Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31 Terasa berbeda
Terasa berbeda Nuha alami pada tubuhnya. Sejak obrolan Fani tentang cowok kampus, rasa mual dan pusing menderanya sampai sekarang. Kini, selesai mata kuliah, Sari malah menumpahkan kertas pola ke mejanya sampai berantakan.
“Nara, lo kerjain tugas gue.” Ia menampar permukaan meja tepat di depan wajah Nuha sambil menunjukkan kertas ukuran tubuhnya. “Gue males ngerjain yang beginian!”
Nuha menelan ludah, perutnya jelas masih terasa aneh, kepalanya berdenyut. “Aku… aku nggak bisa, Sari. Itu tugas individu. Bukan kelompok.”
“Lo bilang apa?!” Sari langsung menarik tali kepang rambut Nuha dengan kasar. "Turutin nggak apa mau gue. Jangan bikin gue marah ya!"
“Aw-- Sshh… Sari, kamu kenapa sih!” Nuha menepis pelan, suaranya bergetar tapi ia mencoba tegas. “Kamu kan bisa minta bantuan yang lain. Kerjain aja sama mereka. Jangan aku terus.”
"Cih!" Sari berdecih sejenak. Lalu, “Temen-temen…” ulahnya, memanfaatkan keramaian kelas yang baru saja bubar. Ia mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Lihat nih!”
Di layar, video Nuha dan Wisnu sedang duduk bareng sambil main kucing. Kedekatan yang begitu romantis. “NUHA PUNYA PACAR!” Seketika teriakan Sari menggema seisi ruangan.
Kelas yang masih ramai langsung bersorak, “Waaahhh! Suit-suit! Pesta donk... Makan-makan gratis donk...”
Keringat dingin merembes dari tengkuk Nuha. Ia mematung. Kondisi inilah yang membuat Nuha lemah, tatapan mata banyak orang. Rasa takut menyerang sekaligus. “Tolong… jangan ribut…” bisiknya, tapi suara itu tenggelam oleh keramaian.
Riuh sekali.
Sari menambah bensin ke dalam api, “Tapi kalian tau nggak? Cowok itu tuh cowok GUE! Dan dia--” jari telunjuknya mengarah tepat ke wajah Nuha, “--BERANI-BERANINYA ngerebut cowok gue!”
"Apa?" Nuha tercengang.
Sorakan berubah menjadi ledakan ejekan. Menusuk hingga ke relung hati. Mata Nuha mencair dalam tatapan lebar. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri yang mulai gemetar hebat.
“Ih, Nara," ejek temannya. "Pendiem-pendiem tapi nyuri cowok orang. Kelas banget caranya.”
“Buset, kalem doang, ternyata lincah ya.”
"Iuh... Malu-maluin!!!"
“I-- itu… nggak…” Suara Nuha pecah. Ia mencoba bicara, tapi lidahnya seperti terkunci. Keramaian itu terlalu keras, seolah menghantam langsung ke dadanya.
Tatapan Nuha ke wajah Sari dan teman-temannya mulai berputar kabur. Tawa mereka-- suara mereka-- semakin lama semakin mirip…
Masa lalu.
Wajah Sari berubah jadi Naomi. Dulu saat ia di-bully habis-habisan di depan para siswa. “Apa ini…?” Nuha menyentuh kepalanya.
Kenangan buruk bercampur dengan kejadian sekarang, meledak bersamaan. Tawa. Ejekan. Bisikan jahat. Semuanya terdengar sama, bertumpuk di telinganya sampai ia merasa mentalnya retak.
“Enggak… enggak… aku nggak selemah ini…” Nuha mencengkeram rambutnya, memaksa dirinya kembali ke realitas.
Tapi Sari menunduk dekat telinganya dan berbisik sambil tertawa, “Hahaha… kasihan banget kamu, Nara. Diginiin aja langsung runtuh.”
Temannya menimpali, “Busuk banget ya hatinya. Gue nyesel deh pernah belajar sama dia.”
Tepat saat lutut Nuha hampir menyerah...
Suara langkah mendekat.
Seseorang yang baru saja menyusul kucingnya kabur kini berdiri di ambang pintu, “Siapa bilang saya pacarnya?” Suara berat Wisnu memotong hiruk-pikuk kelas. Seketika semua drama terhenti.
