Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. PENYELIDIKAN
Malam itu udara rumah sakit masih menyimpan aroma antiseptik yang pekat, bercampur dengan kesunyian lorong-lorong panjang yang diterangi cahaya lampu putih pucat. Clara berjalan beriringan dengan Deren, langkahnya pelan namun hatinya berdegup cepat. Bayangan Samuel Davidson, yang tiba-tiba menampakkan diri di taman siang tadi, masih menempel kuat di pelupuk mata mereka berdua.
Clara menoleh pada Deren, tatapannya penuh dengan tanya.
"Bagaimana bisa dia ada di sini, Babe? Si brengsek itu tidak mungkin hanya sekedar datang tanpa tujuan," gerutu Clara.
Deren menghela napas panjang. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Itu yang harus kita cari tahu. Aku tidak percaya pada kebetulan. Kehadirannya pasti punya alasan. Dan aku tidak ingin Lucia kembali dihantui masa lalu."
Mereka akhirnya berhenti di depan meja resepsionis. Seorang perawat muda tengah duduk di balik meja, menunduk mengisi beberapa berkas.
Clara menarik napas, lalu dengan nada sopan ia bertanya, "Maaf, apakah ada pasien rawat inap bernama Samuel Davidson di sini?"
Perawat itu menoleh, keningnya sedikit berkerut. Ia memeriksa layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Tak lama ia menggeleng pelan. "Tidak ada nama itu dalam daftar pasien, Ma'am. Baik pasien lama maupun baru."
Clara saling pandang dengan Deren. Ada kekosongan yang tiba-tiba mengembang di dada mereka. Jika Samuel tidak dirawat di sini, lalu apa yang sebenarnya ia lakukan di taman rumah sakit?
"Terima kasih," ujar Deren singkat, sebelum menarik lengan Clara menjauh dari meja resepsionis. Mereka berjalan ke ujung lorong, mencari sudut yang lebih sepi.
Clara bersandar pada dinding, menatap kosong ke lantai. "Kalau begitu, kedatangannya memang sengaja. Dia tidak sakit, tidak dirawat. Dia datang hanya untuk Lucia."
Deren merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel, lalu menekan nomor yang sudah sangat dikenalnya. Suaranya terdengar datar, namun penuh ketegasan.
"Halo, ini aku. Ada yang harus kau selidiki untukku," kata Deren ke orang di seberang telepon.
Di seberang sana, suara berat seorang pria terdengar. "Perintah baru lagi, Bos?"
"Ya," jawab Deren. "Namanya Samuel Davidson. Selidiki semua hal tentang dia, terutama satu tahun terakhir hingga hari ini. Aku ingin tahu jejaknya, setiap langkah, setiap keberadaannya. Jangan lewatkan apa pun," perintahnya.
Clara menatap Deren dengan campuran lega dan khawatir. Lega karena Deren segera bertindak, khawatir karena apa yang mungkin mereka temukan bisa lebih berat daripada dugaan.
"Baik, Bos. Saya akan mulai dari catatan perjalanannya, aktivitas finansial, dan hubungan relasinya. Beri saya waktu," ujar suara di seberang.
"Tidak lebih dari dua puluh empat jam," Deren menutup telepon, nadanya tak bisa ditawar.
Mereka lalu menuju ke ruang tunggu yang kosong. Kursi-kursi biru berjejer rapi, sementara televisi di dinding menayangkan berita larut malam tanpa suara. Clara duduk, jemarinya meremas tas yang ada di pangkuannya.
"Babe, kalau benar si brengsek itu sengaja datang ke sini apa maksudnya? Bukankah selama ini dia tidak pernah mencari Lucia lagi? Bukankah pernikahan mereka sudah lama berakhir?" tanya Clara untuk spekulasinya.
Deren duduk di sebelahnya, bahunya tegak, aura protektif memancar dari dirinya. "Ya, tapi orang seperti Samuel jarang benar-benar pergi. Mungkin ada sesuatu yang belum selesai, atau sesuatu yang baru. Dan itu yang harus kita ketahui sebelum dia mendekat lagi pada Lucia. Aku takut itu tujuannya, Lucia."
Clara mengangguk pelan, meski hatinya tetap resah. Bayangan Samuel di taman, wajahnya yang tampak muram namun juga penuh intensitas, kembali menyergap pikirannya. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu, campuran penyesalan dan obsesi, yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Larut malam, setelah memastikan Lucia tertidur dengan tenang di kamarnya, Evan kini menemui Deren di lobi kecil rumah sakit. Deren tengah berdiri di dekat jendela besar, memandangi halaman luar yang diterangi lampu taman.
"Orangmu sudah mulai bekerja?" tanya Evan mendekat.
"Ya," jawab Deren, matanya tak lepas dari pemandangan luar. "Dia akan menelusuri rekam jejak Samuel. Aku ingin tahu ke mana saja dia pergi dalam satu tahun terakhir. Aku ingin tahu siapa saja yang ditemuinya. Dan yang paling penting, apa tujuan sebenarnya dia kembali muncul di hadapan Lucia."
