Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Setelah operasi, beberapa jam kemudian Sania sadar.
Efek anestesi perlahan menghilang, namun ia tidak langsung bangun seperti orang normal. Bima ada di sampingnya, memegang tangannya dengan tegang, menunggu.
Sania membuka matanya perlahan. Pandangannya tidak fokus, mata indahnya kini hanya memiliki tatapan kosong yang memilukan, seperti jendela jiwa yang tertutup rapat.
Bima segera membungkuk. "Sania? Kamu dengar aku?"
Sania tidak menunjukkan respons. Ia hanya terbaring di ranjang, matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Sania hanya diam, terperangkap dalam kondisi katatonik, tubuhnya yang lemah menolak untuk bereaksi.
Bima merasakan kepedihan yang menusuk. Ia tahu Sania telah kehilangan kesadaran akan realitasnya.
Bima mendekatkan wajahnya. Dengan lembut, Bima mencium kening istrinya yang berkeringat.
"Sayang," bisik Bima, berusaha menyampaikan kabar gembira yang ia harapkan bisa menembus dinding pertahanan mental Sania.
"Anak kita sudah lahir. Seorang putra. Dia aman, San. Dia selamat. Dia kuat."
Bima menunggu respons, walau sekadar kedipan mata.
Ia menunggu pengakuan dari mata Sania, kelegaan atas kabar bahwa bayinya selamat.
Namun, yang ia dapatkan hanyalah keheningan yang menyakitkan.
Sania hanya melihat, tidak bereaksi, tidak ada emosi, tidak ada tanda-tanda pemahaman. Sania hanya diam, terbungkus dalam selimut trauma yang tebal.
Bima menarik napas berat. Ia tahu perjalanan untuk memulihkan Sania jauh lebih panjang dan sulit daripada perjalanan untuk menyelamatkannya.
Bima menghela napas, melepaskan tangan Sania dengan berat hati, dan berjalan ke sudut ruangan, tempat inkubator berdiri. Ia harus membagi perhatian antara istri dan putranya.
Dengan hati-hati, Bima kembali memeriksa putra mereka.
Ia melihat wajah mungil bayi itu, yang kini tampak tidur dengan tenang.
Namun, Bima tahu bahaya belum berlalu. Ia meraih laptop medis di dekatnya dan menyambungkannya ke sensor inkubator.
Putra mereka terkena efek racun Salvatore, obat-obatan dosis tinggi dan substansi beracun yang sengaja diberikan untuk membahayakan janin.
Bima memeriksa hasil tes darah terbaru, menganalisis fungsi hati dan ginjal bayi yang masih sangat rentan.
"Tingkat racunnya sudah mulai turun, Pa, tapi lambat," jelas Bima kepada Papa Erwin yang juga memantau.
"Organ-organnya masih berjuang. Kita harus terus memberinya cairan dan penangkal racun yang aku racik. Jika ada komplikasi, kita tidak punya peralatan untuk itu."
Bima mengusap lembut kaca inkubator. Anak mereka masih sangat lemah, namun setiap detak jantung kecil adalah bukti perlawanan melawan kekejaman Salvatore.
"Aku akan menjaganya, Nak. Kalian berdua akan selamat," bisik Bima, janji itu bukan hanya untuk putranya, tetapi juga untuk dirinya sendiri, sumber kekuatan terakhirnya untuk bertahan.
Bima menganggukkan kepalanya pada Papa Erwin, mengukir janji untuk terus memantau putranya.
Ia kemudian bangkit dan kembali duduk di samping tempat tidur istrinya.
Ia meraih tangan Sania lagi, kehangatan tubuh Sania sedikit menenangkan Bima.
Bima hanya duduk di sana, membiarkan keheningan berbicara, berharap sentuhannya dapat menembus dinding kosong yang menyelimuti pikiran Sania.
Setelah beberapa lama, Sania yang tadinya diam, tiba-tiba menggerakkan bibirnya.
Matanya masih tampak kosong, tetapi ada perubahan samar di wajahnya.
Dengan suara yang sangat lemah, nyaris tak terdengar, Sania bergumam.
"Bima..."
Bima langsung mendekatkan telinganya. "Ya, Sayang. Aku di sini. Aku suamimu."
Sania mengulanginya lagi, seperti rekaman yang rusak, satu-satunya kata yang tersisa dari ingatannya yang hancur.
"Bima... bima..."
Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Sania. Kata itu adalah sisa dari cinta, trauma, dan permohonan terakhirnya. Kata itu adalah peninggalan terakhir dari dirinya yang lama.
Mendengar namanya disebut,.meski tanpa kesadaran penuh adalah penghiburan kecil bagi Bima.
