Di istana yang berkilauan, kebohongan adalah mata uang dan darah adalah harga dari kesetiaan. Seorang pelayan setia menyaksikan dosa tak terampuni yang dilakukan sang Permaisuri—dan dibungkam selamanya.
Atau begitulah yang Permaisuri pikirkan.
Langit yang menjadi saksi pilu mengembalikan Takdir si pelyan setia, mengembalikannya dari gerbang kematian, memberinya wajah baru, identitas baru—tubuh seorang selir rendahan yang terlupakan. Dengan jiwa yang terbakar dendam dan ingatan yang tak bisa dihapus, ia harus memainkan peran sebagai wanita lemah, sambil merajut jaring konspirasi paling mematikan yang pernah ada di istana. Tujuannya bukan lagi sekadar bertahan hidup, melainkan merenggut keadilan dari singgasana tertinggi.
Setiap bisikan adalah pertaruhan. Setiap senyuman adalah topeng. Di tengah intrik berdarah antara selir dan para menteri, mampukah ia meruntuhkan kekuasaan sang Permaisuri dari bayang-bayang sebelum identitas aslinya terungkap dan ia mati untuk kedua kalinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Mendekati Sumber
Kembali ke Istana Dingin, Xia merasa seperti seorang jenderal yang baru saja memenangkan pertempuran kecil, tetapi tahu bahwa perang sesungguhnya baru saja dimulai. Ia telah menantang seekor naga, dan kini, panas dari nafas naga itu akan segera menyentuh gerbangnya. Permaisuri Xiu Feng akan bergerak cepat, dan Xia harus lebih cepat lagi.
“Permaisuri menyebut Jenderal Lie dan Selir Ning, sebagai bayangannya yang terkuat,” gumam Xia, berdiri di depan cermin perunggu. Tubuh Selir Xia memang lemah, tetapi mata Xiao Ling di baliknya memancarkan kekuatan dingin yang tak tertandingi. “Ning adalah alat sosial, Lie adalah pedang. Tapi aku butuh sumber. Aku butuh darah dan tulangnya sendiri.”
Dendam Xiao Ling tidak akan pernah tenang sebelum ia mengetahui di mana tubuhnya dimakamkan—atau lebih tepatnya, dibuang. Selama ia masih bisa merasakan sakitnya cambukan dan pengkhianatan Xiu Feng, jiwa Xiao Ling terikat pada Istana ini, menuntut penebusan.
Malam tiba, membawa kelembapan dingin yang khas dari Istana Dingin. Pelayan baru yang direkrut Xia, seorang wanita muda bernama Lihua yang cerdik dan membenci Xiu Feng, sedang merapikan jubah sutra Xia.
“Nyonya,” bisik Lihua, memastikan pintu tertutup rapat. “Ada rumor yang beredar. Tabib Hao terlihat sangat gelisah setelah pertemuan pagi tadi. Mereka bilang Yang Mulia Raja menanyainya tentang urusan istana, khususnya mengenai… racun yang pernah ditemukan di gudang.”
Xia menoleh, matanya berkilat. “Racun di gudang? Racun apa, Lihua?”
“Saya tidak tahu detailnya, Nyonya. Tapi rumor itu disebarkan oleh orang-orang Xiu Feng, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa Xiu Fenglah yang waspada terhadap racun, bukan dia yang menggunakannya. Itu upaya untuk mengalihkan fokus dari diskusi yang terjadi di Aula Keagungan tadi pagi.”
Xia tersenyum dingin. “Permaisuri sudah panik. Dia berusaha mengendalikan narasi. Tapi itu menunjukkan kelemahannya. Dia terlalu takut pada Tabib Hao, jadi membungkamnya, tetapi cukup paranoid untuk mencoba memanipulasi ceritanya.”
“Nyonya, apa rencana Anda selanjutnya?” tanya Lihua, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu dan kesetiaan yang baru lahir. “Permaisuri pasti akan melancarkan serangan besar, mungkin dalam bentuk tes etiket yang memalukan.”
“Dia bisa mencoba. Tapi aku tidak akan menghabiskan waktu dengan permainan anak-anak seperti etiket, Lihua,” jawab Xia, berbalik. “Aku akan mencari harta karun yang lebih berharga: jejakku sendiri.”
Xia memerintahkan Lihua untuk mencari seorang kasim tua yang telah pensiun dan pernah bekerja di Balai Pemakaman Istana. Tugasnya sangat sensitif: mencari tahu tentang pembuangan jasad seorang pelayan tak bernama sekitar tiga bulan lalu, yang mati karena ‘kecelakaan’ dan diserahkan kepada preman di luar gerbang timur.
