuatu apapun yang berbahan emas.
Sepasang cincin berwarna silver itu kini sudah melingkar di jari manis Huda dan Huma. Mereka memamerkannya di depan seluruh orang yang hadir di ruangan itu untuk diabadikan dalam sebuah foto.
"Barokalloh ya, Gus dan Ning."
"Semoga sakinah mawaddah warohmah."
"Semoga barokah ya."
Berbagai ucapan selamat, Huda dan Huma dapatkan dari seluruh orang di ruangan itu. Sungguh pernikahan yang sederhana namun terasa begitu sakral dan indah. Mereka berharap seluruh malaikat dan penghuni langit pun ikut mendo'akan pernikahan mereka.
Selepas salat asar bersama, kini Huma sedang membantu Ratna di dapur menyiapkan makan sore untuk semua orang. Sementara Huda masih berada di ruang tamu, mengobrol dengan Sauqi dan keluarga Huma yang lainnya.
"Mbak Humairoh, kenalin saya Nailah. Adiknya Gus Huda. Dari tadi kan kita belum kenalan, Mbak," ucap Ning Nailah, seraya tersenyum. Gadis yang berusia seumuran dengan Sauqi itu mendekat ke arah Huma yang sedang memanaskan makanan.
"Hush, Ning Nailah! Panggilnya jangan 'Mbak' dong. Kan sekarang Mbak Huma sudah jadi istri Gus Huda, jadi kamu harus panggil 'Ning'," ucap Ning Fatimah yang tadi datang bersama Ning Nailah.
"Oh iya. Maaf, Ning Huma," ucap Ning Nailah.
"Eh, panggil 'Mbak' saja nggak papa kok. Rasanya saya nggak pantas kalau dipanggil 'Ning'," ucap Huma seraya tersenyum ramah ke kedua perempuan yang sudah menjadi saudara iparnya kini.
"Ahh, Ning Huma memang rendah hati sekali ya. Selain cantik dan sopan, Ning Huma juga baik sekali. Pantas saja Mas Huda jatuh cinta sama Ning Huma," ucap Ning Nailah.
"Enggak kok, Ning," ucap Huma seraya tersenyum ke arah Ning Nailah.
"Oya, Ning Huma. Beberapa waktu lalu kita pernah ketemu di sebuah kafe di Pekalongan, 'kan? Ning masih ingat?" tanya Ning Fatimah.
Huma mengangguk. Tentu saja ia masih ingat. Pertemuan dengan Ning Fatimah waktu itulah yang sudah membuat Huma patah hati karena mengira laki-laki yang Ning Fatimah sebut sebagai suaminya adalah Huda.
"Iya. Saya ingat, Ning. Waktu di Kafe Senja, 'kan?" tanya Huma.
"Iya. Saya nggak nyangka loh kita bakal ketemu lagi. Bahkan jadi saudara ipar kayak gini," ucap Ning Fatimah.
"Saya juga nggak nyangka, Ning."
Kini mereka bertiga sudah akrab mengobrol segala macam hal seraya membantu menyiapkan makanan. Bukan suatu hal yang sulit bagi mereka untuk menyatukan obrolan, apalagi mereka sama-sama memiliki basic pondok pesantren.
Tepat sebelum magrib, keluarga Kyai Ahmad memutuskan untuk pulang kembali ke Purwokerto. Namun kali ini, yang duduk di kursi kemudi adalah Gus Khoer karena Gus Huda memang tidak ikut pulang bersama mereka.
"Titip anak saya ya, Bu Ratna. Mudah-mudahan saja anak saya tidak merepotkan Ibu ya," ucap Umi Aliyah seraya tersenyum kepada besannya itu.
"Nggih, Bu Nyai. Tidak merepotkan kok. Gus Huda kan sudah jadi anak saya sendiri," ucap Ratna.
"Terima kasih ya, Bu."
"Iya sama-sama, Bu Nyai," jawab Ratna.
"Huda, kamu jadilah suami yang baik ya. Jangan pernah sakitin hati istri kamu."
"Nggih, Umi. Insya Allah," ucap Huda seraya mencium punggung uminya.
"Nak Huma, umi pulang dulu ya. Kamu secepatnya mampir ke rumah ya."
"Nggih, Umi." Huma pun mencium tangan Umi Aliyah dan Abi Ahmad.
"Kami pamit ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh," ucap Ratna, Huma, Huda, dan Sauqi yang mengantar mereka sampai halaman depan.
Mobil Kyai Ahmad mulai melaju meninggalkan rumah Huma. Para tamu dan kerabat pun satu persatu pamit undur diri. Kini hanya tersisa mereka berempat saja di rumah Huma.
"Allahu Akbar Allahu Akbar."
Adzan magrib mulai berkumandang merdu dari menara masjid dekat rumah Huma. Memanggil setiap insan untuk segera mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Huma dan keluarga memutuskan untuk pergi salat berjamaah di masjid.
Sepulang dari masjid, Huma kembali menuju kamarnya. Ia duduk di pinggiran ranjang dengan masih memakai mukena. Di genggamannya kini sudah ada mushaf Al-Qur'an kesayangannya. Memang sudah menjadi kebiasaan Huma selepas magrib selalu melaksanakan tadarus Al-Qur'an.
Namun kini Huma sedang bingung. Apakah ia akan tetap melaksanakan tadarus rutinnya itu atau tidak? Bagaimana jika Huda datang ke kamarnya? Mengingat kini statusnya sudah resmi menjadi istri Huda.
Jujur ia sedang gugup. Entah apa yang akan ia lakukan nanti saat Huda datang ke kamarnya.
"Assalamu'alaikum."
Benar saja. Tap berapa lama, terdengar suara Huda dari balik pintu. Jantung Huma kini berdetak amat cepat.
"Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Huma.
"Boleh saya masuk, Humairoh?"
"Bo-boleh, Mas. Masuk saja. Pintunya tidak dikunci."
Ceklek
Huda mulai masuk ke dalam kamar. Perlahan ia mendekati istrinya itu. Ia duduk di atas ranjang di samping Huma.
Beberapa menit mereka terduduk dalam diam. Baik Huda maupun Huma memang sama-sama masih gerogi.
"Terima kasih ya, Humairoh. Karena kamu sudah bersedia menjadi istri saya," ucap Huda berusaha memecah keheningan diantara mereka. Kini ia merubah posisi duduknya sedikit miring, menghadap ke arah istrinya.
"Iya, Mas. Sama-sama," jawab Huma singkat. Ia benar-benar sangat gerogi saat ini.
"Mmm ... Saya ingin bertanya kepada kamu, Humairoh. Tapi kamu harus menjawabnya dengan jujur ya."
"Bertanya apa, Mas?"
Huda terdiam sejenak. "Apakah kamu merasa terpaksa menikah dengan saya?"
"A-apa maksud Mas Huda?"
"Apakah kamu mau menikah dengan saya karena kamu benar-benar mencintai saya, Humairoh?"
Huma terdiam. Lalu ia mengangguk pelan.
"Lalu, kenapa kamu selalu menunduk saat berbicara dengan saya, Humairoh?"
"Sa-saya belum terbiasa, Mas. Saya masih malu."
Kini Huda sedikit maju ke arah Huma. Hanya tersisa jarak beberapa sentimeter saja diantara mereka.
Dengan lembut, Huda mengangkat dagu Huma dengan tangan kanannya. Ia hadapkan wajah istrinya itu ke arah wajahnya. Tampak wajah Huma memang sudah merah merona karena malu.
"Mulai sekarang, kamu tidak boleh malu lagi saat berhadapan dengan saya, Humairoh," ucap Huda lembut.
Huma hanya mengangguk. Ia menatap wajah tampan suaminya itu. Ya, benar. Suaminya memang benar-benar tampan. Apalagi dengan baju koko yang kini ia kenakan. Sungguh tampan sekali. Jantung Huma kini berdetak begitu cepat.
Huda meraih tangan Huma dan menempelkan di dadanya.
"Kamu bisa merasakan detak jantung saya, Humairoh?"
Huma mengangguk pelan.
"Detak jantung secepat ini hanya muncul ketika saya berhadapan denganmu, Humairoh," ucap Huda.
"Saya juga sebenarnya malu dan gerogi saat sedang bersama kamu, Humairoh. Tapi saya berusaha menghilangkannya. Karena saya benar-benar mencintai kamu, Humairoh," ucap Huda. Ia menatap lekat-lekat manik istrinya.
"Apakah kamu juga mencintai saya?" tanya Huda.
Jantung Huma kini benar-benar berdetak semakin cepat. Tatapan suaminya itu benar-benar seperti listrik yang langsung menyambar ke hatinya.
"Sa-saya juga mencintaimu, Mas," ucap Huma pelan.
Huda terseyum mendengar jawaban istrinya tersebut. Tampak dari matanya, jawaban itu memang benar-benar tulus dari dalam hati.
Kini Huda mendekatkan wajahnya ke arah Huma. Jarak wajah mereka kini hanya beberapa sentimeter saja. Huda bisa merasakan tarikan napas istrinya yang semakin cepat. Ia tau istrinya itu benar-benar sedang gugup. Tampak dari kedua matanya yang tiba-tiba terpejam.
Huda tersenyum. Lalu ia mencium kening Huma.
"Terima kasih, Humairohku."
Kedua tangan Huda kini menyentuh pelipis istrinya. Berdo'a kepada Sang Maha Esa agar ikatan pernikahan mereka senantiasa diridhoi dan dilindung oleh-Nya.
"Mulai sekarang, aku boleh memanggil kamu 'Dek', 'kan?" tanya Huda seraya tersenyum mengangkat kedua alisnya. Ia sedang berusaha menghilangkan rasa canggung di antara mereka. Gaya bicaranya pun kini sudah tak seformal biasanya.
"D-dek?"
"Iya, Dek Humairoh," ucap Huda mesra.
Huma mengangguk pelan. "I-iya. Boleh, Mas." Huma kini benar-benar tersipu malu dengan ucapan Huda.
"Kamu memang benar-benar gadis berpipi merah ya, Humairoh," ucap Huda seraya mengelus sebelah pipi Huma.
"Kamu tadi hendak tadarus, 'kan?" tanya Huda.
"Iya, Mas."
"Mau tadarus bareng, Dek?"
"Iya. Boleh, Mas."
"Ya sudah, Mas mau wudhu dulu di kamar mandi dapur ya."
"Di kamar mandi kamar saja, Mas."
"Eh?"
"Kebetulan di kamar Huma memang ada kamar mandinya, Mas. Itu," ucap Huma seraya menunjuk ke arah pintu kamar mandi.
"Oh ya? Ya udah, Mas wudhu duluan ya. Nanti gantian kamu."
"Iya, Mas."
Huda segera melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu. Beberapa menit kemudian ia keluar dan bergantian Huma yang berwudhu.
Kini sepasang suami istri itu sudah duduk di atas sajadah berhadap-hadapan. Bersiap untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
"A'udzu billahi minasy syaithonirrojim. Bismillahirrohmanirrohim."
Ayat-ayat Ilahi mulai terdengar, menggema dari dalam kamar Huma. Menemani sepasang jiwa yang kini telah bersama dalam ikatan suci.
---------------------------------------------------------
Bersambung.
aku suka ceritanya bagus