Evan menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku hanya takut kalau semua ini akan melukai Lucia lagi. Dia baru saja berusaha bangkit dari semua trauma. Kehadiran Samuel bisa menghancurkan segalanya. Dasar pria brengsek."
Deren menoleh padanya, sorot matanya lembut namun tegas. "Itu sebabnya kita harus bergerak cepat. Aku tidak akan membiarkan Lucia terluka lagi. Tidak kali ini."
Kata-kata itu menjadi janji tak terucap, sebuah tekad yang mengikat keduanya dalam misi yang sama: melindungi Lucia dari bayangan masa lalu yang tiba-tiba kembali menghantui.
Keesokan paginya, penyelidikan mulai menemukan jejak. Deren menerima pesan singkat dari orang kepercayaannya:
"Bos, saya menemukan sesuatu. Samuel Davidson sepertinya berhubungan dengan kelompok bawah tanah, dia menjalin kerjasama dan terdapat jejak bertemu dengan anggota ilegal."
Deren mengerutkan kening membaca laporan itu. Clara, yang duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi hangat, segera menangkap perubahan ekspresi itu.
"Ada kabar?" tanyanya cepat.
Deren mengangguk pelan. "Samuel berkerja sama dengan sindikat bawah tanah."
Clara terdiam. Pikirannya berputar-putar. "Lalu apa yang membuatnya datang ke rumah sakit ini? Apa yang sebenarnya dia cari?"
Deren menatapnya lama, lalu berkata lirih, "Jawabannya hanya ada pada Samuel sendiri. Dan aku berniat menemukannya."
Hari-hari berikutnya, penyelidikan semakin dalam. Orang-orang Deren menelusuri dokumen-dokumen, catatan hotel, hingga transaksi kartu kredit yang samar. Satu per satu potongan puzzle mulai terbentuk, meski gambarnya masih kabur.
Laporan lain masuk: "Samuel pernah terlihat bertemu seseorang di sebuah kafe kecil dekat pelabuhan. Identitas orang itu belum jelas, tapi kemungkinan besar bukan orang lokal."
Clara, yang melihat kabar itu, merasa ada ketegangan baru. "Pelabuhan? Itu tempat yang ramai dengan lalu lintas orang asing. Bisa jadi dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang dari luar negeri."
Deren menatap Clara, lalu mengangguk. "Dan itu membuat segalanya semakin berbahaya. Kita tidak tahu siapa yang berada di balik semua ini. Bisa jadi lebih dari sekadar urusan pribadi."
Clara meremas tangannya sendiri. Hatinya semakin cemas, tapi juga semakin ingin tahu.
Suatu sore, Clara dan Deren duduk berdua di kafe rumah sakit. Di tengah hiruk pikuk pengunjung yang datang dan pergi, mereka berbicara dengan suara pelan, seolah takut ada telinga lain yang ikut mendengar.
"Aku merasa ... semua ini bukan sekadar tentang masa lalu Lucia,"kata Clara, matanya menatap gelas teh di depannya. "Ada sesuatu yang lebih besar. Samuel bukan tipe orang yang rela kembali hanya karena rasa bersalah."
Deren menegakkan tubuhnya. "Aku juga berpikir begitu. Samuel tidak pernah melakukan sesuatu tanpa tujuan. Dan aku curiga, tujuan itu ada hubungannya dengan Lucia."
Clara menatapnya, wajahnya pucat. "Maksudmu dia kembali bukan hanya karena ingin melihat Lucia, tapi karena ada sesuatu pada diri Lucia?"
Deren tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap jauh, ke arah jendela besar di sisi kafe, di mana cahaya senja menembus kaca dengan redup keemasan. Ada sesuatu dalam pikirannya, sebuah kemungkinan yang terlalu gelap untuk ia ucapkan.
"Aku belum yakin," kata Deren.
Malam itu, Deren kembali menerima panggilan dari orang kepercayaannya. Suaranya terdengar tegang.
"Bos, saya menemukan sesuatu yang penting. Samuel tampaknya terlibat dalam jaringan bisnis gelap. Ada beberapa transaksi mencurigakan terkait penjualan aset dan dokumen rahasia. Dan ada indikasi bahwa salah satu tujuannya kembali ke kota ini adalah untuk mencari seseorang, wanita."
Deren mengepalkan tangannya. "Siapa wanita itu?"
"Belum jelas. Tapi dari deskripsi yang kami dengar kemungkinan besar itu mantan istrinya," jawab Informan itu dari seberang telepon.
Hening panjang menyelimuti. Deren memejamkan mata, mencoba menenangkan gejolak emosinya.
"Teruskan penyelidikan," katanya akhirnya. "Aku harus tahu apa yang dia inginkan dari Lucia."
Kabar itu membuat Clara sulit tidur. Ia duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap wajah Lucia yang terlelap dengan damai. Bayangan Samuel kembali menari di benaknya, semakin menebarkan rasa was-was.
Malam itu, janji itu tertanam kuat dalam hati Clara. Sebuah janji yang akan membawanya semakin jauh dalam pusaran misteri kehadiran Samuel Davidson.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih