NovelToon NovelToon
Black Division

Black Division

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Sistem / Mafia
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di tengah kekacauan ini, muncullah Black Division—bukan pahlawan, melainkan badai yang harus disaksikan dunia. Dipimpin oleh Adharma, si Hantu Tengkorak yang memegang prinsip 'hukum mati', tim ini adalah kumpulan anti-hero, anti-villain, dan mutan terbuang yang menolak dogma moral.
​Ada Harlottica, si Dewi Pelacur berkulit kristal yang menggunakan traumanya dan daya tarik mematikan untuk menjerat pemangsa; Gunslingers, cyborg dengan senjata hidup yang menjalankan penebusan dosa berdarah; The Chemist, yang mengubah dendam menjadi racun mematikan; Symphony Reaper, konduktor yang meracik keadilan dari dentuman sonik yang menghancurkan jiwa; dan Torque Queen, ratu montir yang mengubah rongsokan menjadi mesin kematian massal.
​Misi mereka sederhana: menghancurkan sistem.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Korban Untuk Kemenangan

Di ruang operasi, ketegangan terasa begitu pekat hingga bisa dipotong. Layar besar menunjukkan tiga titik—Gunslingers (Edy) dan Torque Queen (Melly) bersama kontainer Rhausfeld melesat ke utara menuju Laut Merah; titik Adharma sendirian, kini menjadi titik anchor di tengah gurun; dan titik Harlottica (Tika) menyeret dua titik statis Yama dan Nadira menuju barat.

​Faizah, sang analis strategi, bersuara, nadanya kini lebih mendesak. "Edy, Melly, perhatikan! Kapal DARMASAKTI sudah memasuki zona pelabuhan Laut Merah. Jarak kalian 15 menit. Tingkatkan kecepatan Jet Pack! Kita butuh jarak maksimal dari MIA!"

​"Dipahami!" sahut Gunslingers dari headset-nya, Jet Pack-nya meraung liar saat ia memaksa dorongan mesin hingga batas maksimum. Kargo besar itu kini terbang di atas permukaan gurun dengan kecepatan yang menakutkan.

​Puja Fernando menutup matanya, kemudian membukanya, menatap lurus ke layar yang menampilkan siluet Adharma. "Kepada semua unit," suaranya kembali dingin, seperti perintah yang dipahat dari es. "Ingat janji yang kalian buat. Jangan ada yang kembali. Gelang Torque Cuff itu akan aktif jika ada yang mengkhianati misi. Kontainer itu harus tiba. Dua nyawa sudah hampir dikorbankan, jangan sia-siakan pengorbanan itu."

​Edy dan Melly mengangguk, tanpa perlu bertukar pandang. Mereka paham. Gelang baja yang melingkari pergelangan tangan mereka adalah janji mati.

​Di sisi lain, Adharma telah membuang senapan plasma GATRA-nya, yang kehabisan daya setelah tembakan terakhirnya. Ia hanya berfokus pada duel fisik satu lawan satu dengan Kaiser Jatindra (MIA). Pertarungan mereka adalah benturan antara baja dan tekad baja.

​Kaiser bergerak dengan presisi militer yang sempurna, setiap ayunan pisau tempurnya adalah serangan fatal yang dihitung secara matematis. Adharma, sebaliknya, bertarung dengan amarah yang dingin dan naluri predator yang memanfaatkan kemampuan regenerasinya yang luar biasa.

​CLANG! KREKK!

​Cerulit Adharma berhasil menahan tebasan pisau Kaiser, tetapi benturan serat karbon melawan baja tempa itu mengirimkan gelombang kejut yang membuat tulang lengan Darma bergetar hebat. Darma segera mundur.

​"Kau berdarah," ujar Kaiser, suaranya tenang, robotik, namun di dalamnya tersimpan kepuasan. Ia menunjuk ke bahu Darma, tempat pisau tempurnya baru saja mengiris dangkal. Luka itu sudah mulai menutup, tetapi darah hitam kental sempat merembes keluar.

​"Hanya keringat," balas Adharma, nafasnya terengah.

​Edy dan Melly melesat di langit yang kini mulai diselimuti fajar samar. Di bawah mereka, gurun pasir tampak seperti lautan gelap yang terbentang tanpa akhir.

​"Kau dengar itu, Melly?" tanya Edy, suaranya dipenuhi rasa bersalah sekaligus kepercayaan. "Puja... dia tidak punya hati."

​Melly, yang berkonsentrasi penuh mengendalikan Jet Pack, hanya bisa berbisik, "Kita prajurit, Edy. Dia jenderal kita. Kita hanya bisa percaya pada Darma sekarang."

