Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1.
Suara tangis perempuan memecah keheningan malam di sebuah mushola kecil di dalam rumah mewah keluarga Hasto Dewo Broto.
“Hiks... hiks... hiks... hiks..”
Isak tangis Anisa menggema pelan, bersahut dengan suara jam dinding yang berdetak dingin. Air mata membasahi mukenanya yang kini kusut oleh air mata dan keputusasaan.
Dari belakang, seorang perempuan setengah baya baru saja melepas mukenanya, lalu melangkah pelan mendekat.
“Nis, sudah... sudahlah. Iklaskan Hananto pergi,” ucapnya lembut namun tegas. “Dia pantas menerima hukumannya. Jangan lupa, dia telah membunuh Mas Dewa, anak majikan kita yang begitu baik.”
Anisa tak menjawab. Bahunya masih terguncang, napasnya tersendat di sela isak.
Perempuan setengah baya itu, Bu Lastri, kepala pelayan yang sudah dianggap seperti ibu sendiri oleh para pekerja rumah itu, ia lalu duduk di samping Anisa dan mengusap punggungnya pelan.
“Kamu seharusnya bersyukur,” lanjutnya. “Bayangkan kalau jadi menikah dengan Hananto. Luarannya tampak sopan, tapi ternyata... setan berbaju manusia.”
Anisa menunduk. Suaranya bergetar.
“Saya tidak menangisi kepergiannya, Bu... saya menangisi nasib saya sendiri. Mengapa selalu begini? Sejak kecil saya tak punya siapa siapa. Orang tua meninggal tanpa sebab, saudara pun tak ada... dan kini satu satunya orang yang pernah berjanji membahagiakan saya, pergi seperti itu...”
Bu Lastri menghela napas panjang. “Nis, sejak kamu datang dari panti asuhan dulu, aku sudah bilang.. anggap aku ibumu sendiri. Keluarga Hasto juga baik pada kita. Jangan biarkan duka membuatmu lupa pada kasih yang masih tersisa.”
Anisa mencoba tersenyum, meski matanya masih sembab. Ia mengangguk pelan.
Namun saat mereka hendak bangkit meninggalkan mushola, angin tiba-tiba berembus kencang, menghantam pintu hingga berderit keras. Suhu ruangan seketika turun drastis.
“Ya Allah... kenapa tiba-tiba angin seperti ini?” gumam Anisa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Rambutnya yang semula rapi kini beterbangan, terurai menutupi pipinya yang pucat.
Saat itulah... Anisa melihatnya.
Di tengah hembusan angin, berdiri sosok lelaki muda nan gagah, berpakaian kerajaan. Rambutnya putih perak, digelung tinggi, dihiasi mahkota berkilau bagai kristal bulan. Wajahnya tampan tapi aneh, ada aura yang bukan manusia, terutama dari sepasang matanya yang memantulkan cahaya kebiruan dan jambang tipis berwarna putih. Tubuhnya gagah, namun di leher dan lengannya tampak bulu-bulu halus berwarna perak... seperti seekor monyet putih yang menjelma manusia.
“Bu...” suara Anisa bergetar, “siapa... siapa dia?”
Bu Lastri menatap ke arah yang sama, tapi matanya tak menangkap apa-apa. “Mana, Nis? Aku tak melihat siapa pun. Hanya angin.” Ia memeluk dirinya sendiri, bulu kuduknya mulai berdiri. “Jangan jangan... kamu melihat arwah Hananto?”
Anisa menggeleng cepat. “Bukan... bukan Mas Hananto. Tapi... tapi...”
Sebelum kalimatnya selesai, sosok itu lenyap. Seperti ditiup angin.
“Dia... sudah hilang,” bisik Anisa, menatap kosong ke arah pintu yang masih berayun perlahan.
Keduanya saling pandang, lalu buru buru keluar dari mushola. Ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan bukan hanya karena angin, tapi karena mereka berdua tahu...
di rumah itu, ada sesuatu yang sedang bangkit.
