Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
“Adam?”
Bukan hanya Laras yang terkejut mendengar pengakuan Adam, tapi juga Ratna yang seperti kebakaran jenggot.
Bayangkan dua anaknya jatuh cinta pada orang yang sama. Dan orang itu adalah orang yang paling tidak dia inginkan. Tapi, kalau dipikir-pikir masih mending Aluna kan daripada Laras?
“Ma, urusi dia. Mama yang memintanya datang kesini, aku ingin mencari Aluna!” ucap Adam menatap Ratna.
“Kau tak perlu lagi mencari Aluna. Bukankah kau sudah menceraikannya, Adam? Sekarang, jangan serahkan istrimu itu kepada Mama. Kau urus sendiri saja, tapi ingat jangan tinggal di rumah ini ataupun rumah Kiya. Kau harus mandiri bersama istrimu.” Sebuah suara tiba-tiba muncul, dan itu adalah Dimas.
Dimas sudah kembali dengan membawa beberapa dokumen yang diyakini itu pengalihan hak kepada Kiya dan Aluna.
“Biarkan Aluna hidup bahagia bersama Kiya. Papa sudah bosan melihat Mama yang memusuhi Aluna, melihat kamu yang selalu seperti merasa terpaksa. Jadi, tidak perlu lagi kau cari Aluna dan Kiya,” sambung Dimas.
“Tapi, Mas Arman menitipkan mereka padaku,” jawab Adam.
Selalu, Adam selalu menggunakan alasan itu untuk kembali bersama dengan Aluna. Dia seolah menanggung beban yang ditinggalkan oleh Arman.
“Biar Papa yang menjaga dan memberi mereka nafkah. Kiya cucu Papa, kau tidak perlu khawatir. Mereka tidak akan kelaparan. Papa tidak ingin membebanimu,” ujar Dimas.
“Berarti, Papa tahu dimana mereka?” tanya Adam.
Dimas menggeleng. “Untuk sekarang belum. Tapi, Papa rasa tidak berapa lama lagi akan tahu dia dimana.”
Dimas berlalu masuk ke dalam, sementara Adam hanya bisa duduk sambil memegang kepalanya.
Satu minggu kemudian….
“[Aluna, rumahnya sudah selesai kalau kamu mau pindah.]”
Begitulah pesan yang Aluna terima pagi ini dari Bu Sarni, dia tidak menyangka kalau ternyata Pak Basri dan Bu Sarni langsung membangun rumahnya dan selesai dalam waktu singkat.
“Ada apa?” tanya Bi Yuli saat melihat Aluna tersenyum sumringah membaca pesan di ponselnya.
“Rumahku sudah jadi, Bi.”
“Jadi?”
“Aku dan Kiya sudah bisa tinggal disana. Kami sekarang memiliki rumah, Bi. Terima kasih sudah menampung aku dan Kiya selama seminggu ini,” jawab Aluna.
“Kamu itu keponakan Bibi. Sebenarnya Bibi maunya kamu tinggal disini saja, lebih aman. Tapi, Bibi juga tidak bisa memaksa.”
Aluna tersenyum. “Nanti kami akan sering main kesini kok, Bi.”
Aluna menyelipkan amplop kepada Bibinya, dia membagikan beberapa jumlah uang hasil penjualan rumahnya untuk sang Bibi. Dia tahu, Bibinya sedang membutuhkan uang untuk biaya kuliah dua sepupunya.
“Apa ini, Aluna?”
“Untuk Bibi dan adik-adik,” jawab Aluna sambil tersenyum.
“Tidak usah, Aluna. Ini untuk kamu dan Kiya saja. Kamu aja belum tahu mau kerja apa setelah kembali ke rumah, kamu butuh uang yang banyak, Kiya butuh susu agar tumbuh sehat,” ujar Bi Yuli menolak.
Aluna menggeleng dan menatap Bibinya dengan sendu. “Ibu sangat menyayangi Bibi. Ini juga uang hasil penjualan rumah ibu dan ayah. Kita sama-sama mencicipinya, Bi. Aku masih sisa banyak, Bi. Dan sisanya cukup untukku dan Kiya. Kalau bibi menolak, Ibu pasti sedih.”
Bi Yuli memeluk Aluna dengan erat, akhirnya beliau menerima pemberian Aluna itu. Kemarin tanpa sengaja, Aluna mendengar Bibinya mendapat telepon dari anaknya kalau mereka butuh uang untuk bayar semester. Bibinya sedang berusaha keras mencari uangnya.
Aluna memberikan Bibinya dua puluh juta, dia berharap itu bisa meringankan beban bibinya. Dan ibunya pasti senang bisa membantu adiknya.
“Nanti pulangnya biar Bibi dan Mamang antar ya, biar sekalian kami tahu tempat tinggal kamu,” ujar Bi Yuli.
“Terima kasih, Bi.”
