Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah di bawah langit yang sama
Keheningan di bawah pohon trambesi itu terasa menusuk, lebih tajam dari bilah pisau. Ruang di antara Kalea dan Byantara adalah vakum yang menelan segala suara, menyisakan hanya dentuman ritmis dua jantung yang berdetak di batas antara takdir dan kehormatan.
Byantara menatap tanah, jemarinya terkepal. Ia berusaha keras merangkai kata, mencari diksi yang cukup tegas, cukup bagus, untuk membungkus bom pengakuan yang baru saja dijatuhkan di hadapannya.
"Lea..." suaranya parau, seperti pesan radio yang terputus di tengah badai. "Aku nggak tahu harus bilang apa. Ini... melanggar banyak hal."
Kalea menggeleng lembut, namun sorot matanya sekeras baja baru ditempa.
"Abang nggak perlu bilang apa-apa. Aku cuma ingin Abang tahu. Itu saja. Kebenaran tetap harus diucapkan, meski ia menghancurkan fondasi yang kita yakini."
Byantara terdiam. "Tapi kenapa sekarang? Kenapa di saat seperti ini?"
Kalea menarik napas pelan, lalu menatap lurus ke depan.
"Karena besok aku akan berangkat. Aku ingin lari, Bang, tapi bukan dari perasaan ini. Aku ingin lari menuju sesuatu yang bisa membuat Abang bangga. Aku ingin Abang melihatku sebagai rekan seperjuangan, bukan sekadar adik kecil yang manja."
Byantara mendongak. Di mata Kalea, ia melihat api tekad yang tak lagi bisa disembunyikan di balik seragam putih abu-abu itu. Api yang sama yang selama ini ia jaga di bawah sumpah dan disiplin Sapta Marga.
Lama ia menatap Kalea, lalu berkata lirih, "Besok pagi, Abang nggak bisa antar kamu ke lokasi seleksi. Ada panggilan tugas yang tak bisa ditunda."
Kalea mengerutkan kening. "Kenapa, Bang? Karena pengakuanku membuat Abang harus pergi?"
Byantara cepat menggeleng. "Bukan, Lea. Tugas negara tak pernah tunduk pada urusan hati. Ini perintah mutasi."
Ia mengeluarkan secarik kertas berstempel merah dari saku celananya.
Tulisan itu tegas.
"Pindah ke Batalion Infanteri 753/Arga Vira Tama, Nabire, Papua."
Kalea terpaku. Keheningan kembali menyelimuti mereka, kini dengan bobot perpisahan yang menyesakkan dada.
"Abang... dipindahkan tugas? Ke ujung timur negeri?"
Byantara mengangguk perlahan. "Iya. Surat perintah sudah keluar beberapa hari lalu. Aku berangkat besok pagi. Sesuai yang di perintahkan."
Kalea berusaha tersenyum, tapi air matanya jatuh tanpa sempat dihalangi. "Papua bukan tempat main-main, Bang. Medannya berat. Abang akan jauh... sejauh peta negeri ini terbentang."
"Aku tahu," jawab Byantara tenang. "Tapi prajurit tidak pernah memilih di mana ia ditempatkan. Kita hanya belajar mencintai setiap jengkal tanah yang kita pijak, dari Sabang sampai Merauke."
Kalea menunduk. "Berarti besok kita sama-sama berangkat, ya, Bang. Cuma beda arah kompas."
"Iya," sahutnya pelan. "Kamu ke gerbang kawah candradimuka, aku ke medan tugas. Tapi kita tetap melangkah di bawah langit yang sama."
Mereka terdiam di bawah pohon tua itu. Dua jiwa yang disatukan oleh takdir, namun harus diceraikan oleh kehormatan.
Fajar belum datang saat Kalea sudah berdiri di depan cermin. Pantulan dirinya kini bukan lagi gadis SMA yang manja, melainkan calon prajurit yang siap memanggul beban negara.
Ibu mengetuk pintu pelan. "Lea, sudah siap?"
"Sudah, Ma."
