Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Kehilangan Hania
Sebelum terhempas ke tanah merah tubuh Hania sudah ditangkap oleh seseorang. Pria berambut gondrong dan ikal bergelombang itu mengangkat tubuh ringan Hania lalu ia bawa ke mobil mewah miliknya. Kondisi pemakaman hari itu dipenuhi kesedihan yang mendalam, pak Darmono tiba-tiba pingsan, Jordan tidak berhenti menangis, dua orang sahabat yang paling dekat dengan Danisha juga mengalami hal yang sama, kesurupan lalu tidak sadarkan diri.
Perhatian Sabil dan Wina tersita oleh kesehatan pak Darmono, bude Sunti sibuk menenangkan Jordan yang tidak berhenti menangis, hingga tidak ada yang tahu Hania jatuh pingsan dan ditolong laki-laki asing. Kerabat Darmono juga tidak ada yang mengenal Hania. Ketika tubuh Hania limbung lalu dibawa oleh pria itu, mereka hanya menatap iba tanpa tergerak untuk membantu.
Mobil mewah itu meluncur keluar dari area pemakaman. Pria itu meletakkan kepala hania di atas pahanya. Ia menatap lekat wajah yang pucat pasi itu begitu lama, seakan mengingat sesuatu. Tiba-tiba bibirnya tersenyum.
"Akhirnya kita dipertemukan lagi, Nona kamar sembilan. Tuhan tahu aku mencari mu, dan kini ia mempertemukan kita."
Mobil itu masuk ke sebuah rumah mewah dengan pagar kokoh tinggi menjulang, penjagaan begitu ketat dan berlapis. Mobil terhenti di depan lobi rumah mewah itu dengan pelan dan hati-hati. Tidak berapa lama pria itu keluar sambil menggendong Hania. Ia menaiki anak tangga dengan langkah mantab, tidak merasakan berat atau mengeluarkan ekspresi meringis, seolah tubuh gadis itu sebuah manekin yang sangat ringan.
"Tidurlah di sini, kamu akan aman bersamaku." Tubuh Hania diletakkan dengan hati-hati.
...***...
Area pemakaman itu telah sepi dari pelayat. Hanya ada beberapa orang penjaga makam yang masih merapihkan tanah dan melepas tenda. Tiba-tiba tanah bergetar, dari getaran halus hingga mengguncang seperti gempa. Penjaga makam lari kocar kacir karena mereka menganggap gempa sedang terjadi.
Terdengar retakan dari dalam tanah begitu nyaring memecah keheningan makam yang perlahan gelap. Malam mulai turun menutupi sebagian area dengan langit gelap, sebagiannya lagi langit masih berwarna jingga tua bercampur kelabu. Di atas makam Danisha, perlahan asap keluar dari balik gundukan tanah yang masih basah dan tertutup bunga tujuh rupa. Asap itu semakin membumbung tinggi.
Setelah azan maghrib selesai, makhluk menyeramkan tadi datang tidak sendiri, ia bersama beberapa makhluk lain yang sama menyeramkan. Mereka menggali tanah makam dengan tangannya yang panjang dan kuku runcing hingga jasad Danisha terbuka. Mereka berpesta, menyantap jenazah baru itu dengan lahap seperti jamuan makan malam yang sudah lama dinantikan.
Di kediaman rumah Darmono,
Sabil dan Wina baru selesai memasangkan infus dan alat kesehatan lain di tubuh papa angkatnya. Ia menarik selimut, lalu menyelimuti tubuh Darmono hingga ke pinggang. Ia dan Wina keluar kamar setelah memberi instruksi pada perawat yang ia tugaskan berjaga di dalam kamar Darmono.
"Aku sholat dulu, Win. Kalau kamu mau pulang, tolong temui Hania dulu barangkali dia butuh teman ngobrol. Aku khawatir dia bingung dan canggung ada di lingkungan baru," pinta Sabil
"Di mana dia, sejak pulang dari pemakaman tadi aku belum melihatnya." Wina mengedarkan pandangan pada tamu-tamu yang masih ada di kediaman Darmono.
