NovelToon NovelToon
SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

SEKUNTUM BUNGA DI RUANG GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa / Wanita Karir / Romantis / Cinta setelah menikah / Balas Dendam
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Efi Lutfiah

Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.

Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keinginan Bu Hasna

Cantika pulang dengan wajah berseri, membawa kabar gembira yang sudah lama dinantikan. Begitu mendengarnya, Bu Hasna tak kuasa menyembunyikan rasa harunya. putrinya mendapat juara satu olimpiade, dan berhasil mendapat hadiah beasiswa S2.

“Masya Allah, nak... kamu memang anak yang pintar. Ibu bangga sekali sama kamu.”

Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Cantika, tapi di balik senyum itu, sorot matanya tampak sayu, kosong, seolah pikirannya melayang entah ke mana.

Cantika menangkap keganjilan itu. “Ibu sakit?” tanyanya pelan, cemas menyelusup dalam suaranya.

“Enggak, nak,” jawab Bu Hasna singkat.

Cantika menatap tak percaya. “Jangan bohong, Bu. Ibu kelihatan pucat banget. Kalo ada yang sakit, bilang aja sama Tika. Kita ke rumah sakit sekarang, ya?”

Namun sang ibu hanya membalas dengan senyum lembut, “Ibu gak sakit, Tika. Kamu aja yang kebanyakan khawatir.”

Cantika menghela napas, berusaha menenangkan diri. Walau wajah ibunya tampak baik-baik saja, tatapan mata itu membuatnya takut, takut kalau penyakit ginjal ibunya kembali kambuh tanpa ia sadari.

Tiba-tiba Bu Hasna membuka suara, nada bicaranya berubah ceria. “Ibu tuh kepikiran ya, kayaknya makan cumi bakar di pantai enak banget. Minumnya air kelapa muda yang segar.”

Cantika tersenyum lega. “Kalau ibu mau, kita berangkat sekarang aja. Mumpung masih siang, soalnya kalo sore nanti udah dingin.”

“Emangnya kamu gak capek, Nak? Baru pulang dari kampus kok mau-mauan ke pantai lagi.”

Cantika tertawa kecil sambil memeluk ibunya. “Buat ibu, apapun bakal Tika lakuin.”

Ia mengecup pipi Bu Hasna, penuh kasih. “Ibu cepet ganti baju, ya. Tika mau mandi dulu bentar.”

“Baiklah, Nak,” jawab Bu Hasna dengan senyum yang akhirnya benar-benar tulus. Ia beranjak ke kamarnya, langkahnya pelan namun terlihat bersemangat.

**

Di lain tempat...

Siang itu udara terasa membakar, matahari memantul tajam lewat jendela kaca besar. Namun panas yang dirasakan Sindi bukan karena cuaca, melainkan karena berita yang baru saja ia baca di ponselnya.

Cantika lolos olimpiade dan mendapatkan beasiswa S2.

Dingin AC di ruangan seakan tak berarti apa-apa. Amarah dan iri membuat dadanya sesak.

“Dia lolos?! Gue benci!” Sindi menggebrak meja keras hingga beberapa kertas beterbangan.

Aira, kakaknya, yang sedang fokus menatap layar laptop sontak tersentak. Ia menoleh cepat, alisnya bertaut.

“Sindi, kamu tuh kebiasaan banget! Ngagetin aja,” protesnya jengkel.

“Aku kesal, Kak!” suara Sindi meninggi, wajahnya merah menahan emosi.

Aira menghela napas panjang. “Kesal kenapa lagi sih? Dari kemarin kamu marah-marah terus.”

Sindi menggeser ponselnya ke arah Aira. “Lihat, Cantika lolos olimpiade.”

Aira mencondongkan tubuh, matanya menyipit menatap layar. Di sana terpampang foto Cantika, senyum manis, wajah polos, tapi pesonanya alami dan menenangkan.

Aira mendengus pelan. “Cantika ini… yang dekat sama dokter Arkana itu, kan?” suaranya datar, tapi ada nada tak suka terselip di baliknya.

Sindi mengangguk cepat. “Iya! Dan makin hari aku makin benci sama dia.”

Aira menatap adiknya tajam. “Lagian kenapa juga kamu kemarin gegabah nyuruh orang buang lembar jawaban Cantika? Harusnya kamu main cantik. Jangan asal bertindak kayak gitu.”

Sindi mendengus kasar. “Gimana gak buru-buru, Kak. Si Cantika itu nyebelin banget! Dulu tampilannya kayak anak kampung, sekarang berubah total. Dan tahu gak? Ternyata dia LC!”

Tawa sinis Sindi pecah, membuat udara ruangan seolah mengeras.

Aira menatapnya dengan raut tak percaya. “Apa? LC?” suaranya melemah, antara kaget dan tak yakin.

Sindi mengangguk mantap, penuh dendam. “Iya. Aku lihat sendiri, Kak. Dia di klub semalam. Sok polos di luar, tapi diam-diam… dia tahu cara mainnya.”

