Bring You Back

Bring You Back

Pertemuan

Seorang wanita berusia 23 tahun berjalan cepat memasuki sebuah ruangan sambil menggendong bayinya yang berusia 1 tahun. Bibirnya tersenyum tipis menatap sang suami yang tengah serius membaca sebuah dokumen.

"Ar," panggilnya lembut, berhasil menarik perhatian Arkan. Dokumen dalam genggamannya ia tinggalkan, beralih pada sang istri dan putranya.

Mata tajamnya menelisik istrinya—Charissa—dari atas hingga ke ujung kaki. Wanita dengan panjang rambut sebahu dan kacamata bertengger di wajah itu sudah begitu rapih.

"Kenapa?" tanya wanita itu dengan kening mengerut.

"Kau ... jadi ikut?"

"Hm." Charissa mengangguk.

"Aku rasanya tidak rela kau ikut—"

"Ar, kau serius? Kau tidak kasian sama Mama? Dia sendiri yang minta aku ikut ke acara amal itu. Ini pertama kalinya. Mama tidak pernah meminta ini itu pada kita, kan? Aku yakin, Mama kalau tidak sedang sakit pasti akan menghadiri acara itu tanpa perwakilan."

Arkan menarik nafas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan tak enak, khawatir dan gelisah. "Perasaanku tak enak," ungkapnya.

"Hanya perasaan mu." Charissa tersenyum. "Pak Mat sudah menunggu. Aku harus berangkat sekarang. Mama sudah di perjalanan kemari. Dia akan bantu kau menjaga Kean."

"Kean tidak cocok dengan Mama, kau tahu itu."

Charissa menarik nafasnya. "Mama datang bersama seorang pengasuh."

"Tidak perlu. Aku tidak jadi di rumah. Aku ke kantor saja bersama Kean."

Charissa terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, aku titip Kean. Aku akan segera pulang begitu acaranya selesai." Charissa mencium seluruh wajah putranya, kemudian menyerah kan bayi tersebut pada Arkan.

Arkan menghembuskan nafasnya sedikit kasar. Ia menggendong Kean, lalu memeluk sang istri sambil mengecup puncak kepala wanita itu.

Keduanya kemudian bersama-sama menuju halaman depan. Charissa segera memasuki mobil ketika Pak Mat sudah membukakan pintu untuk dirinya.

Arkan menarik nafas dan menghembusnya. Sudah beberapa kali ia melakukan hal tersebut, namun masih tak bisa menyamarkan ingatannya tentang sang istri, tentang hari dimana ia kehilangan istrinya dalam insiden kecelakaan, tentang seperti apa perasaannya saat itu sebelum Charissa berangkat ke acara amal.

Masih ia ingat dengan jelas, bagaimana putranya menangis usai Charissa dimakamkan. Bayi mungil itu cukup jarang menangis. Namun, malam itu ia menangis dengan kencang, seolah mengatakan jika ia tengah bersedih atas kehilangan sang Mama.

"Seandainya aku tidak luluh dan tetap menahan mu agar tidak pergi, mungkin kita masih bersama hingga saat ini, Charissa." Arkan bergumam pelan sambil mengusap foto sang istri.

"Papa?"

Arkan menoleh. Pandangannya tertuju tepat ke arah pintu kamar yang setengah terbuka. Segaris senyum terukir di bibirnya ketika melihat putranya—Keandra Artama Kusuma—berdiri disana.

"Sini." Arkan melambaikan tangan, meminta Kean mendekat. Lelaki kecil itu berlari kecil ke arah Arkan, dan langsung digendong Arkan ke atas pangkuannya.

"Belum tidur, hm?"

Kean mengangguk kecil. "Papa tidak mau temani Kean tidur lagi?"

Arkan tersenyum tipis. Karena terlalu tenggelam dalam moment masa lalu, ia lupa jika putranya setiap malam hanya akan tidur jika ia temani atau mendengar suaranya. "Maaf, Papa lupa. Ayo, kita ke kamar. Papa akan temani Kean Sampai tertidur."

Arkan beranjak sambil membawa Kean dalam gendongannya. Putranya tidak boleh merasakan kekurangan kasih sayang, walau sebenarnya kasih sayang yang ia berikan tak mampu menggantikan kasih sayang seorang ibu.

Arkan membaringkan putranya lalu mulai membacakan dongeng untuk anak tersebut hingga ia terlelap.