Ia mencium punggung tangan Sania, air mata menggenang di matanya.
"Aku di sini, Sayang. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi," janji Bima.
"Kita akan sembuh. Kita akan kembali. Bersama putra kita."
Bima tahu bahwa terapi sentuhan dan kata-kata saja tidak cukup untuk menembus dinding trauma Sania.
Ia harus mencoba memicu ingatan Sania dengan kejutan visual yang kuat.
Bima mengambil ponselnya yang berisi data-data rahasia mereka, termasuk dokumentasi medis dan foto-foto pribadi. Ia membuka galeri, mencari beberapa file kunci.
Pertama, Bima mendekatkan ponsel ke wajah Sania dan menampilkan beberapa gambar berurutan foto Sania sebelum operasi, diagram bedah, dan foto wajah barunya wajah yang mereka sebut Madeleine.
Ia menunjukkan saat ia mengoperasi wajah Sania, mengubahnya menjadi Madeleine, sebagai bagian dari pelarian mereka dulu.
"Kamu ingat ini, Sayang? Kita melakukan ini agar kita aman. Agar Salvatore tidak bisa menemukanmu," bisik Bima.
"Kamu bukan hanya Sania. Kamu juga Madeleine. Ingat?"
Sania menatap gambar itu, matanya yang kosong tidak menunjukkan reaksi. Hanya nama "Bima" yang masih samar-samar ia ucapkan.
Bima beralih ke file berikutnya, yang jauh lebih penting.
Bima juga menunjuk foto pernikahan yang sah dan bahagia, jauh sebelum pernikahan palsu yang dipaksakan Salvatore.
Di foto itu, Bima dan Sania tersenyum lebar, bersumpah sehidup semati.
"Lihat ini, Sayang. Ini kita. Kau dan aku. Kita menikah karena kita saling mencintai. Bukan dipaksa," kata Bima, suaranya dipenuhi emosi.
Ia berharap Sania ingat akan momen kebahagiaan itu, bahwa ingatan akan cinta mereka akan lebih kuat daripada trauma yang ditanamkan Salvatore.
Sania menatap foto itu. Matanya berkedip, seolah ada percikan kecil yang terjadi di kedalaman pikirannya. Ia menatap Bima.
"Bima..." Sania mengulang nama itu, namun kini dengan sedikit jeda.
Matanya tampak sedikit lebih fokus, seolah berjuang untuk mengenali wajah di depannya dengan wajah yang ada di foto.
Namun, percikan itu padam. Kebingungan dan ketakutan kembali mengambil alih. Sania kembali tenang, tetapi tatapannya kembali hampa.
Bima menghela napas, menyadari bahwa perjalanan mereka masih sangat panjang.
Bima menyadari bahwa terlalu banyak stimulasi justru akan memperparah kondisi Sania. Ia harus memberinya waktu untuk menyembuhkan diri.
Bima mematikan ponselnya, mengusap lembut kepala Sania.
Bima meminta Sania untuk kembali istirahat.
"Tidurlah, Sayang. Jangan khawatir. Kami ada di sini. Saat kau bangun nanti, kita akan bicara lagi."
Sania hanya memejamkan matanya, mematuhi perintah itu dalam kondisi setengah sadarnya.
Kelelahan dari operasi dan trauma membuat tidur terasa seperti pelarian yang disambut baik.
Bima memastikan Sania tertutup selimut dengan baik, kemudian ia menarik kursi ke tengah ruangan.
Bima duduk di antara ranjang Sania dan inkubator putranya.
Ia memandang ke kiri, tempat istrinya terbaring tak berdaya, wajahnya pucat dan diselimuti kegelapan psikologis.
Kemudian ia memandang ke kanan, ke inkubator, tempat putra kecilnya berjuang melawan racun dan efek obat-obatan, setiap napasnya adalah perlawanan.
Ia melihat istrinya dan puteranya yang sama-sama berjuang untuk hidup, untuk sembuh, untuk kembali dari batas kematian yang dipaksakan oleh kekejaman Salvatore.
Perasaan Bima campur aduk antara kesedihan, cinta, dan kemarahan.
Sania berjuang melawan trauma dan amnesia untuk mengingat cintanya, sementara putra mereka berjuang melawan racun untuk bertahan hidup.
Bima mengepalkan tangannya. Ia tahu, ia tidak bisa membiarkan pengorbanan mereka sia-sia.
Demi mereka berdua, Bima harus memulihkan kekuatan penuhnya dan memastikan Salvatore membayar tuntas atas semua penderitaan ini. Ini adalah motif terkuat Bima.