Karna sakit hati, aku merencanakan menggoda lelaki sok alim yang sering menesehati hubungan haram dan halal padaku. Tapi malam itu, harusnya aku berhenti dan mencibirnya setelah berhasil membuatnya tunduk dengan nafsu. Tapi bukan begitu yang terjadi.
.
.
Saat dia membuka mulut dan membalas ciumanku, aku merasakan ada satu rasa yang tak pernah kurasakan. Perasaan yang kuat hingga aku tak bisa berhenti melepaskannya. Tubuhku mulai meliuk-liuk ketika dia meletakkan tangannya di pinggangku.
"Ahh---" Cimannya terhenti saat aku mulai menggerakkan pinggul diatas pangkuannya.
.
.
"Maaf, semua ini tidak seharusnya terjadi. Saya salah, saya berdosa. Saya biarkan kita berzina."----Adam.
.
.
"Oh, setalah puas, baru Lo ingat dosa? Sedang enak-enak tadi Lo lupa? Cih! Gak usah deh berlagak sok alim lagi di depan gua! Munafik Lo!" Winda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Siang itu, selesai memasak, aku kirim satu pesan pada Adam
Adam, kamu mau makan siang di rumah Mama gak?
Kunantikan balasan pesannya, tapi sudah 10 menit berlalu pesanku belum juga di balas.
Sungguh, aku kecewa.
"Winda, mari makan," ucap Mama mengajakku .
"Ya," sahutku, lalu men-silentkan ponsel dan kuletakkan begitu saja di ruang tamu. Mungkin mama menyadari wajah manyunku, tapi dia tidak bicara apa-apa.
Sorenya, akhirnya Adam muncul di rumah mama ketika aku sedang menonton TV bersama mama dan bi Ijah.
Baru mendengar suara mesin mobil di luar, mama sudah menyuruhku agar menyambut Adam, tapi aku malas. Aku masih kecewa padanya dan untungnya mama orangnya gak bawel.
Akhirnya bi Ijah lah yang membuka pintu.
Adam masuk kedalam rumah masih menggunakan kemeja putihnya. Dia menyalami mama yang duduk di sebelahku. Sedang aku masih melihat ke arah TV. Dapat kurasakan 2 pasang mata yang sedang memandang kearahku, tapi aku masa bodoh.
"Ma, Adam kekamar dulu ya? Mau mandi sebenatar," ucapnya meminta izin karna aku masih cek padanya.
Baru saja Adam hilang dari ruang tamu, mama menghela nafas panjang.
"Princes Mama kenapa? Ribut lagi dengan Adam?" tanya mama.
"Gak kok, Ma. Biasa aja. Mama gak usah khawatir, Winda cuma lagi badmood aja sama dia," jawabku.
Mama mematikan TV, kemudian meraih kedua tanganku.
"Winda, bukan begitu cara menyambut suami yang baru pulang. Percaya sama Mama. Sebagai istri jangan terlalu menurut ego dan emosi."
"Kan mama sendiri yang bilang, jangan terlalu sibuk dengan kerja sampai mengabaikan keluarga. Sekarang coba Mama lihat, Adam terang-terangan sibuk sampai mengabaikan. Winda. Jadi, Winda ada hak untuk marah," balasku. Tanganku yang di genggam mama kutarik, lalu kulihat di dada.
"Iya, tapi Winda harus paham juga. Kerja itu tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga. Lagian, Mama ndak merasa Adam mengabaikan Winda. Meski dia sibuk, tapi dia masih pulang kerumah dan wajahnya juga terlihat gembira saat melihat Winda. Nasehat mama kemarin itu, jangan terlalu sibuk sampai mengabaikan keluarga, itu untuk istri. Bukan untuk suami. Karna tugas suami memang untuk bekerja, menafkahi istrinya."
"Ma, please? Winda gak mau ribut dengan Mama masalah Adam ini. Suami atau istri sama aja. Keluarga harusnya jadi prioritas utama."
"Iya, itu benar. Tapi pernah tidak Winda terpikir bagaimana kalau berada di posisi Adam? Selama ini dia berjuang sendiri. Tidak ada tempatnya bergantung untuk menopang keuangan jika dia perlu. Bukan seperti Winda, setiap bulan di kasih uang, ndak perlu bekerja, ndak perlu mikir untuk membayar tanggungan."
Kata-kata mama yang begitu pedas membuat hatiku ngilu.
"Kita sama tahu, bagaimana kisah hidup Adam masa dulu? Winda belum melupakannya kan? Selama ini, dia bertahan hidup dengan hasil keringatnya sendiri. Pernah ndak Winda berpikir berapa banyak uang simpanan dia yang sudah di habiskan untuk pernikahan kalian?"