“Hati-hati, Lihua. Jangan menyebut nama. Jangan bertanya tentang pelayan setia Selir Hong. Cukup tanyakan tentang ‘pembuangan cepat’ yang diurus oleh Kasim Feng di bawah perintah Permaisuri,” instruksi Xia. Ia harus melindungi Lihua; pelayan yang setia adalah sekutu yang langka.
Tak lama setelah Lihua pergi menyelinap, Raja Tien Long tiba di Istana Dingin tanpa pemberitahuan. Itu adalah kunjungan mendadak yang jarang terjadi, bahkan bagi selir yang lebih disukai.
Raja Long memasuki ruangan, melepas jubah luarnya yang berat. Auranya tegang. Ia berjalan ke arah Xia, yang sedang meracik teh herbal dengan ketenangan seorang seniman.
“Xia'er, Kau hari ini terlalu berani di Aula Keagungan,” kata Raja Long, suaranya rendah dan serius. Ia tidak terdengar marah, melainkan tertarik. “Menggunakan kata ‘racun’ dan nama selir Hong di hadapan Permaisuri. Itu bisa dianggap pemberontakan.”
Xia menuangkan teh, aroma melati dan rempah memenuhi udara. Ia menyerahkan cangkir itu kepada Raja Long dengan kedua tangan. lembut menggoda. Tindakan kesetiaan yang indah. “Yang Mulia Raja, hamba bukan berani. Hamba hanya lelah melihat kebenaran terbungkus sutra kebohongan. Jika hamba harus mempertaruhkan hidup hamba untuk membuat Yang Mulia melihat istana ini dengan mata yang jernih, hamba sudah siap.”
Raja Long menyesap teh, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Xia. “Sejak kau bangkit dari penyakitmu, kau tidak lagi seperti Selir Xia yang menyedihkan. Kau adalah permata yang berkilau. Katakan padaku, apa yang kau lihat di ‘lantai istana’ yang tidak kulihat dari singgasanaku?”
Xia duduk di hadapan Raja Long. Ini adalah momen krusial untuk mendekati sumber. Ia harus menggunakan daya tarik yang baru ditemukannya untuk memanipulasi akses informasi.
“Yang Mulia,” bisik Xia, bergerak lebih dekat. Suaranya berubah, sedikit erotis, dipenuhi kesetiaan yang berlebihan. “Hamba melihat bayangan yang melilit Istana. Bayangan itu bermula dari tragedi. Bayangan itu dimulai dengan kematian Selir Hong, dan disusul oleh pembunuhan diam-diam pada orang-orang yang melihat kebenaran.”
Raja Long meletakkan cangkir itu. Ia meraih tangan Xia. Sentuhannya kuat, berkuasa, tetapi kini dipenuhi kebingungan. “Kau berbicara tentang pembunuhan? Siapa yang berani—”
“Pembunuhan pelayan yang setia, Yang Mulia. Mereka yang tahu terlalu banyak, telah dibungkam selamanya,” sela Xia, membiarkan sentuhan Raja Long mengalirkan kekuatannya. “Bayangkan jika ada seorang pelayan yang melihat kejahatan besar, dan kemudian dibungkam, tubuhnya dibuang di tempat yang tidak dikenali, seolah-olah ia tidak pernah ada.”
Raja Long merasakan gelombang kemarahan atas ketidakadilan, kemarahan yang sengaja dipicu oleh Xia. “Tidak ada pelayan yang boleh mati tanpa pemeriksaan. Aturan Istana melarang pembuangan jasad secara rahasia.”
“Aturan selalu dilanggar oleh mereka yang berkuasa, Yang Mulia,” kata Xia, kini memainkan peran sebagai kekasih yang mengkhawatirkan keamanan Raja. Ia meletakkan tangan di dada Raja Long. “Hamba tidak akan menyebut nama. Tapi hamba memohon kepada Yang Mulia untuk melihat catatan Balai Pemakaman. Lihatlah catatan tentang ‘pembuangan cepat’ dalam beberapa bulan terakhir. Jika ada anomali, jika ada nama yang dihapus, maka Anda akan tahu bahwa kebohongan di istana ini mengalir lebih dalam daripada yang kita duga.”
Raja Long, terbuai oleh keberanian Xia dan kecantikannya yang tak terduga, merasa terdorong untuk bertindak. Perasaan bahwa Xia berjuang untuk keadilannya, bukan untuk ambisi, meredakan kecurigaannya.
“Aku akan memerintahkan Kasim Agung Kim, untuk membawa catatan Balai Pemakaman kepadaku. Malam ini juga,” janji Raja Long. “Jika ada satu nama pun yang dibuang secara tidak sah, aku akan menyelidiki sampai ke akar-akarnya.”