Ia melangkah masuk dengan tenang, menggendong anak kucing yang mengeong pelan. Tatapannya tertuju pada Sari. Tanpa banyak bicara, Wisnu merebut ponsel Sari dari tangannya. Jari-jarinya gesit mengutak-atik layar.
Beep.
Ponsel itu kembali ke setelan pabrik.
“Woi! Lo ngapain?!” Sari panik.
Wisnu tidak mengindahkannya. Ia berbalik mendekati Nuha yang masih pucat dan gemetar. Tangan satunya merangkul pundak Nuha, menempatkannya di belakang tubuhnya untuk melindungi.
“Denger baik-baik,” suaranya rendah tapi mengancam. “Gadis ini pacar saya. Kalau besok masih ada yang merundung dia…” Ia menatap seluruh kelas satu per satu. “…kalian berurusan sama saya.”
Kelas langsung heboh, "WWOOOWW!!!"
Sorotan berbalik ke Sari.
“Lah? Katanya cowok lo?”
“Wkwk, jadi lo ngarang?”
“Gila, malu banget…”
Tawa-tawa itu menghantam ego Sari balik. Wajahnya memerah marah, "DIAM KALIAN SEMUA!!"
Nuha masih syok dan kepalanya berputar ketika melangkah bersama Wisnu keluar kelas. Rangkulan itu terasa hangat, terlalu aman… sampai ia sendiri bingung harus bagaimana.
Dari balik lorong yang remang--
Seseorang memperhatikan. Ketiaknya bertumpu pada kruk, tubuhnya kaku menahan emosi. Alih-alih memastikan kondisi istrinya yang sejak kemarin terlihat tidak enak badan, ia malah tidak bisa mendekat. Tidak bisa berlari cepat. Tidak bisa melindunginya.
Sesalnya, ia hanya bisa menonton. Menyaksikan istrinya dirundung. Diselamatkan oleh pria lain. Dan itu… itu menyayat jauh lebih dalam dari lukanya sendiri.
Beberapa hari berlalu,
Sari tetap tidak berhenti. Mulutnya memang tak pernah bisa istirahat. Ia memperhatikan Nuha dari jauh. Wajah Nuha yang pucat, sering pusing, kadang mual.
Lalu ia menyeringai kecil. “Eh, kalian kemarin denger sendiri kan? Si cowok yang ngaku pacarnya Nara itu…” bisiknya pelan pada dua temannya.
Mereka mengangguk.
“Coba lihat deh baik-baik.” Sari melipat tangan sambil memicingkan mata penuh gosip. “Kayaknya Nara… hamil. Mungkin sama dia.”
Temannya langsung nyeplos, “Hah? Lo jangan ngarang lagi deh, Sar.”
“Aku cuma kepo, bukan nuduh,” jawab Sari santai, membalikkan badan seakan tak bermaksud apa-apa.
Tapi jelas, umpannya sukses. Suasana kelas merasa asik tanpa membuat dirinya maju.
Tak butuh waktu lama, seorang teman mendekati Nuha. “Nara, lo… hamil ya?”
“Eh?!” Nuha benar-benar terkejut. Jantungnya langsung meluncur ke tenggorokan.
“Gila, baru juga punya pacar udah asik-asikan main HB,” bisik yang lain. “Kampus tahu lo hamil di luar nikah bisa langsung drop out lo!”
“A-aku nggak—”
“Wajah lo pucet banget akhir-akhir ini. Seriusan, lo kayak orang hamil.”
Nuha semakin bingung, degup jantungnya naik, tubuhnya panas-dingin.
Tiba-tiba pintu kelas dibuka keras.
“Kalian ini memang suka sekali mencampuri urusan orang lain.” ucap suara tenang dan tajam itu.
Seluruh kelas sontak diam.
Seorang dosen muda masuk dengan jas rapi, aura tegas, dan dua pengawal mengikutinya dari luar koridor.
Dosen itu menatap lurus ke arah Sari. “Bawa mahasiswi itu ke ruang dosen. Sekarang.” perintahnya pada dua pengawalnya.
Sari pucat seperti kapur. Tak berkutik ketika dua pengawal Naru memintanya ikut keluar.
Nuha terpaku.
Seluruh kelas terpaku.