​"Aku percaya," Edy menegaskan. "Aku mengenal Darma lebih lama daripada siapa pun di tim ini. Sejak kami di Sentral Raya. Dia dijuluki Hantu Tengkorak, kau tahu? Tapi yang lebih penting, dia adalah orang yang mengalahkan The Orphan King—salah satu super-villain paling gila, yang bergerak di balik bayangan dan membangun kultus aneh itu.Dia menghancurkannya sendiri."

​"Lalu kenapa dia terlihat begitu ingin mati sekarang?" tanya Melly, suaranya tercekat.

​Edy diam sejenak. "Karena dia kehilangan keluarganya. Dia ingin mati, tapi dia juga sangat ingin kembali menjadi pahlawan. Dia percaya pengorbanan ini adalah jalan tercepat untuk menyeimbangkan balance sheet dosa-dosanya. Tapi dia tidak akan mati semudah itu. Kekuatan regenerasinya itu... itu adalah kutukan terhebatnya. Dia harus hidup, Melly. Dan jika dia pulang..."

​Melly merasakan air matanya mengering karena angin kecepatan tinggi. "Jika dia pulang, aku akan merancang exoskeleton baru untuknya. Aku akan membuatnya tak bisa dilukai oleh baja atau pisau sialan itu lagi. Aku janji."

​Tiba-tiba, dari kejauhan, laut terlihat—garis biru yang menjanjikan keselamatan.

Sementara Edy dan Melly mendekati batas akhir mereka, Harlottica akhirnya mencapai titik evakuasi yang sudah disiapkan Faizah. Sebuah pesawat stealth transport milik DARMASAKTI sudah menunggu, rampanya terbuka lebar.

​Tika segera berteriak kepada petugas medis yang berlarian menyambut mereka. "CEPAT! Yama patah tulang rusuk! Nadira internal bleeding! Mereka butuh pertolongan intensif sekarang!" Tika terdengar seperti komandan perang yang sedang menghadapi kegilaan.

​Petugas medis yang terlatih segera membawa The Chemist dan Symphony Reaper masuk ke dalam pesawat. Yama dan Nadira, meski kesakitan, saling berpegangan tangan.

​"Terima kasih, Tika," bisik Yama, sebelum ia kehilangan kesadaran.

​Tika hanya mengangguk, lalu berbalik, menatap ke arah gurun yang gelap, tempat Adharma kini berjuang sendirian.

​Dengan langkah gontai, Tika masuk ke dalam pesawat. Ia tidak mempedulikan kursi atau tempat tidur. Ia menyandarkan tubuhnya yang babak belur ke dinding pesawat. Rasa sakit fisik di tubuhnya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit kehilangan. Di dalam hatinya yang dipenuhi kristal, ia berbisik dengan keyakinan penuh: Kau sudah janji, Darma. Kau akan kembali.

​Kembali ke medan duel, Adharma dan Kaiser bertukar pukulan dan tebasan dengan intensitas yang tidak manusiawi.

​CRUNCH! SLASH! ZING!

​Pisau Kaiser berulang kali mengenai tubuh Darma, mengiris kulit dan otot. Darma merasakan sensasi rasa sakit yang tajam sebelum sensasi panas regenerasi mengambil alih. Tetapi setiap regenerasi membutuhkan energi, dan energinya menipis.

​Kaiser, yang menyadari kemampuan regenerasi Adharma, mundur sejenak, menatap musuhnya dengan tatapan aneh—campuran rasa hormat dan kesedihan.

​"Kita sama," ujar Kaiser, suaranya yang robotik mengandung resonansi emosional. "Pengalaman ini... kau tahu rasanya berjuang sendirian. Melawan dunia yang tidak adil. Tapi ada satu hal yang membedakan kita."

​Adharma hanya mendengarkan, cerulitnya siaga.

​Kaiser melanjutkan, "Lima tahun lalu. Perang India-Pakistan. Aku adalah komandan pasukan peacekeeper terbaik Indonesia. Misi kami adalah menghentikan pertumpahan darah di perbatasan. Tapi Pemerintah—para politisi busuk itu—menjual data kami. Kami dijebak. Anak buahku... mereka gugur semua, mati di depan mataku. Tinggal aku sendiri. Aku berjuang kembali, tapi Pemerintah tidak pernah mencariku. Tidak ada evakuasi. Tidak ada penghormatan. Tidak ada yang datang menjemput mayat-mayat itu. Aku merasa, aku dan anak buahku... hanya alat. Alat yang habis pakai."