"Nanti biar Papa sama Mama yang antar, ya. Bang Byan nggak bisa ikut, tapi kami akan dampingi kamu."
Kalea tersenyum tipis. "Ma, biar aku berangkat sendiri. Aku harus belajar berdiri di kakiku sendiri sejak dari gerbang."
Ibu menatap heran. "Sendiri? Ini kan hari pentingmu, Nak."
"Justru karena itu, Ma," jawab Kalea lirih. "Aku ingin membuktikan aku bisa. Lagi pula, Papa dan Mama harus antar Bang Byan ke bandara. Tugasnya jauh. Aku nggak mau beliau berangkat tanpa kalian di sisinya. Kehadiran kalian di sampingnya lebih penting."
Ibu menatap putrinya lama, matanya berkaca-kaca. "Kamu selalu lebih dewasa dari yang mama kira. Jiwamu sekuat baja pertahanan negara."
Byantara tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda sebelum matahari terbit. Wajahnya menampakkan lelah yang bukan dari kurang tidur, melainkan beratnya perpisahan.
"Byantara," sapa Ibu lembut. "Kami antar sampai gerbang keberangkatan."
Byantara terkejut. "Kenapa Papa Mama di sini? Harusnya kalian antar Kalea."
Ayah menjawab dengan tenang, "Dia sudah berangkat. Pagi-pagi sekali. Katanya, kalau kamu tahu dia pergi sendiri, kamu nggak akan tega meninggalkan Aceh."
Rahang Byantara mengeras. "Anak itu... keras kepala sekali."
"Dia Aswangga," sahut Ayah. "Keras kepala dan berani mengambil keputusan, itu darah keluarga ini."
Panggilan boarding menggema. Byantara meraih tangan kedua orang tuanya, menunduk, mencium tangan mereka dengan hormat.
"Doakan Byan, Pa, Ma. Semoga tugas ini bisa Byan jalankan dengan kehormatan."
Ayah mengangguk pelan. "Ingat, Nak. Prajurit sejati bukan hanya gagah di medan tempur, tapi juga jujur pada nuraninya."
Byantara menegakkan tubuh, memberi hormat sempurna, lalu berlutut. Ia menyentuh lantai bandara yang dingin, mencium tanah Aceh itu seperti mencium dahi ibu pertiwi.
"Jaga Papa, jaga Mama, dan jaga dia..." bisiknya pada bumi Tanah Rencong. "Kalau aku tak sempat kembali, sampaikan... aku pergi bukan untuk mati, tapi untuk menjaga kehidupan dan martabat negeri ini."
Sementara itu, di dalam bus kecil menuju pusat seleksi, Kalea duduk di dekat jendela. Langit Aceh pagi itu biru pucat, langit yang sama di mana pesawat yang membawa Byantara akan melintas sebentar lagi.
Ia menggenggam sapu tangan milik Byantara. Di ujung kain itu terukir nama yang membuat dadanya bergetar setiap kali dibaca.
"Kau sudah pergi, Bang," bisiknya lirih. "Sekarang giliranku melangkah. Aku akan mencari kehormatanku sendiri."
Ia menarik napas panjang. Air matanya sempat jatuh satu, tapi segera ia hapus.
"Prajurit tidak boleh menangis sebelum bertempur," gumamnya pada diri sendiri.
Namun, dalam diamnya, ia tahu, pertempuran terbesar bukan melawan jarak atau ujian fisik, tapi melawan hatinya sendiri, yang harus ia kubur di bawah sumpah pengabdian pada bangsa.
Pagi itu, di dua tempat berbeda, dua sosok Aswangga menatap langit yang sama.
Mereka berdua menunduk serentak, masing-masing berdoa dengan kalimat yang sama.
"Ya Tuhan, jagalah mereka yang kutinggalkan.
Jika aku jatuh di jalan ini,
biarlah kehormatanku menjadi pelindung mereka."
Dan di antara awan, semesta mencatat doa itu dengan tinta emas, doa dari dua jiwa yang memilih jalan berbeda, demi keutuhan Tanah Air.