Sehabis makan siang, Aluna dan Kiya pulang ke desa tempat tinggalnya, di belakang mereka ada Bibi dan Mamangnya yang mengendarai motor pinjaman dari tetangga. Bibinya tidak memiliki motor, itulah sebabnya mereka jarang bertemu.
Diujung desa, di pinggir sawah telah berdiri sebuah rumah sederhana, dindingnya semi permanen. Setengah beton dan setengahnya kayu. Dan tidak hanya didirikan rumah, Pak Basri dan Bu Sarni juga langsung memagari tanah itu agar Aluna dan Kiya lebih nyaman disana. Bukan pagar beton, tapi dengan kayu, itu sudah lebih dari cukup.
“Ya ampun, terima kasih Bu, Pak,” ucap Aluna tidak bisa menyembunyikan rasa harunya.
“Iya, semoga sesuai keinginan ya. Kemarin mau tanya kamu tapi lupa, karena melihat Adam dan Pak Dimas semuanya sibuk nyariin kamu, kami pikir pasti ada masalah. Jadi, cepat-cepat kami bangun rumahnya,” jawab Bu Sarni.
“Ngapain mereka nyari aku, Bu?” tanya Aluna heran.
“Gak tahu.”
Aluna masuk ke dalam rumah, bahkan Pak Basri sudah melapisi lantainya dengan keramik meskipun bukan keramik mahal. Tapi, rumahnya jadi sangat layak huni.
“Pak, kira-kira bapak jadi rugi gak nih?” tanya Aluna merasa tidak enak hati. Orang lain memperhatikannya begitu baik, sedangkan saudara ayahnya justru sibuk ingin merampas haknya.
Pak Basri tersenyum. “Gak lah, Nak Luna. Ini kebetulan beli keramik untuk renovasi rumah orang tuamu itu. Jadi, sekalian aja pasang disini. Takut nanti kiya mainnya jatuh, namanya anak kecil. Kalau di pasang keramik agar lebih enak.”
Aluna memeluk Bu Sarni dengan erat.
“Ini peralatan dapurnya, kami bawa dari rumah orang tuamu, Aluna. Meskipun kamu bilang jual beserta isinya, kasihan juga kamu dan Kiya harus beli baru. Sedangkan anak ibu juga sudah punya. Jadi, ibu bawa kesini yang masih layak pakai, termasuk lemari-lemari,” ujar Bu Sarni.
“Terima kasih, Bu,” ucap Aluna sekali lagi, dia tidak bisa menahan tangisnya.
Bu Sarni sudah mendengar kalau Aluna telah bercerai dari Adam, jadi beliau tahu Aluna pasti membutuhkan perlengkapan rumah. Karena kabar begitu cepat menyebar di desa, mengatakan Aluna pergi dari rumah hanya membawa pakaian saja.
“Semoga kamu betah ya,” sambung Pak Basri.
Aluna dibantu oleh Bi Yuli dan suaminya, membersihkan sekitar rumah, terutama di tanah kosong itu. Mereka kasihan kalau Aluna membersihkannya sendiri.
“Bi, biar nanti aku saja bersihinnya pelan-pelan,” ujar Aluna merasa tidak enak melihat Bibi dan Mamangnya malah sibuk membersihkan sekitar rumahnya.
“Udah gapapa, dapat sedikit lumayan, bisa langsung kamu tanami besok. Setelah hari ini entah kapan kami bisa kesini lagi,” jawab Bi Yuli.
“Iya, biar halamannya bersih dulu, Luna. Biar Kiya mainnya enak,” sambung mamang.
Aluna merasa bersyukur, masih ada keluarga yang peduli padanya. Disaat itu, tetangga yang sedang di sawahnya juga mendekat saat melihat rumah itu sudah ada yang menghuni, betapa terkejutnya saat tahu ternyata Aluna yang akan tinggal disana.
“Sekarang, Adam dan istrinya yang dari kota itu tinggal ngontrak loh. Entah, katanya gak diajak pak Dimas,” ujar Bu Lina.
“Laras disini?” tanya Aluna. Darahnya terasa naik ke kepala, meskipun dia sudah cerai dengan Adam, masih ada rasa hati yang diremas mendengar Adam sudah membawa Laras ke desa ini.
“Iya. Gayanya astaga, entah mengapa Adam malah menikah dengan cecunguk gitu, padahal lebih bagus sama kamu.”
Punya istri dan mertua cuma dijadikan mesin atm berjalan doang!
Gimanaa cobaa duluu Adam liatnya.. koq bisaa gituu milih Laras.. 🤔🤔🤦🏻♀️🤦🏻♀️😅😅
Terimakasih Aluna kamu sudah mau membantu Adam membuka kebusukan Laras semoga Adam bisa secepatnya menyelesaikan masalahnya dengan Laras dan bisa lebih dewasa lagi kedepannya 💪