Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sejak kejadian malam itu, Anin jadi canggung berhadapan dengan Arkan. Di ingatannya masih begitu jelas bagaimana Arkan merengkuh tubuhnya dan memberikan kecupan di keningnya.
Semua itu tak bisa ia hilangkan dengan mudah. Bahkan sudah hampir dua minggu, semua detail kejadian itu masih teringat dengan jelas. Tapi, ada satu hal yang membuatnya merasa aneh. Mimpi yang hampir setiap malam ia mimpikan mulai terlihat jelas. Orang-orang dalam mimpi itu adalah Arkan dan Charissa.
Dia tidak tahu kenapa bisa ia memimpikan itu. Yang jelas, itu adalah mimpi yang sama yang sering ia alami, hanya saja orang-orang dalam mimpi itu sudah terlihat jelas, tak seperti sebelumnya yang tertutup seluruh wajahnya.
"Kenapa bisa Pak Arkan dan istrinya?" gumam Anin pelan. Mimpi yang sama dan berulang hampir setiap malam saja sudah membuatnya bingung, apalagi orang-orang dalam mimpi itu Charissa dan Arkan? Semakin bingung sudah dirinya.
Tok ... Tok ... Tok ....
Anin terkejut saat dinding kaca ruangannya tiba-tiba diketuk. Di depan ruangannya, berdiri Arkan dengan wajah datar dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Dengan cepat Anin bangun dari duduknya, berdiri dengan sikap sopan.
"Kau melamun."
"Hehe ... Maaf, Pak." Anin tersenyum kaku. Sangat canggung berhadapan dengan Arkan seperti ini. Entah perasaannya saja, tapi sejak kejadian di ruangan Arkan waktu itu, ia merasa Arkan semakin berusaha dekat dengannya.
"Kau sudah me-reservasi untuk keberangkatan kita besok?"
"Sudah, Pak."
"Bagus. Ayo, sekarang kau ikut saya."
"Kemana?"
"Makan siang."
"Pak, saya bisa makan siang di kantin—"
"Ada Dimas juga. Dia harap kau bisa ikut."
Anin terdiam. Dia tidak tahu sejak kapan kakaknya dan Arkan semakin dekat. Tapi, jika dia tidak ikut, kakaknya pasti akan kecewa. Mereka jarang makan siang bersama.
"Baik, Pak." Segera Anin meninggalkan ruangannya dan ikut bersama Arkan menuju sebuah restoran untuk makan siang bersama.
***
Anin menyusun beberapa potong pakaiannya kedalam sebuah koper berukuran sedang miliknya. Beberapa potong pakaian di dalam nya cukup untuk tiga hari di luar kota.
Ibu Lidya yang baru saja masuk ke kamar perempuan itu tersenyum melihat putrinya yang sedang berkemas. Wanita itu meletakkan sepiring apel yang sudah dipotong ke atas meja nakas, lalu duduk di tepi ranjang dekat dengan putrinya.
"Pastikan baik-baik, jangan sampai ada yang tertinggal. Terutama hal-hal penting untuk pekerjaan."
Anin tersenyum tipis. "Sudah aku pastikan semuanya, Bu," jawab Anin. Perempuan itu menutup kopernya, lalu ikut duduk bersama sang Ibu. Ia kemudian mengikis jarak dan memeluk Ibunya.
"Anin sayang Ibu," ujarnya lembut.
Ibu Lidya tersenyum. "Ibu juga sayang Anin. Sangat sayang."
"Kalau Ibu sayang Anin, apa Ibu rela melepas Anin ketika Anin menemukan seseorang yang akan menemani hidup Anin nanti?"
Ibu Lidya terdiam, lalu beberapa saat kemudian tersenyum tipis. "Kalau orang itu adalah alasan anak Ibu bahagia, Ibu pasti akan merelakan nya. Ibu akan ikut bahagia melihat kesayangan Ibu juga bahagia." Ibu Lidya mengusap lembut pipi Anin.
"Terima kasih, Bu."
"Tidak ada yang membuat Ibu lebih bahagia selain melihat anak-anak Ibu bahagia," ujar Bu Lidya. "Oh ya, kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"
Anin menggeleng pelan. "Tidak kenapa. Aku hanya ingin tahu."
"Benarkah? Atau, jangan-jangan kau sudah memiliki kekasih?"
Anin langsung melepas pelukannya, lalu memanyunkan bibirnya, cemberut.
"Atau jangan-jangan, kau dan Nak Arkan—"
"Ibuuu." Anin merengek karena tak tahan digoda ibunya lagi. Hal tersebut membuat Ibu Lidya terkekeh.
"Maaf, maaf. Ibu hanya bercanda." Bu Lidya kembali membawa Anin dalam pelukannya. Memeluk putrinya tersebut dengan penuh rasa sayang.
***
Pukul sembilan pagi Arkan dan Anin berangkat ke kota A. Kean Arkan titipkan ke Pak Heru dan Bu Monic. Perjalanan udara yang memakan waktu dua jam itu membuat Anin cukup canggung karena duduk bersebelahan dengan Arkan.
Apalagi Arkan pandai mengambil kesempatan, mengajaknya mengobrol bahkan merapihkan rambutnya yang sebenarnya tak berantakan.
Anin baru bisa bernafas lega setelah pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan sempurna.
"Tuan." Seorang pria berusia 30-an menyapa Arkan dengan sopan ketika mereka bertemu di lobi. Tapi, ketika matanya mengarah pada Anin, ada binar keterkejutan yang terpancar.
Arkan dan Anin langsung paham, kenapa lelaki itu bereaksi demikian.
"Dia sekretaris saya, Anin."
"Oh, nona sekretaris. Maaf, Tuan, saya pikir dia mirip mendiang nyonya."
Arkan hanya berdehem. Dia membiarkan lelaki itu membawa kopernya, sementara ia sendiri membawa koper Anin.
"Tuan biar saya saja—"
"Tidak usah. Ayo." Arkan meraih tangan Anin, menggenggamnya, berjalan bersama menuju mobil yang terparkir. Anin sudah berusaha melepaskan, tapi genggaman Arkan terlalu kuat. Pada akhirnya pun Anin mengalah, menurut saja hingga mereka tiba di mobil.
Sementara Arkan, dia hanya menunjukkan tampang tak bersalah.
"Sudah lama sejak nyonya tiada, anda tidak kesini lagi." Pria itu mulai melakukan mobilnya ke arah hotel yang sudah di reservasi Anin.
Arkan tak menjawab. Apa yang dikatakan pria itu benar dan tak butuh jawaban darinya. Dulu, dia sering datang bersama mendiang istri untuk menikmati momen kebersamaan mereka. Namun, sejak Charissa meninggal, dia tidak menginjak tempat itu Lagi.
Tapi kali ini, dia ingin mengajak Anin ke tempat ini, mencoba keberuntungannya untuk membuat Anin mengingat sepotong kenangan mereka.
Anin yang duduk diam di sampingnya hanya menatap keluar jendela mobil. Ada perasaan familiar saat melewati beberapa jalanan.
"Anin? Kenapa?" Arkan menatapnya.
Perempuan itu menoleh. "Tidak kenapa, Pak. Saya hanya merasa sedikit familiar dengan tempat ini."
Arkan mengangguk pelan sambil menahan senyum. Semoga saja ada kemajuan.
"Mungkin kau pernah kesini?"
"Saya belum pernah kesini sekalipun. Ini pertama kalinya."
"Kau yakin?"
Anin terdiam. Ada rasa ragu yang menyelimuti. Dia tidak mengingat apapun selain kejadian empat tahun belakangan ini. Semua memorinya bertahun-tahun lalu hilang dalam kecelakaan yang menimpanya. Dia kehilangan banyak memori ingatannya, itu yang Dimas katakan padanya saat pertama kali ia sadar dari koma.
"A-aku tidak yakin juga. Mungkin pernah kesini, tapi aku lupa kapan."
"Sudahlah. Lupakan saja. Nikmati perjalanan ini."
Anin tak bersuara lagi. Dia kembali memperhatikan jalanan hingga mobil itu berhenti di sebuah hotel. Lekas ia dan Arkan menuju lobi hotel untuk mengambil kunci kamar.