Keningku berkerut, karna aku merasa semua biaya pernikahanku kemarin itu tanggungan papa dan mama. "Bukannya acara pernikahan itu menggunakan uang Papa dan Mama?"
Mama menggeleng pelan.
"Bukan, tapi Adam yang membiayai semuanya. Dia memberikan check 100 juta untuk acara pernikahan kalian. Jadi, Mama dan Papa gunakan uang itu untuk membeli set perabotan kamar pengantin, baju pernikahan, bayar sewa pelaminan dan ketering. 100 juta untuk orang seperti Adam, itu tidak sedikit, Winda."
Hatiku bagai di remas mendengar cerita mama. Merasa belum cukup, mama menambahkan lagi.
"Winda harus paham, Adam baru pindah ke Indonesia. Jika dulu dia hanya menanggung kehidupannya sendiri, tapi setelah menikah dia harus menanggung semua kebutuhan Winda. Dari mana dia dapat membayar cicilan rumah, cicilan mobil, dan biaya rumah tangga-"
"Maksud Mama, mobil Winda?" Aku menyela.
Mama mengangguk, "iya. Setelah Adam bertemu dengan Papa untuk meminta restu menikahi Winda. Sejak saat itu, semua keperluan Winda, dia yang menanggung. Yang belanja, kredit mobil, semua dia ambil alih."
Kubenamkan wajah di kedua telapak tangan.
"Winda rasa dengan Adam bekerja sebagai dosen pengganti di universitas Winda itu bisa memenuhi semua keperluan kalian? Mama bukan merendahkan Adam, tapi sebaliknya Mama paham apa yang sedang dia lakukan. Dia coba memenuhi semua yang Winda butuhkan. Jadi apa salahnya Winda hargai usaha Adam? Sambut kedatangan dia, layani dia dengan baik, masak sekali untuk ya. Mama rasa itu tidak sulit. Mama ndak mau, princes Mama ini, mengulang kesalahan yang pernah Mama lakukan."
Mama menarik tanganku yang sejak tadi kugunakan menutup wajah.
Sungguh, andai mama tidak menegur sikapku hari ini, mungkin aku akan terus terusan ngambek, sampai Adam membujukku lagi. Karna memang egoku ini begitu tebal. Untuk seketika, aku coba membayangkan andai Adam berada di posisiku, besar dengan kemewahan dan tak pernah merasa hidup susah, tapi itu bukanlah realita hidupnya.
"Buang gengsi dan ego dalam diri. Mama sangat kenal sikap Winda, karna itu sikap jelek Mama dan Winda warisi semua itu. Tapi lihatlah, apa yang terjadi sekarang pada Mama? Mama ndak mau kesalahan Mama dulu, terulang lagi pada Winda." Mama terus saja bicara sambil me-lap pipiku yang sudah basah.
"Ya," sahutku dan mengangguk pelan.
Bukankah dulu aku memang ingin menyelamatkan pernikahan ini? Memang rasanya tidak adil, di sebebkan kesibukannya, aku ingin menjauhkan diri dan ngambek terus-terusan. Bukankah dulu aku pernah berjanji akan jadi istri yang terbaik untuk Adam?
Dengan semangat baru, aku bangun dari sofa, lalu menaoaki tangga menuju kamarku.
Sesampainya di kamar, Adam tak ada. Kuperiksa juga kamar pengantin kami. Ternyata Adam sedang mandi di kamar ini. Bunyi air shower di dalam kamar mandi jelas terdengar. Kuambil dan kucium baju kemeja putihnya yang berada di tempat pakaian kotor, masih tersisa aroma keringat bercampur parfumnya. Dan entah kanapa aku malah horny dengan aroma ini.
Bersamaan dengan itu, ide gila melintas di kepala. Tapi, beranikah aku melakukan hal nekat itu? Ah, tapi dia kan suamiku. Apa salahnya menunjukkan sikap manjaku padanya sesekali.
Satu
Dua
Aku mulai menghitung dan pada hitungan ketika, pintu kamar mandi yang tidak bisa terkunci itu kubuka. Perlahan aku melangkah masuk, sedang Adam masih berada di bawah guyuran shower tanpa seurat benang, berdiri membelakangiku. Dia menunduk menyandarkan kepalanya di dinding, kedua tangannya juga di topang ke dinding, diam tak bergerak.
Sungguh, apa yang kulihat di depan mataku ini sangat seksi dan sensual. Air yang mengalir di kulitnya menangkap cahaya lampu yang menerangi kamar mandi.
Tapi, ada yang aneh? Posisi tubuhnya kelihatan sedang tertekan, sedih, stress.
Why?
Dia kenapa?
Apakah aku penyebabnya?