Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Ketegangan Itu Kembali
Damian memelankan mobilnya ketika melihat beberapa kendaraan terparkir di halaman rumahnya. Ia mengernyit, heran, tapi berpikir mungkin itu mobil teman-teman Sean. Setelah memarkirkan mobil di garasi, ia masuk melalui pintu utama.
Namun baru sampai di ambang pintu, langkahnya terhenti. Dari ruang tamu terdengar suara tawa dan obrolan yang jelas-jelas bukan percakapan biasa.
“Hei Sean, kau benar-benar tidak memikirkan kemunculan gadis culun itu?” suara Emily terdengar jelas.
Damian menajamkan telinga.
“Untuk apa?” sahut Sean santai, “Dia tidak punya kekuatan apa pun untuk melawanku. Dan kau, Bastian. Lain kali lihat dulu dengan benar sebelum bicara.”
Bastian terkekeh pelan, “Aku yang salah, aku yakin hanya salah lihat.”
Damian melangkah masuk, “Gadis culun siapa?”
Sekejap, suasana ruang tamu langsung berubah hening. Keempat teman Sean yang tadi tertawa kini berdiri kikuk. Sean sendiri berdiri paling akhir, menampilkan ekspresi santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Ayah, kau sudah pulang?” ucapnya enteng, “Malam sekali hari ini, tidak seperti biasanya.” Nada suaranya terdengar seperti sindiran.
Damian menatapnya tajam tanpa berkata apa-apa.
“Aku hanya bercanda, Ayah,” ucap Sean cepat, tersenyum lebar.
“Om, kami teman-teman Sean,” ucap Leo, mencoba mencairkan suasana.
Damian hanya mengangguk singkat, “Aku ingat. Lanjutkan saja obrolan kalian.”
Ia kemudian berjalan menaiki tangga, sambil melirik meja tamu yang penuh kaleng soda dan sisa makanan.
Begitu sosoknya menghilang di lantai atas, Isabel mengembuskan napas lega, “Kupikir kita akan dimarahi.”
Sean tertawa kecil dan menjatuhkan diri kembali ke sofa.
“Tenang saja. Ayahku tidak sekeras itu. Duduklah.”
Keempat temannya pun ikut duduk kembali, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan singkat itu.
Di lantai atas, Damian berhenti sejenak di depan pembatas tangga. Dari tempatnya berdiri, ruang tamu terlihat jelas di bawah sana. Tawa dan obrolan yang tadi ia dengar masih terngiang di telinganya.
Keningnya berkerut, pikirannya berputar pada satu hal. Siapa gadis culun yang mereka bicarakan?
Ia menggenggam teralis pembatas itu erat, lalu mengembuskan napas panjang. Akhirnya, tanpa berkata apa-apa, ia berbalik, dan melangkah menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Damian melepas jasnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. Ia kemudian melangkah menuju sofa di samping jendela, duduk, lalu membuka laptop di atas meja kaca. Beberapa berkas yang belum sempat ia sentuh kini tergeletak di depannya.
Tidak lama, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.
Jane masuk, membawa nampan kecil dengan secangkir kopi di atasnya.
“Ini kopi Anda, Tuan.” Jane meletakkannya di atas meja.
Damian mengangguk singkat. Ia tetap menatap berkas di tangannya, matanya sama sekali tidak beranjak dari deretan huruf di sana. Tadi, dalam perjalanan pulang, ia memang sudah berpesan agar Jane menyiapkan kopi untuknya.
Jane masih berdiri di tempat, “Apa Tuan tidak lelah? Ini sudah larut malam.”
Damian meletakkan berkasnya, lalu menatap wanita itu.
“Ini memang sudah larut, tapi anak-anak itu masih di bawah.”
Jane segera menunduk, “Mereka teman-teman Tuan Muda.”
“Aku tahu,” balas Damian, suaranya datar, “Tapi setidaknya mereka harus tahu sopan santun saat bertamu. Mereka memang teman Sean sejak SMA, dan aku tidak pernah melarangnya bergaul. Tapi jangan terlalu memanjakan anak itu, Jane.”
