1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Dualisme dalam Pemerintahan
"Terima kasih, Mbokde."
Sutini membukakan pintu, mempersilakan Pariyem masuk. Mereka berhenti di depan ruang kerja Marius setelah melewati koridor.
Sutini mengetuk pelan.
"Masuk!” Suara Marius dari dalam, terdengar lelah tapi tegas.
Sutini membuka pintu, menjulurkan kepala. "Tuan, Nyai Pariyem sudah tiba."
"Persilakan masuk."
Sutini membukakan pintu lebih lebar, mempersilakan Pariyem masuk dengan gerakan hormat. Lalu menutup pintu dengan pelan, meninggalkan mereka berdua.
Pariyem melangkah masuk. Ruangan masih sama seperti kemarin, meja besar dari kayu gelap, rak buku setinggi langit-langit, jendela besar menghadap taman.
Tapi kali ini meja itu berantakan. Tidak rapi seperti kemarin.
Tumpukan dokumen terbuka berserakan; kertas-kertas dengan tulisan tinta hitam, peta dengan garis-garis merah, buku-buku tebal dengan pembatas di berbagai halaman.
Ada juga beberapa foto hitam putih, foto yang sepertinya dokumentasi proyek pemerintah.
Bau asap cerutu bercampur dengan bau khas kertas dan tinta. Dan samar-samar, wangi parfum mewah Marius, cologne dengan aroma cendana dan kayu manis yang khas.
Marius duduk di balik meja dengan kemeja putih yang kancingnya dibuka dua kancing teratas, tidak ada dasi, lengan digulung sampai siku, rambut pirang sedikit acak-acakan. Wajahnya terlihat lelah; mata sedikit merah, garis-garis halus di dahi lebih dalam.
Tapi begitu melihat Pariyem dengan tas besar di tangan, wajah tegasnya berubah. Ada iba di sana, empati yang tulus.
Dia bangkit dari kursi, melangkah mendekat. "Nyonya Pariyem," sapanya dengan suara ramah. "Silakan duduk."
Tangannya menunjuk kursi berlapis kulit di depan meja. Pariyem duduk dengan tubuh yang masih tegang, meletakkan tas di sampingnya.
Marius kembali ke kursinya, menatap Pariyem dengan tatapan penuh keprihatinan.
"Anda diusir?" tebaknya langsung.
"Benar, Tuan." Pariyem mengangguk. Suaranya keluar lebih stabil dari yang dia sangka. "Kusumawati yang mengusir saya."
Dia tidak lagi menggunakan gelar "Kanjeng Raden Ayu" untuk nama itu. Malas. Rasanya tidak pantas.
Karena priyayi yang diagungkan seharusnya adalah sosok yang punya wibawa,, punya kebijaksanaan, dan punya empati pada rakyatnya.
Bukan penindas. Bukan pembunuh. Bukan penjajah berambut hitam.
"Bahkan mengancam akan membunuh saya kalau tidak pergi," tambah Pariyem dengan cepat.
Satu alis Marius terangkat, agak terkejut mendengar kata "membunuh" diucapkan dengan gamblang begitu.
Tapi di saat yang sama ... seperti sudah menduga. Seperti sudah tahu bahwa orang-orang seperti Kusumawati memang mampu melakukan hal sejauh itu.
Orang-orang yang tidak berguna baginya, seperti Pariyem, tidak akan dia pertahankan. Akan disingkirkan. Dengan cara apapun.
Marius bersandar di kursinya, meraih cerutu yang masih menyala di asbak, menghisapnya dalam-dalam. Asap putih mengepul, naik perlahan ke langit-langit.
"Ceritakan pada saya. Detail. Apa yang Anda dapatkan. Apa yang Anda dengar. Semuanya."
Pariyem berdeham, menegakkan punggung. Percaya dirinya semakin tumbuh. Dia punya informasi.
Informasi yang berharga. Informasi yang membuat dia masih berguna, masih punya nilai di mata pria Belanda ini.
Dia mulai bercerita, tentang bagaimana Kusumawati menggelapkan sebagian upah pekerja proyek tanggul di Kedung Wulan.
Tentang bagaimana Soedarsono harus menambal dengan uang pribadi tanpa sepengetahuan ibunya.
Tentang bagaimana perempuan itu mengontrol setiap keputusan kadipaten. Soedarsono hanya boneka, ibunya yang sebenarnya memegang kendali.
Tentang kematian mendadak Bupati Soenarto yang mencurigakan. Kusumawati yang tidak menangis sama sekali, seolah sudah tahu akan terjadi.
Tentang bisikan-bisikan para pelayan; perempuan-perempuan yang menghilang setelah berseteru dengan Raden Ayu. Pejabat bawahan yang tiba-tiba mati tidak jelas.
