Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Dua hari kemudian dokter sudah memperbaiki Karan untuk pulang.
Karan menggandeng tangan Helena dan berjalan keluar rumah sakit.
"Ayo sayang, kita bulan madu sekarang." ajak Karan.
Helena membelalakkan matanya saat mendengar ajakan suaminya.
"Mas Karan, yakin mau berangkat sekarang?" tanya Helena.
Karan menganggukkan kepalanya dan kemudian ia menggandeng tangan istrinya.
Ia memberikan uang kepada Dion untuk mengajak Sinta menonton bioskop.
Dion tersenyum malu-malu saat Karan memberikannya uang.
"Anggap saja itu bonus dan kamu boleh cuti selama dua minggu sampai aku pulang." ucap Karan.
Dion menganggukkan kepalanya dan kemudian ia melajukan mobilnya menuju ke bandara.
"Tuan, saya sudah menyiapkan hotel, mobil dan semua yang anda butuhkan saat di Paris. Saya harap semoga saat pulang ada berita bagus."
"Terima kasih, Dion. Kamu tenang saja, aku akan memberikan istriku anak-anak yang lucu." ujar Karan.
Helena yang mendengarnya langsung tertawa kecil dan mencubit lengan suaminya.
"Mas, jangan bikin malu aku." ucap Helena.
"Sayang, untuk apa malu? Aku ingin punya anak kembar."
Tak berselang lama mereka telah sampai di bandara.
"Dion, aku titip rumah dan semua. Jika ada kabar tentang adikku atau apa. Langsung kabari aku." pinta Karan.
"Siap, Tuan. Aku akan selalu mengabari anda."
Kemunculan Karan dan Helena masuk ke dalam bandara.
Karan melambaikan tangannya ke arah Dion dan memberikan tanda agar lekas pulang.
Karan dan Helena melangkah masuk ke dalam terminal bandara, tangan mereka tetap erat tergenggam.
Helena menatap sekeliling, matanya berbinar-binar karena antusias dan sedikit gugup.
“Mas, ini pertama kalinya aku ke luar negeri,” ucap Helena pelan, suaranya dipenuhi kegembiraan.
Karan tersenyum hangat, menatap istrinya dengan penuh cinta.
“Tenang, sayang. Aku akan pastikan semua nyaman dan menyenangkan. Paris menunggu kita.”
Mereka berjalan ke counter check-in sambil sesekali saling menatap dan tersenyum malu-malu.
“Hel, siap untuk petualangan kita?” tanya Karan sambil menyandarkan kepala ke bahu istrinya.
Helena menganggukkan kepalanya dan bibirnya tersenyum lebar.
“Siap, Mas. Aku nggak sabar ingin lihat semua yang kamu ceritain tentang Paris.”
Setelah selesai urusan check-in dan keamanan, mereka duduk di ruang tunggu.
Helena menggenggam tangan Karan erat, matanya terus menatap wajah suaminya.
“Mas, aku senang banget akhirnya kita bisa pergi berdua tanpa ada masalah,” ucap Helena pelan.
Karan menatap istrinya, matanya berbinar penuh kasih sayang.
“Sayang, setelah semua yang kita lalui, aku ingin kita buat kenangan yang nggak akan terlupakan. Ini awal baru kita.”
Pesawat dipanggil untuk boarding, dan mereka melangkah masuk bersama, tangan tetap tergenggam.
Di dalam pesawat, Karan menatap jendela dan kemudian menoleh ke Helena.
“Hel, lihatlah langit yang sangat cerah, seperti hidup kita yang sekarang. Bersih dan penuh harapan.”
Helena tersenyum, menempelkan kepalanya di bahu suaminya.
“Mas, aku janji akan selalu ada di sisi Mas, seperti Mas selalu ada buat aku.”
Karan membalas pelukan itu dengan erat, menatap luar jendela sejenak sebelum kembali menatap Helena.
“Aku janji, Hel. Setiap langkah kita ke depan, aku akan pastikan selalu ada kamu di hatiku. Selamanya.”
Pesawat mulai lepas landas menuju ke Paris tempat mereka bulan madu.
Pramugari menghampiri mereka berdua dan memberikan Snack, jus jeruk dan kopi untuk Karan.
"Excusez-moi, y a-t-il autre chose ? Pas de café. Mon mari vient de sortir de l'hôpital." ucap Helena yang meminta pramugari untuk tidak memberikan kopi kepada Karan.
Karan sedikit terkejut ketika mendengar perkataan dari istrinya yang teryata bisa bahasa Perancis.
"D'accord, Madame. Je vais chercher du jus de carambole pour M. Karan."
Pramugari membawa kopi tadi dan menukarnya dengan Jus belimbing.
Helena tersenyum kecil melihat Karan menerima jus belimbingnya.
“Mas, jangan minum kopi. Aku nggak mau kamu makin capek setelah operasi,” ucap Helena sambil menepuk lembut tangan Karan.
Karan menyesap jus itu pelan, lalu menatap istrinya dengan mata berbinar.