Jane menelan ludah kecil, “Saya akan memberitahu Tuan Muda—”
“Untuk apa? Mengusir teman-temannya?” Damian menggeleng pelan, “Tidak perlu. Biarkan saja mereka. Kalau mereka ingin menginap, siapkan kamar tamu.”
“Baik, Tuan.” Jane menunduk dalam, lalu beranjak keluar.
Begitu pintu tertutup, Damian menghela napas panjang. Ia meraih cangkir kopi, menyesapnya perlahan, dan membiarkan pahitnya menyatu dengan pikirannya yang masih sibuk. Setelah itu, ia pun melanjutkan pekerjaannya.
Saat jemarinya menari di atas keyboard, nada dering dari saku jasnya memecah keheningan kamar. Damian menoleh, lalu berdiri dan melangkah menuju tempat tidur. Ia merogoh saku jasnya, mengambil ponsel, dan tersenyum tipis ketika melihat nama yang muncul di layar.
“Elena,” gumamnya, sebelum menggeser tombol terima dan menempelkan ponsel ke telinganya. Ia lalu berjalan menuju jendela.
“Om sudah sampai?” suara lembut itu terdengar di seberang.
“Sudah,” jawab Damian sambil menyibak tirai, “Kau mengkhawatirkanku?”
Ia membuka pintu kaca dan melangkah ke balkon. Angin malam menerpa wajahnya, dingin tapi menenangkan. Tangannya menggenggam teralis pembatas, matanya menatap taman dan kolam renang di halaman rumahnya.
“Tentu saja aku mengkhawatirkan Om. Aku bahkan berharap Om mau menginap di apartemenku malam ini.”
Sudut bibir Damian terangkat, “Kalau sudah menginap, kau mau melakukan apa?”
“Mmm… mengurung Om di kamar.”
Damian tertawa lepas, “Berhentilah menggodaku, Elena.”
Tawa kecil Elena terdengar, “Om sedang apa sekarang?”
Tatapan Damian beralih ke arah teras depan ketika suara tawa samar terdengar dari bawah. Di sana, teman-teman Sean tampak keluar rumah, masih bercakap ringan sambil menuju mobil masing-masing. Sean mengikuti mereka sampai ke halaman, mengantar satu per satu hingga kendaraan terakhir melewati gerbang dan menghilang di baliknya.
Setelah itu, Sean mendongak ke atas. Ia menatap langsung ke balkon kamar ayahnya. Tatapan mereka pun sempat bertemu sejenak. Tapi, hanya dengan senyuman singkat, Sean memilih kembali ke dalam rumah.
Damian tetap diam di tempatnya dan ponsel masih menempel di telinga.
“Om?”
“Ya?” Damian tersadar dari lamunannya.
“Om melamun?”
“Tentu tidak. Aku hanya sedang memikirkan beberapa hal.”
“Urusan pekerjaan lagi?”
Damian menunduk, “Benar.”
“Ini sudah hampir tengah malam, Om. Beristirahatlah dulu. Kesehatan Om tetap yang utama.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Damian. Entah kenapa, ada rasa hangat yang menjalari dadanya setiap kali wanita itu menunjukkan perhatian kecil seperti itu.
“Aku mengerti.”
“Aku matikan ya, Om. Selamat malam.”
“Malam, Elena.”
Panggilan terputus. Damian menurunkan ponselnya perlahan, menatap layar yang kini gelap. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah kembali ke dalam kamar, meninggalkan dingin angin malam yang masih berembus di balkon.
Bukannya merapikan pekerjaannya, Damian justru melangkah keluar kamar. Langkahnya begitu mantap seperti akan berperang. Begitu keluar dari lorong kamarnya, pandangannya langsung tertuju pada Sean yang sedang berada di depan pintu kamarnya sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama, Damian melangkah mendekat.
“Sean,” panggilnya.
Gerakan tangan Sean yang hendak membuka pintu langsung terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap ayahnya dengan ekspresi sedikit terkejut namun berusaha tetap tenang.
“Ayah, ada apa?” tanyanya hati-hati.
“Aku ingin bicara.”