​Kaiser Jatindra, MIA, menghela napas yang menyakitkan. "GATRA menemukanku, Darma. Mereka memberiku tujuan, dan mereka memberiku armor ini. Mereka menghargaiku. Di GATRA, aku bukan alat. Aku adalah senjata."

​Adharma mengerti. Ia mengerti rasa kehilangan dan pengkhianatan itu. Ia juga pernah kehilangan keluarganya karena permainan politik kotor. Rasa sakit itu sama, hanya jalan yang mereka pilih yang berbeda.

​"Aku tahu rasanya, Kaiser," balas Adharma, suaranya rendah dan jujur. "Tapi kau salah. GATRA tidak menghargaimu. Mereka hanya memanfaatkan amarahmu. Kau adalah manusia. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik."

​Kaiser hanya menggeleng. "Terlambat. Kami adalah senjata sekarang."

​Pertarungan kembali memanas. Darma menyadari ia tidak bisa terus menerus mengandalkan regenerasinya. Luka-lukanya terlalu banyak, dan ia merasakan sarafnya mulai berkedut—tanda ia telah melampaui batas.

​Ia harus mengubah strategi. Dari pertarungan senjata ke pertarungan jiwa.

​Dengan keputusan yang tegas, Adharma menjatuhkan kedua cerulitnya ke pasir. CLANG! CLANG!

​Ia kemudian melepaskan Trench Coat hitam ikoniknya, membiarkannya jatuh ke tanah. Ia melepaskan harness taktis, menyisakan tubuhnya yang berotot, penuh bekas luka, dan kini berlumuran darah yang mulai mengering. Terakhir, ia melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan: ia melepas topeng tengkoraknya.

​Wajah Guntur Darma yang asli, penuh luka batin, kini terpampang di bawah cahaya fajar. Matanya tajam, penuh tekad, dan sangat manusiawi.

​"Senjata tidak bisa mengalahkan manusia, Kaiser," ujar Darma. "Aku tidak akan bertarung sebagai Adharma lagi. Aku akan bertarung sebagai Guntur Darma. Mari kita selesaikan ini dengan cara yang paling terhormat. Silat vs. Serat Karbon."

​Kaiser Jatindra terdiam sejenak. Ia melihat mata Darma, lalu melihat seluruh tubuh Darma yang tanpa perlindungan. Senyum tipis, entah itu kekaguman atau kegembiraan mematikan, terbentuk di wajahnya.

​"Baik," balas Kaiser. "Aku terima, Guntur Darma."

​Jauh, jauh dari gurun yang berdarah itu, di markas rahasia The Vault di bawah Gedung Konservasi Jakarta, suasana terlihat kontras. Tenang, berteknologi tinggi, dan berbau kopi.

​Dira (Closer Cipher), yang ceria, tiba-tiba terlihat tegang di depan monitornya. Di sampingnya, Rendra Bagaskara (Wali Kota) yang sedang berada di sana untuk briefing rahasia, menatap layar dengan mata terbelalak.

​"Taqi, Dira melaporkan," kata Dira, menunjuk ke layar. "Ada aktivitas pertempuran intensitas tinggi di perbatasan Irak dan Suriah. Sabotase kargo GATRA. Dan... kargo itu berhasil dicuri. Analisis thermal kami mengonfirmasi pelakunya: Black Division Six."

​Rendra Bagaskara mencondongkan tubuh ke depan, melihat rekaman yang berhasil diretas Dira. Ia melihat siluet kargo besar yang terbang menjauh. "Mereka... mereka benar-benar melakukannya? Mereka menghentikan senjata itu?"

​Taqi Dirgantara (The Closer) yang sedang menikmati kopi panasnya di meja kendali, tidak menoleh. Ia hanya tersenyum tipis, penuh kebijaksanaan yang menyakitkan.

​"Jangan ikut campur, Bagas," ujar Taqi, nadanya datar.

​"Tapi Taqi! Vanguard bisa mengirim tim untuk—" Rendra memulai.

​"Tidak," potong Taqi, ia menoleh, senyumnya menghilang, menyisakan ketegasan yang dingin. "Kau tahu, Bagas. Kita, Vanguard, terikat pada Pemerintah. Kita adalah pahlawan siang. Kita hanya bisa melawan kejahatan yang diizinkan oleh sistem. Kita tidak bisa melangkah di luar garis."

​Taqi menatap lurus ke arah monitor yang menunjukkan Adharma sedang berduel dengan Kaiser.

​"Tapi Black Division tidak terikat. Mereka adalah pahlawan di balik bayangan yang kita butuhkan," ujar Taqi. Ia mengangkat cangkirnya. "Mereka harus menyelesaikan apa yang tidak bisa kita lakukan."

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!