“Hel, kamu bisa bahasa Perancis?”
Helena mengangguk sambil tersenyum malu-malu.
“Aku belajar sedikit waktu masih di sekolah dulu. Nggak banyak, tapi cukup buat minta yang penting-penting,” jawabnya pelan.
Karan tersenyum hangat, lalu menggenggam tangan Helena lebih erat.
“Hebat, sayang. Aku bangga banget sama kamu.”
Helena menundukkan kepala sebentar, pipinya memerah, tapi hatinya hangat karena dipuji suaminya.
“Kamu juga hebat, Mas. Kamu selalu perhatian sama aku, sampai hal-hal kecil kayak gini pun kamu inget.”
Karan mencondongkan tubuh, mencium pelipis Helena dengan lembut.
“Karena aku mau setiap detik kita bersama itu nyaman dan menyenangkan. Aku ingin kamu ngerasain betapa berharganya dirimu buat aku.”
Helena tersenyum tipis, menatap Karan dengan mata penuh cinta.
“Mas, kalau seperti ini. Aku nggak mau bulan madu ini berakhir,” ucapnya sambil menyandarkan kepala di bahu Karan.
Karan menepuk lembut bahu istrinya, matanya menatap langit biru di luar jendela pesawat.
“Tenang, Hel. Ini baru awal. Paris menunggu kita, dan aku janji, setiap momen akan kita nikmati bersama, tanpa ada yang bisa ganggu kita lagi.”
Pesawat terus melaju ke ketinggian optimal, meninggalkan awan putih di bawah.
Sementara itu di tempat lain dimana Dion akan menjemput Sinta dan akan mengajaknya menonton bioskop.
Dion mengetuk pintu rumah Sinta dan berharap ia ada di rumah.
"Sinta! Apa kamu ada di rumah?" tanya Dion.
Dion kembali mengetuk pintu rumah Sinta, tetapi masih tidak ada jawaban.
Ia mencoba untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.
Saat masuk kedalam ia dikejutkan dengan Sinta yang tergeletak pingsan.
"SINTA!!"
Dion melihat darah menstruasi yang keluar begitu banyak.
Ia melepas jas nya untuk menutup tubuh bagian bawah Sinta.
Kemudian ia langsung membopong dan membawanya ke dalam mobil.
Dion segera melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
"Sin, tolong bertahanlah. Jangan tinggalkan aku." ucap Dion sambil mempercepat laju mobilnya.
Tak berselang lama Dion menghentikan mobilnya di depan ruang UGD.
Dokter dan perawat langsung membantu Dion yang menaruh Sinta ke ranjang dorong.
Perawat meminta Dion untuk menunggu di depan ruang UGD.
Dion mondar-mandir di depan ruang UGD dengan raut wajah yang cemas.
Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah serius.
“Pak Dion, Ibu Sinta kondisinya sudah stabil untuk sementara. Namun hasil pemeriksaan hormon dan kondisi reproduksinya menunjukkan gangguan serius. Ada kemungkinan besar Ibu Sinta tidak dapat memiliki anak.”
Dion menelan ludah, hatinya seketika sesak, namun ia tetap menahan emosinya.
Dokter memberi isyarat agar Dion diperbolehkan masuk.
Dion melangkah perlahan ke dalam, menatap Sinta yang masih terbaring di ranjang.
Sinta menatapnya dengan mata berkaca-kaca, wajahnya pucat dan penuh rasa bersalah.
“Dion, kamu harus pergi. Tinggalkan aku saja,” ucapnya lirih, suaranya hampir tersedak.
Dion menunduk sebentar, kemudian meraih tangan Sinta dan menggenggamnya dengan lembut.
“Sin, jangan bilang begitu. Aku di sini, dan aku nggak akan pergi kemanapun,” ucap Dion dengan suara tenang namun tegas.
Sinta menundukkan wajahnya, air mata menetes pelan.
“A-aku nggak bisa memberikan kamu anak, Dion. Aku nggak bisa jadi istri yang sempurna buatmu,” bisiknya sambil menahan isak.
Dion mengangkat wajah Sinta perlahan dengan jari-jarinya, menatap matanya langsung.
“Shhh… jangan bicara dulu, Sin. Nggak usah pikirkan itu sekarang. Yang penting kamu sehat, itu yang utama. Sisanya, kita bisa jalani bersama-sama,” ucap Dion sambil menepuk lembut tangan Sinta.
Sinta menatap Dion, hatinya terasa hangat dan tenang meski rasa bersalah masih menghantui.
Dion menggenggam kedua tangan Sinta, menahannya dekat dada, memastikan ia merasakan ketulusan dan kepedulian yang tulus dari pria di hadapannya.
“Sekarang, istirahatlah dulu. Aku di sini, Sin. Aku nggak akan pergi,” bisik Dion pelan, membuat Sinta perlahan menutup matanya dan sedikit tenang, merasakan kehadiran Dion yang menenangkan hatinya.