Sean diam beberapa detik, seolah menimbang sesuatu. Lalu ia mengangguk pelan.
“Masuklah,” ucapnya, kemudian mendorong pintu kamarnya lebih lebar agar Damian bisa masuk.
Sean melangkah lebih dulu, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa di depan tempat tidur yang luas dan mewah itu. Dan cahaya lampu gantung keemasan memantulkan bayangan hangat di dinding.
Sementara itu, Damian masih berdiri di depan pintu, tegap dan tenang, satu tangannya masuk ke dalam saku celana. Sorot matanya tajam, namun dingin, seolah sedang menahan sesuatu yang segera keluar.
Sean menatap ayahnya dengan ekspresi santai, meski matanya menyimpan rasa waspada, “Kenapa hanya diam, Ayah? Tidak jadi bicara?”
Damian tidak menjawab dengan segera. Ia menghela napas pelan.
“Apa yang kau katakan pada Alan?”
“Alan?” Sean terkekeh, tubuhnya sedikit condong ke depan, “Dia pamanmu, Ayah. Kau terdengar seperti tidak menghormatinya.”
“Jawab aku!” suara Damian meninggi, tegas dan memantul di dinding kamar yang luas itu.
Sean mendongak, matanya menajam. Ia berdiri, lalu melangkah maju hingga jarak mereka hanya beberapa jengkal. Aura tegang di antara keduanya langsung terasa menekan udara di kamar itu.
“Apa maksudmu, Ayah? Aku tidak mengerti,” ucap Sean, dengan penekanan di setiap kata.
Damian menatap anaknya tanpa berkedip, “Alan memang memiliki pemikiran seperti itu, tapi dia selalu diam, seolah menunggu waktu yang tepat. Dan hari ini, dia mengatakan semuanya padaku, setelah kau berkata akan memberikan restu jika aku berkeluarga lagi. Bukankah itu terdengar aneh?”
Sean tersenyum miring, “Baru saja kau memujiku sebagai sosok yang dewasa. Baru saja juga kau berkata selalu menyayangiku. Lalu apa ini? Sekarang kau berdiri di hadapanku seolah aku musuhmu sendiri!”
“Sean!”
“Apa!”
Suara mereka meninggi, saling beradu. Dada keduanya naik turun, menahan emosi yang hampir meledak.
Damian menatap tajam, “Kau pikir aku tidak tahu? Kau ada di panggilan itu, saat aku berbicara dengan Alan!”
Sean terpaku. Untuk sesaat matanya melebar, tidak mampu menutupi keterkejutannya.
Damian tersenyum tipis, dingin, “Pria tua bangka itu memang bodoh. Bisa-bisanya tidak sadar kalau kain celananya tembus sampai ke layar ponselnya.” Ia kemudian melangkah maju, “Sebenarnya apa rencanamu, Sean? Kau ingin tahu pendapatku soal pewaris perusahaan?” Damian mendekat satu langkah lagi, “Jika kau tidak berubah menjadi pria yang berguna, jangan pernah bermimpi soal perusahaan!”
Setelah mengatakan itu, Damian berbalik. Ia berjalan menuju pintu tanpa menoleh sedikit pun. Tapi di ambang pintu, langkahnya terhenti.
“Sekarang aku benar-benar meragukan kata-katamu waktu itu, saat kau bilang akan merestui hubunganku. Tapi baiklah,” ucapnya dengan nada dingin dan terkendali, “Jika kau memang ingin aku berkeluarga lagi, maka aku akan mewujudkannya untukmu. Kita lihat nanti, apakah kau berubah karena nasihatku, atau hanya karena obsesimu.”
Dan tanpa menoleh lagi, Damian meninggalkan kamar itu dengan langkah lebar.
Sean tetap berdiri di tempat, menatap punggung ayahnya yang semakin menjauh. Tangannya mengepal keras, rahangnya mengeras, dan matanya memerah, seolah bara api tengah membakar dirinya.
Ia menarik napas panjang, lalu perlahan mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dengan suara berat dan pandangan tajam, ia lantas menghubungi seseorang.
“Kakek... Ayah sudah tahu. Bantu aku, kumohon.”