Tentang bagaimana Soedarsono sendiri mengaku dalam igauannya—Saya menutupi dosa-dosa Ibu jangan sampai ketahuan Belanda.
Dan tentang bagaimana Juniah datang dengan teh beracun dan kantong uang. Pilihan antara mati atau pergi.
Pariyem menceritakan semuanya. Tidak ada yang ditahan. Sedikit dilebih-lebihkan memang, tapi itu belum seberapa jika dibandingkan kejahatan yang sesungguhnya mungkin dilakukan perempuan itu.
Marius mendengarkan dengan saksama. Tidak memotong. Tidak bertanya. Hanya sesekali menghisap cerutu, matanya menyipit, otaknya bekerja keras mengolah setiap informasi.
Ketika Pariyem selesai, hening cukup lama.
Marius memadamkan cerutunya di asbak, lalu dia menatap Pariyem dengan tatapan serius.
"Itu ... bagus," ucapnya akhirnya. "Artinya memang Tuan Bupati sangat mencintai Anda. Anda perempuan favoritnya. Dia bahkan melawan ibunya sendiri demi Anda."
Senyum tipis muncul di bibirnya. "Itu artinya Anda bisa mengorek lebih banyak lagi. Dia akan bicara pada Anda. Akan menceritakan rahasia-rahasia yang tidak dia ceritakan pada siapapun. Anda punya posisi yang sangat strategis, Nyonya Pariyem."
Pariyem mengangguk, dada membuncah. Ini kali pertama ia dipuji oleh orang asing. Lalu dengan mata berbinar penuh harap, dia bertanya, pertanyaan yang sudah mengganggunya sejak tadi.
"Apa hukuman yang bisa akan Tuan berikan pada ... perempuan itu?"
Dia tidak menyebut nama. Tapi jelas siapa yang dimaksud.
Marius terdiam. Lama.
Lalu dia tersenyum, senyum sedih yang membuat hati Pariyem mencelos.
"Korupsi memang dilarang dalam hukum kolonial, Nyonya," ucapnya pelan. Suaranya seperti guru yang menjelaskan pelajaran sulit pada murid pemula. "Tapi ada yang namanya dualisme dalam pemerintahan kami."
Pariyem mengerutkan dahi, tidak mengerti. "Dualisme, Tuan?"
Marius mengangguk, lalu menarik napas, mencari cara menjelaskan yang lebih sederhana. "Bayangkan seperti ini, Nyonya. Rumah yang sama, tapi punya dua tuan rumah yang berbeda aturannya."
Dia mengambil dua buku dari meja, meletakkannya bersebelahan. "Ini Hindia Belanda. Tapi di dalamnya ada dua sistem pemerintahan yang jalan bersamaan. Sistem kami kolonial dan sistem tradisional pribumi."
Tangannya menunjuk buku pertama. "Sistem kami—Binnenlandsch Bestuur—itu pemerintahan dalam negeri yang diatur langsung oleh orang Belanda. Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Controleur, dan masih banyak lagi. Kami yang pegang kendali tertinggi. Kami yang buat keputusan besar."
Lalu menunjuk buku kedua. "Tapi di bawahnya, ada sistem lama yang tetap kami pertahankan—Inheemsche Bestuur—pemerintahan pribumi. Bupati, Patih, Wedana, dan perangkat lokal lainnya. Mereka yang mengatur rakyat sehari-hari. Mereka yang jadi perantara antara kami dan rakyat."
Pariyem mulai mengerti sedikit. "Jadi ... seperti ada dua tingkat?"
"Tepat." Marius mengangguk. "Kami di atas. Ningrat pribumi di bawah. Tapi ningrat itu tidak sepenuhnya di bawah kami, mereka punya wewenang sendiri untuk mengatur rakyat dengan cara tradisional mereka. Asal ... mereka tetap patuh pada kami."
Dia bersandar, menatap Pariyem dengan serius. "Kenapa kami pertahankan sistem ini? Karena lebih mudah. Orang Belanda di Hindia ini cuma puluhan ribu. Rakyat pribumi? Puluhan juta. Mustahil kami mengatur langsung semua orang. Apalagi ada keterbatasan dalam bahasa daerah yang berbeda-beda setiap wilayah."
Tangannya bergerak menjelaskan. "Jadi kami pakai cara pintar, biarkan ningrat lokal yang mengatur rakyatnya sendiri. Mereka yang sudah dikenal, yang sudah dihormati, yang tahu bahasa dan adat setempat. Kami tinggal awasi dari atas. Tinggal ambil hasilnya; pajak, hasil bumi, tenaga kerja."
"Tapi …," Pariyem ragu bertanya. "Kalau ningrat itu berbuat jahat pada rakyatnya sendiri?"
lengserke mertuamu
suwun kak . .