“Terima kasih, Yang Mulia,” bisik Xia. Ia tahu bahwa Kasim Agung Kim adalah orang yang sangat berhati-hati, dan memerintahkannya untuk membawa catatan itu adalah cara paling cepat untuk mengakses informasi resmi.
Raja Long mendekat, mencium kening Xia. “Kau adalah misteri yang membuatku tetap terjaga, Xia'er. Jangan biarkan ketajaman ini menghancurkanmu. Janji padaku.”
“Hamba hanya berjanji untuk melayani kebenaran, Yang Mulia,” jawab Xia. Sentuhan Raja Long kini terasa seperti janji kekuasaan. Ini adalah harga yang harus ia bayar: menggunakan daya pikat Selir Xia untuk memajukan dendam Xiao Ling.
Setelah Raja Long pergi, dalam kepuasan malam yang dingin, Raja Long membawa bersamanya perintah untuk Kasim Kim, Xia merasa lega. Pintu untuk mencari keberadaan tubuh aslinya kini terbuka, meskipun hanya sedikit.
Sekitar satu jam kemudian, Lihua kembali, gemetar kedinginan tetapi dengan mata bersemangat. Ia berhasil bertemu dengan kasim tua itu di luar gerbang istana, menyuapnya dengan perak kecil.
“Nyonya, kasim itu berbicara. Dia bilang ada satu jasad yang dibawa pergi sekitar tiga bulan lalu, seorang pelayan muda yang dituduh mencuri,” lapor Lihua, suaranya terengah. “Itu adalah perintah langsung dari Istana Keagungan, diurus oleh pengawal Jenderal Lie, bukan Kasim Feng. Pembayarannya sangat besar dan tidak tercatat dalam buku resmi. Jasad itu dibuang di dekat Kuil Kuno di pinggiran Hutan Gelap.”
Jantung Xia berdebar kencang. Kuil Kuno. Hutan Gelap. Itulah tempat yang sering digunakan preman untuk ‘menghilangkan’ masalah tanpa jejak. Itulah tempat di mana Xiao Ling dilecehkan ramai ramai, direnggut paksa, dibunuh dan ditinggalkan. Laporan ini menguatkan kecurigaannya tentang keterlibatan Jenderal Lie.
“Kasim itu juga mengatakan, Nyonya, bahwa jasad itu dibuang dengan cepat dan kotor, tanpa ritual. Dan jasad itu tidak dikubur, hanya ditinggalkan di lubang dangkal, ditutupi ranting,” tambah Lihua, tampak jijik.
Xia menutup matanya, menahan gelombang emosi. Itu adalah dirinya. Xiao Ling, pelayan yang setia, dibuang seperti sampah. Rasa sakit fisik dan mental dari saat-saat terakhirnya, ketika Xiu Feng memerintahkan kematiannya, kembali menghantuinya.
“Bagus sekali, Lihua. Kau telah memberiku hadiah terpenting,” kata Xia, suaranya tercekat. “Sekarang kita tahu di mana harus mencari. Jenderal Lie. Dia adalah kunci yang menghubungkan Xiu Feng dengan pembunuhanku. Sebelum dia tahu aku bergerak, aku harus menemukan bukti yang menghubungkan pembunuhan itu dengan uang Permaisuri.”gumam Xiao Ling.
Keesokan paginya, saat fajar menyingsing, Xia tidak tidur. Ia telah mendapatkan alamat kuburan Xiao Ling. Dendam itu kini memiliki tujuan yang jelas.
Namun, saat Xia sedang mempelajari peta kasar yang digambar Lihua tentang pinggiran kota, seorang pelayan dari Istana Kehangatan tiba dengan gulungan dekrit: Permaisuri Xiu Feng memerintahkan semua selir untuk berkumpul dalam tiga hari untuk Ujian Etiket Musim Semi. Sebuah tes yang dirancang untuk mempermalukan dan menghancurkan Selir Xia.
Xia tersenyum. Xiu Feng berpikir ia akan sibuk belajar cara membungkuk dan menuang teh. Tetapi Xiu Feng tidak tahu bahwa Xia kini telah menemukan lokasi tulang belulang tubuhnya sendiri, dan rahasia itu jauh lebih kuat daripada ribuan aturan etiket.
‘Kau ingin bermain, Permaisuri? Aku akan memberimu permainan, tetapi aturan permainannya adalah kematian,’ pikir Xia, melipat peta Hutan Gelap dengan hati-hati. Ia akan menggunakan ujian etiket itu sebagai panggung, dan di balik panggung itu, ia akan menggali kuburan lamanya untuk mendapatkan bukti balas dendam yang mutlak.