"Kau mau makan siang dulu atau istirahat dulu?" Arkan mendorong pelan koper milik Anin menuju kamar perempuan itu. Dia memperlakukan Anin dengan begitu baik, hingga Anin merasa tak enak.
"Saya ikut anda saja, Pak."
Arkan mengangguk. "Kalau begitu kita makan siang dulu saja. Setelah itu baru istirahat sebentar."
Anin hanya bisa mengiyakan. Setelah Arkan keluar dari kamarnya, ia baru bisa bernafas lega. Perubahan sikap Arkan sedikit membuatnya canggung. Namun, ada perasaan lain yang menyentuh hatinya. Dia pun tak bisa menjelaskan dengan baik, seperti apa perasaan yang tengah ia rasakan kini.
Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Anin tersadar. Dengan cepat ia meraih tas dan handphone miliknya, lalu bergegas membuka pintu.
"Ayo!"
Arkan meraih tangannya, menggenggam erat lalu berjalan bersama menuju restoran.
"Pak, saya bisa jalan sendiri. Tidak perlu digandeng." Anin melepaskan tangannya dari genggaman Arkan.
"Padahal kau paling suka saat ku gandeng seperti ini dulu ...."
"Pak Arkan bilang apa?" Anin tak mendengar jelas apa yang lelaki itu gumam kan.
"Hanya kau yang tidak suka saya gandeng. Banyak perempuan yang berharap bisa saya gandeng." Arkan menekan tombol lift, tak lama kemudian pintu lift terbuka. "Tidak masalah. Saya suka perempuan yang tidak mudah tergoda."
Arkan berucap santai. Lalu tangannya bergerak menekan tombol lift menuju lantai satu usai Anin memasuki lift. Perempuan itu hanya bisa diam, tak meladeni sikap Arkan yang menurutnya cukup aneh.
Saat lift berhenti dan pintu terbuka, Arkan lagi-lagi menggandeng Anin dan membawanya keluar lift. Dan Anin semakin merasa tak enak sebab banyak pasang mata yang melihat mereka.
"Pak, lepaskan saya," ucap Anin setengah berbisik.
"Tidak akan saya lepaskan," sahut Arkan tanpa beban sedikit pun.
"Pak, kita dilihat banyak orang—"
"Biarkan saja. Dilihat berarti kita pasangan yang cocok satu sama lain."
Anin menarik nafasnya. Kenapa Arkan jadi seperti ini? Dia benar-benar tidak ingin ada gosip aneh yang timbul karena sikap Arkan yang seperti ini.
Tak bicara lagi, Anin ikut saja apa yang Arkan lakukan. Dia duduk dengan perasaan campur aduk usai Arkan menarik kursi untuknya dan mempersilahkan dirinya duduk. Sungguh diluar dugaan.
"Kau mau pesan apa?" Anin tak menjawab. Dia masih sangat bingung dan tak percaya dengan sikap Arkan yang berubah drastis.
"Baiklah. Aku saja yang pesan."
Arkan langsung memanggil seorang pelayan dan memesan makanan untuknya dan Anin. Tak berapa lama, makanan pun disajikan.
"Semua ini ...."
"Makanan kesukaan mu?"
Anin mengangguk pelan. Ia menatap Arkan dengan tatapan tak percaya. "Bagaimana anda bisa tahu?"
"Bagaimana? Saya mengetahui banyak hal tentang mu."
Anin terdiam. Kalimat itu begitu familiar. Seketika beberapa kenangan melintas di ingatannya. Anin memejamkan mata, merasa sedikit kesakitan di kepalanya.
"Anin? Kau kenapa?" Arkan bertanya, sedikit mulai khawatir.
Anin menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Saya hanya sedikit pusing," jawab Anin. "Ayo, lanjutkan makannya saja, Pak. Kita harus segera kembali untuk istirahat."
Arkan tak membantah. Dia meraih piring steak milik Anin, memotongnya beberapa bagian lalu diberikan kembali pada Anin.
"Cepat habiskan. Kau harus segera istirahat."
Anin tersenyum tipis. Perasaannya seketika menghangat mendapat perhatian dari Arkan.