Sambil berjalan tergesa, Bu Lastri berbisik lirih, “Semoga bukan seperti dulu... semoga bukan Pangeran Jin itu lagi. Fatima saja sudah dua kali nyaris celaka karenanya.”
Namun tanpa mereka sadari, di atas pohon mangga besar di halaman, dua pasang mata memperhatikan mereka.
Sosok berambut panjang hitam legam bersembunyi di antara dedaunan. Di sampingnya, makhluk dengan bulu putih keperakan duduk tenang, wajahnya menatap ke arah Anisa yang menjauh.
Dari bibirnya, terdengar suara rendah yang menggema di telinga malam:
“Waktu sudah tiba... darah keturunan Dewo Broto akan kembali dipanggil.”
🚞🚞🚞
Sementara itu masih di rumah mewah itu di salah satu kamar, kamar Sang pengantin baru yang tidak lain adalah pasangan Ndaru dan Fatima..
“Mas, sudah lega ya Andien sudah pulang selamat. Hananto juga sudah mendapat hukuman setimpal.” Ucap Fatima yang telah berbaring di atas tempat tidur bersama Ndaru suaminya.
“Iya Sayang.. aku dengar dengar orang tua Andien memberi lampu hijau pada Pungki. Sungguh sungguh tidak aku kira Pungki bisa menyelamatkan Andien dan mengobati orang sakit. Sakit Mas Syahrul yang mengobati Pungki. Rico dikutuk jadi monyet yang bisa mengembalikan wujud aslinya juga Pungki.. Hmmm benar benar tidak menyangka..” ucap Ndaru
“Iya Mas, tapi usaha dia juga hebat kok puasa dan berbuka dengan makan kunyit.. “ ucap Fatima sambil memiringkan tubuhnya kini menghadap pada tubuh suaminya..
“Moga moga Andien berjodoh lah sama Mas Pungki macam kita...” ucap Fatima selanjutnya.. Ndaru pun juga memiringkan tubuhnya menghadap wajah cantik istrinya..
“Iya Sayang.. semoga mereka juga bahagia macam kita..” ucap Ndaru sambil memencet hidung mancung Fatima..
“Sakit Mas...” ucap Fatima sambil mengusap usap hidung yang baru saja dipencet oleh Ndaru..
“He... he... he... maaf.. sini aku obati.” suara Ndaru ber nada lembut sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Fatima.. dengan lembut dia kecup ujung hidung mancung Fatima, kecupan nya pun akhir nya menurun pada bibir manis Fatima.. Dan kecupan itu berlanjut pada ciuman yang semakin menuntut.... tidak menunggu lama pasangan pengantin baru itu pun telah bergulat memadu kasih cinta dan asmara...
Akan tetapi beberapa menit kemudian.. keduanya berteriak dengan sangat keras..
“Aaaaaaaaa....” teriak keduanya dan cepat cepat saling melepaskan diri.. teriakan keduanya bukan teriakan kenikmatan tetapi teriakan kesakitan..
“Mas kenapa sakit sekali.” Ucap Fatima sambil memegang bagian tubuh intinya.
“Iya Sayang aku juga merasa sakit sekali.” Ucap Ndaru sambil memegang juga bagian tubuh vitalnya. Yang terasa sangat sakit dan panas..
Dan betapa kagetnya Ndaru saat melihat burungnya memerah dan bengkak..
“Hah? Kenapa burungku bisa seperti ini?” teriak Ndaru dengan panik..
“Mas, ini ku juga sakit sekali hu....hu.....hu.....” ucap Fatima sambil menangis tersedu sedu dan mengusap usap tubuh bagian intinya untuk mengurangi rasa sakit.
Di saat keduanya masih kesakitan terdengar pintu kamar diketuk ketuk dengan sangat keras..
TOK
TOK
TOK
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