Setelah Sari dibawa pergi, dosen itu melangkah ke depan kelas, “Mulai hari ini,” ucapnya dengan penuh wibawa, “saya menggantikan Bu Cahya untuk mata kuliah Konstruksi Pola Dasar.”
Beberapa mahasiswa langsung saling melirik.
Lalu ia menambahkan, “Dan satu hal yang harus kalian tahu--”
Semua fokus.
“Nara adalah istri saya.”
Seketika ruangan meledak dengan gumaman kagum, “Waaaah…”
“Keren banget suaminya….”
“Sumpah, vibes manajer muda banget….”
Tampan, rapi, wangi, formal, dan tetap memancarkan wibawa meski memakai kruk. Naru benar-benar seperti tokoh drama Jepang yang tersasar ke kelas desain.
Nuha membelalakkan mata, “Naru… apa maksudmu?” tak percaya suaminya tiba-tiba datang.
Naru menatapnya lembut, tapi mantap. Langkahnya pelan karena kruk, tapi auranya memenuhi ruangan. “Aku suamimu, Nara,” ucapnya jelas. Aku datang ke sini untuk melindungimu. Nggak perlu lagi ada ‘pacar pura-pura’. Karena kamu sudah punya suami.”
Nuha langsung menunduk, wajahnya memanas hebat. Dan seluruh kelas hanya bisa terpaku, terhanyut antara shock, kagum, dan iri setengah mati.
“Kamu… nggak sedang mempermalukanku kan, Naru?” Nuha melirik pelan, suaranya lirih.
Naru tersenyum tipis. “Enggak.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap mata Nuha lembut. “Dan pastinya… enggak. Aku hanya menempatkan semuanya pada tempatnya.”
Lalu ia menghadapkan diri pada kelas. “Teman yang baik akan selalu mendukung, kan?”
Suasana yang tadinya bising dengan gosip kini berubah hening bersalah. Satu per satu teman yang tadi mengejek mendekat dengan wajah menyesal.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu udah punya suami, Nara…” kata seseorang, ragu-ragu.
“Aduh… maaf ya,” sahut yang lain. “Kita tuh sering salah paham sama kamu.”
Nuha mengusap lengannya, canggung. “Itu karena aku… memang tertutup.”
Temannya menghela napas. “Dengan sifat kamu yang kalem, kita kira kamu sombong. Padahal kamu cuma… jaga jarak.”
Yang lain mengangguk. “Iya. Kita tuh gampang heboh, gampang nge-judge. Salah banget sih tadi.”
Seorang mahasiswi yang biasanya bawel justru berkata paling lembut, “Pak Dosen bener. Kita nggak boleh ikut campur hidup orang. Suka bikin heboh demi cari validasi itu toxic banget.”
Naru menatap seluruh kelas, suaranya tenang tapi seperti menyapu semua sudut ruangan. “Kadang orang pendiam bukan berarti lemah. Mereka hanya menyimpan suara untuk hal yang penting. Dan tugas kita adalah menghargai itu.”
Kelas terdiam.
Entah kenapa, hampir semua merasa seperti baru kena tamparan lembut. Teman lain mendekat ke Nuha, “Kamu nggak salah, Nara. Kamu cuma… jadi dirimu sendiri.”
“Dan itu udah cukup,” tambah yang lain.
Nuha tersenyum kecil.
Senyum yang benar-benar tulus, bukan yang dipaksakan untuk menahan gugup. Naru memandangnya, matanya berkata lebih banyak dari kata-kata, “Lihat? Kamu nggak sendirian.”
Konflik pun mereda.
Gosip berhenti.
Teman-teman Nuha melihat sisi lain dirinya, bukan sebagai “si pendiam yang gampang disalahpahami,” tapi sebagai seseorang yang layak dihormati dan dijaga.
.
.
.
. ~Bersambung...
Itu teknik grounding real-world. Super accurate 🥰❤❤❤
bumil beneran ngalamin mental fatigue kayak gini, huhu syedih 🤧🤧🤧
Tetangga: “Dek sehat? Rumornya…”
Padahal sambil mata ngintipin realita kayak CCTV 😒😒😒 Mereka tuh kayak “concern” tapi sebenarnya update timeline duluan 😩
I just need my comfort place pls 🥺
She’s not being dramatic. She’s overstimulated + triggered 🤧
Apalagi kalo panik.