Kening Sabil mengernyit setelah menyapu ruangan yang di penuhi tamu, ia juga baru menyadari belum melihat gadisnya sejak pulang dari pemakaman tadi.
"Mungkin di kamar Jordan. Kamu bisa naik ke lantai dua, dari ujung tangga belok kiri," suaranya terdengar ragu.
Akan tetapi panggilan azan untuk sholat harus ia tunaikan lebih dulu, baru mencari keberadaan Hania. Di ruang keluarga yang luas, para kerabatnya sudah menunggu Sabil untuk melakukan sholat maghrib berjamaah. Setelah itu mereka akan mengadakan pengajian untuk mendoakan almarhumah.
Selama menunaikan sholat hatinya diliputi perasaan gelisah yang tiba-tiba menerjang dadanya karena keberadaan Hania. Sholat yang hanya tiga rakaat terasa begitu lama ia tunaikan. Tiap detik yang berdetak terasa lambat bergerak. Hingga salam terakhir, ia belum bisa tenang.
Wina berdiri di samping dinding penghubung ruang makan dengan ruang keluarga, ia menunggu Sabil melihat ke arahnya. Tatapan mereka bertemu, Sabil bertanya tanpa suara, hanya gerakan bibir dengan wajah cemas.
"Kamu sudah menemuinya?" gelengan kepala Wina membuat jantungnya seakan mencelos turun ke perut.
Ia langsung bangkit dari duduknya, lalu berpamitan pada pak ustadz untuk mengurus sesuatu. Ia segera menghampiri Wina, wajahnya serius, ketegangan menggantung di wajahnya.
"Ngga ada gimana? Kamu sudah mencarinya?" tanyanya sedikit kasar dan suaranya seolah tercekat.
"Dia tidak ada di mana pun, Bil. Kemana dia ya, bude juga tidak melihatnya saat pulang dari makam."
Seperti kebakaran jenggot Sabil berlari kesana kemari untuk mencari Hania, ia tidak bisa mempercayai begitu saja ucapan Wina, ia harus membuktikan sendiri.
"Sabil, tamu mulai berdatangan untuk pengajian, kamu harus menyambut mereka." seorang kerabat dari Darmono mengingatkan.
"Mulai saja tanpaku!" bentaknya, wajahnya semakin panik setelah semua ruangan ia periksa tidak didapati keberadaan Hania.
"Sabil, di sini kamu tuan rumah dan suami Danisha. Biar kami yang mencarinya," tegur bude dengan suara tegas penuh otoritas.
"Bude, tapi—"
"Danisha baru saja dikubur, kamu sudah kalang kabut kehilangan perempuan lain, apa kata orang nanti, bagaimana jika Darmono mendengar ini dari orang lain. Pikirkan semua itu," bisik bude dengan suara tegas penuh penekanan sambil meremas lengan Sabil untuk tidak pergi.
Kedua tangan Sabil mengepal di sisi tubuhnya, semua yang bude katakan benar. Tapi bukan sesuatu yang seharusnya dia pilih. Seharusnya dia mencari Hania, gadis itu pasti ketakutan di dunia luar yang sudah lama tidak pernah disentuh dan menyentuhnya.
Hania seperti anak ayam yang kehilangan induknya, karena selama ini hidup Hania hanya di sekitar rumah sakit gangguan mental dan rumah yang selalu dijaga mang Ebot. Dia tidak pernah keluar rumah untuk bermain dengan teman atau sekedar bertetangga. Saat tinggal di rumah Sabil, tempat yang ia kunjungi hanya taman komplek, pasar modern di wilayah Padjajaran, selebihnya dia menghabiskan waktu di dalam rumah.
Bude Sunti menuntut pelan tubuh Sabil agar menemui para tamu yang bertakziah dan ingin mengikuti acara pengajian. Lalu ia menghubungi seseorang untuk membantu pencarian Hania.