"Sudah 4 tahun Charissa, Kean sudah besar. Putra kita tumbuh dengan sehat. Kau pasti senang melihatnya dari sana," gumam Arkan.

***

Hari libur adalah waktu untuk Kean memiliki Papa nya sepenuhnya. Arkan memutuskan untuk benar-benar meliburkan pekerjaannya untuk menemani sang putra di hari libur. Hari ini, setelah Arkan dan Kean mengunjungi makam Charissa, Arkan bersama putranya mampir ke taman. Kean sangat senang.

Anak lelaki itu membawa bola untuk ia mainkan bersama Ayahnya di taman.

"Tendang Pa," ucap Kean semangat. Arkan tentu saja menuruti permintaan putranya. Ditendangnya bola tersebut ke arah Kean. Namun, tendangannya cukup kencang hingga tak bisa ditahan Kean.

"Yah .... " Kean mendesah lelah.

"Maaf, biar Papa ambilkan."

"Kean saja. Papa tunggu Kean disini," ujarnya langsung berlari semangat ke arah bola yang menggelinding.

Sementara itu, bola yang dikejar Kean berhenti menggelinding saat mengenai kaki seorang wanita yang duduk di kursi panjang taman. Wanita itu menunduk dan mendapati sebuah bola di kakinya.

"Maaf, Tante. Itu bola Kean."

Suara seorang anak kecil mengalihkan tatapannya. Ia menatap anak itu lalu tersenyum. Wanita itu meraih bola tersebut kemudian ia arahkan pada Kean.

"Ayo, ambil," ujarnya sambil tersenyum lembut.

Kean mendekat dan segera meraih benda bulat itu. "Terima kasih, Tante cantik."

"Sama-sama," balas wanita itu sambil mengusap kepala Kean. "Kau bersama siapa disini?"

"Aku bersama Pa—"

"Kean?"

"Papa." Kean tersenyum lebar dan langsung berlari ke arah Papa nya. Arkan segera menangkap putranya dan membawa nya dalam gendongan.

"Kenapa lama sekali? Papa jadi khawatir," ujar Arkan fokus menatap Kean sambil mengusap rambut lebat putranya tersebut.

"Maaf, saya mengajak anak anda bicara." Wanita itu tiba-tiba menyela, menarik Arkan untuk menatap ke arah nya.

Deg!

Arkan membeku. Tatapannya lekat menatap ke arah wanita tersebut dengan jantung berdegup kencang.

Charissa?

"Pak?"

Arkan tersentak, kembali ke alam sadar setelah beberapa saat larut dalam mencerna kehadiran wanita di hadapannya saat ini. Seorang wanita yang begitu mirip dengan mendiang istrinya—Charissa—namun, berbeda dari segi penampilan.

Wanita di hadapannya berambut panjang sepinggang tanpa mengenakan kacamata, sedangkan mendiang istrinya memiliki rambut sebahu dan selalu mengenakan kacamata.

"Papa, Tante cantik ini yang sudah ambilkan bola untuk Kean." Arkan menoleh, menatap putranya.

"Oh ya?"

"Iya. Ayo, ucapkan terima kasih pada Tante ini. Kean sudah berterima kasih tadi."

Arkan terkekeh pelan. "Baiklah." Kembali Arkan menatap wanita itu. Ekpresinya berubah biasa saja. "Terima kasih sudah membantu putra saya."

"Sama-sama."

Arkan mengangguk pelan. "Ya sudah. Ayo kita kembali. Bukankah sudah waktunya ke rumah nenek?"

"Ya, ayo. Kean ingin bermain bola bersama Kakek." Kean tersenyum kegirangan. "Siapa nama Tante cantik?" Kean memfokuskan tatapannya pada wanita itu.

"Nama Tante, Anin."

"Aku Kean. Tante sangat cantik. Semoga kita bisa ketemu lagi. Aku pasti akan menyapa Tante cantik."

"Terima kasih. Kau juga tampan."

Kean mengangguk. "Terima kasih. Kalau begitu, aku dan Papa pergi dulu." Wanita bernama Anin itu tersenyum dan mengangguk. Sejenak, matanya bertemu tatap dengan Arkan. Anin tersenyum, sementara Arkan hanya mengangguk kan kepala tanpa tersenyum. Ayah dan anak itu kemudian berlalu dari hadapan Anin.

"Kean. Semoga kita bertemu lagi di lain waktu," gumam Anin pelan, merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!