Aira terdiam lama, pandangannya kosong menatap dinding. Dalam benaknya berputar satu nama, Arkana.

Jika apa yang dikatakan Sindi benar, apakah Arkana tahu siapa sebenarnya Cantika?

Keluarga Arkana tidak main-main dalam memilih calon menantu. Nama baik dan asal-usul selalu jadi syarat utama.

Aira tersenyum tipis, matanya menyipit penuh perhitungan.

“Mungkin… ini bisa jadi celah kita,” gumamnya pelan, seolah sedang menyusun rencana.

**

Di tepi pantai yang ombaknya tenang, buih putih berkejaran lembut menyapa pasir yang berkilau di bawah sinar matahari. Laut membentang biru jernih sejauh mata memandang, memantulkan cahaya seolah surga sedang bernafas di depan mata.

Cantika dan Bu Hasna memilih duduk di sebuah gazebo kayu, beratap ilalang, yang menghadap langsung ke laut.

“Ibu tunggu di sini, ya. Biar Tika yang pesan makanannya,” ujar Cantika sambil tersenyum.

Bu Hasna mengangguk pelan. “Iya, Nak.”

Tatapannya lalu terhenti pada hamparan air laut yang bergulung tenang. Angin membawa aroma asin dan suara camar yang sesekali terdengar sayup. Perlahan, pikirannya melayang jauh… kembali ke dua puluh lima tahun silam, saat sang suami masih hidup.

Dulu, pantai selalu jadi tempat mereka melepas penat. Makan ikan bakar di bawah senja, tertawa tanpa beban, dan saling mencandai ombak yang datang silih berganti.

Kini, hanya kenangan yang tersisa.

Setetes air bening jatuh di pipi Bu Hasna. Ia tersenyum lirih di antara perih yang merayap di dadanya.

“Yah…” bisiknya pelan, “dulu kita ke sini berdua. Tapi sekarang cuma aku dan Cantika. Harusnya, kita bertiga.”

Angin laut berhembus lembut, seolah menjawab lirih rindunya.

“Anakmu sudah besar, Yah… dan sekarang dia banting tulang demi membahagiakan aku. Kamu pasti bangga, kan?” katanya pelan, menatap laut seakan suaminya berdiri di balik cakrawala.

“Bu...” suara lembut Cantika memecah lamunannya.

Bu Hasna tersadar, segera menyeka sudut matanya yang basah sebelum putrinya sempat melihat.

“Ibu melamun, ya?” tanya Cantika sambil meletakkan dua piring besar di meja kayu gazebo. Aroma cumi bakar dan udang saus tiram langsung memenuhi udara, menggoda siapa pun yang menciumnya.

Bu Hasna tersenyum, mencoba menutupi rasa haru. “Ibu cuma lihat lautnya, Nak. Tenang banget, ya. Bikin hati adem.”

Cantika ikut menatap laut, mengangguk pelan. “Iya, Bu. Laut tuh kayak ibu... tenang, tapi dalam. Kadang aku gak tahu apa yang ibu rasain sebenarnya.”

Ucapan itu membuat Bu Hasna tersenyum kecil, sekaligus tersentuh.

Ia menggenggam tangan Cantika, menatap wajah anaknya dengan lembut. “Ibu cuma bersyukur, Nak. Punya kamu... itu hadiah paling besar dalam hidup ibu.”

Cantika menahan haru yang tiba-tiba menyeruak. Ia menunduk, tersenyum kecil. “Tika yang harusnya berterima kasih, Bu. Kalau bukan karena ibu, Tika gak akan bisa sampai di titik ini.”

Mereka saling menatap, lalu tertawa pelan saat angin tiba-tiba meniup rambut Cantika hingga menutupi wajahnya.

“Udah ah, nanti makanannya keburu dingin.”

Cantika cepat-cepat menyingkirkan rambutnya, mengambil sepotong cumi bakar dan menyuapkannya ke mulut ibunya. “Nih, buat ibu duluan.”

Bu Hasna terkekeh kecil. “Dari dulu juga kamu gak berubah, suka maksa nyuapin ibu.”

“Tanda sayang, Bu,” jawab Cantika ringan.

Bu Hasna menatap anaknya lama, senyum di bibirnya meneduhkan, tapi ada genangan lembut di matanya. Dalam hati ia berbisik lirih, “Andai ayahmu bisa melihat betapa luar biasanya anak kita sekarang...”

Ombak terus berdebur lembut, seolah ikut menjaga momen itu, momen sederhana yang terasa begitu berharga.

1
menderita karena kmu
Ceritanya seru banget, jangan biarkan aku dilema menanti update 😭
evi evi: haha,,, siap kakak😀🤗
total 1 replies
Rukawasfound
Ceritanya keren, teruslah menulis thor!
evi evi: Terimakasih sudah mampir di cerita ku kk🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!