"Halo," jawab di seberang sana.
"Arif, aku butuh bantuanmu. Gadis yang pernah kamu temui di rumah, hari ini menghilang setelah pemakaman. Putramu kalang kabut mencarinya di saat dia harus menjadi tuan rumah menggantikan Darmono. Aku sangat berharap padamu," pinta bude
"Gadis berkerudung yang sedang dekat dengan putraku ?"
"Iya Rif... kurasa gadis itu tersesat saat pulang dari makam."
"Selama tinggal bersamamu, dia pernah pergi kemana saja, barangkali ia akan mengunjungi tempat atau daerah situ."
"Kurasa dia tidak akan jauh dari wilayah makam, karena ia tidak membawa uang sepeser pun dan alat komunikasi."
"Baiklah, aku akan kerahkan anak buahku untuk mencarinya. Kalau ada foto gadis itu, sangat membantu untuk menyebarkan informasi di wilayah lain."
"Aku akan kirim kan fotonya."
Sabil duduk dengan gelisah di antara para tamu, tangannya masih saja mengepal kuat, sesekali memukul pahanya dengan wajah kesal dan penuh penyesalan. Ia menyesal mengapa ia lalai menjaga Hania, bayangan buruk menghantuinya tidak kenal ampun walaupun berusaha ia halau pikiran jelek yang berkelebat di benaknya. Ia tidak bisa tenang sebelum melihat gadisnya dalam keadaan baik-baik saja.
Acara pengajian yang hanya berlangsung setengah jam, bagaikan terasa selamanya. Ketika kata 'Amin' terakhir dan salam penutup dari pak ustadz, Sabil langsung bangkit dan bergegas mengambil kunci mobilnya.
Di depan gerbang, mobilnya nyaris bertabrakan dengan mobil mewah yang akan masuk ke halaman rumahnya. Sabil memukul setir dengan kesal, menekan klakson dengan kuat agar mobil itu menyingkir dari depannya.
Akan tetapi saat penumpang mobil itu membuka kaca jendela yang gelap, Sabil terpaku lalu melepas tangannya dari klakson mobil. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu menepikan kendaraannya di sisi jalan keluar dari rumahnya.
Sabil keluar dari mobil, begitu juga penumpang mobil itu keluar setelah di bukakan oleh ajudannya. Seorang pria tampan berambut gondrong ikal bergelombang berjalan menghampiri Sabil.
"Raditya!" panggil Sabil membuka kedua lengannya.
Raditya menyambut pelukan Sabil. "Maafkan aku sobat, aku terlambat datang. Tadi aku sudah hadir di pemakaman, tapi ada sebuah insiden yang harus aku urus. Aku turut berduka cita atas meninggalnya istrimu."
"Terima kasih Radit, tapi aku sedang terburu-buru, aku harus menyelesaikan masalahku dulu baru kita bicara banyak setelah aku menemukannya."
"Masalah apa? Boleh aku bantu?" tanya Raditya penuh empati.
"Terima kasih sebelumnya, saat ini biar aku tangani sendiri. Mohon maaf bukan bermaksud tidak sopan, Dit. Aku sedang ada urusan penting sekali, lain waktu aku akan luangkan waktu untukmu," pamitnya sambil menepuk bahu Raditya.
"Sebenarnya aku juga masih ada urusan, ada yang sedang menungguku di rumah. Kalau begitu aku juga harus pamit. Kuharap masalahmu cepat selesai tanpa kendala apapun."
"Terima kasih... " Sabil melambaikan tangan ke arah Raditya lalu bergegas memacu kendaraannya membelah jalan.
Sebelum masuk kendaraan Raditya menerima panggilan dari anak buahnya.
"Bagiamana keadaannya, apa gadis itu sudah sadar? Siapa namanya"
"Dia sudah sadar Tuan, tapi terus menangis dan ketakutan saat kami dekati."
"Baik aku akan kembali ke rumah. Beri dia minum," jawabnya.