Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 01
Blurb
"Apa-apaan ini?" bisiknya panik.
Raveena melirik sekeliling. Dinding berlapis marmer, seprai putih yang lagi-lagi bergambar langit biru dan awan putih. Sebuah meja dengan tumpukkan buku dan dokumen yang tertata, hingga terpampang sebuah cermin persegi panjang yang berdiri di dekat jendela.
Dengan langkah limbung, Raveena pun mendekat.
"ASTAGA! APA YANG TERJADI DENGANKU?!" teriaknya nyaring, memantul ke seluruh sudut ruangan.
......................
Siang itu kantor terasa seperti ruang tahanan dengan AC yang nyaris tak berfungsi dan rekan kerja yang makin hari semakin sibuk. Di salah satu sudut ruangan, Raveena duduk dengan ekspresi masam sambil mengetik seenaknya. Bukan karena ia sedang fokus bekerja, tapi karena baru saja dimarahi atasan pagi tadi.
"Dia pikir semua pekerja di sini untuk jadi budak spreadsheet," gerutunya lirih sambil mengetik brutal.
Grace yang sejak tadi memperhatikan dari meja sebelah, sudah bisa menebak mood temannya. Ia pun menimbang-nimbang, apakah saat ini waktu yang tepat untuk bicara? Atau justru akan menjadi korban ledakan emosi berikutnya?
"Baru pukul dua, tapi raut wajahmu seperti jam sembilan malam pada hari Senin," sindir Grace pelan, mencoba mencairkan suasana.
Raveena mendesah berat. "Hari Senin justru lebih mending. Setidaknya aku datang dengan harapan."
"Dan hari ini?" timpal Grace penasaran.
"Datang dengan niat membakar gedung," celetuk Raveena sekenanya.
Grace tertawa kecil, meski tahu itu bukan sepenuhnya bercanda.
Raveena bersandar di kursinya, memutar-mutar pulpen di tangan. "Kukira jadi dewasa berarti bebas menentukan hidup. Nyatanya, cuma ganti bentuk perbudakan. Dulu sekolah, sekarang kerja. Besok disuruh nikah. Lusa disuruh punya anak. Kapan aku bisa tidur tanpa beban sosial?"
"Aku cukup yakin kalau jam istirahat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan beban eksistensialmu." Grace memperhatikan kelihaian jemari Raveena saat kembali mengetik penuh dendam.
"Kalau bukan sekarang, lalu kapan?" sahut Raveena sambil menatap tajam pekerjaannya. "Nanti ketika aku tua dan sadar, bahwa hidupku hanya dihabiskan untuk memenuhi tenggat waktu?"
Grace menahan senyum. Sudah sering ia menyaksikan drama filosofis Raveena setiap kali gadis itu merasa tertindas oleh kehidupan.
"Barangkali kau butuh hiburan yang sedikit lebih manusiawi daripada marah pada file Excel," ujar Grace, akhirnya menyisipkan niat tersembunyinya.
"Kau mengusulkan menonton telenovela murahan, atau mendengar podcast motivasi yang penuh kebohongan?" terka Raveena yang telah mengenal lama Grace. Jujur saja, itu memuakkan.
"Tidak dua-duanya. Aku hanya ingin kau membaca sesuatu."
Raveena mengangkat alis dengan tatapan penuh curiga. "Bacaanmu dan selera waras sering tidak sejalan, Grace. Aku tidak ingin menambah kerutan di dahi karena buku-buku absurdmu."
"Buku ini berbeda. Kau mungkin akan kesal, mungkin juga ingin meninju seseorang. Tapi bukankah itu kegiatan favoritmu?" Grace menyodorkan sebuah novel tebal dari dalam tote bagnya.
Raveena menatap sampulnya dengan tatapan ilfeel. "'Surat Terakhir di Langit Ketiga'? Judul yang terlalu puitis untuk akhir pekan yang menyebalkan," cibirnya.
"Anggap saja ini terapi. Tokohnya-" jeda Grace sambiln mengingat-ingat. "Cukup mengingatkanku padamu."
Raveena menyipit. "Kalau maksudmu ia sama menyebalkannya denganku, maka aku akan mengabaikan rekomendasimu ini."
"Tidak menyebalkan, tapi keras kepala," bisik Grace lalu berkata semakin lirih, "... dan tragis."
"Tragis?" Raveena menatap Grace lama. "Kau sungguh berpikir aku butuh tokoh tragis untuk membuat hidupku terasa lebih seimbang?"
Grace menghelan panjang. "Aku pikir kau butuh cermin."
Raveena mendecak. "Kau benar-benar punya cara jahat untuk menyinggung harga diri seseorang, Grace."
"Tapi setidaknya aku tak menyuruhmu menikah seperti ayahmu," timpal Grace membela diri.
Kalimat itu sukses membuat Raveena terdiam sejenak. Kemudian ia tertawa getir. "Kau licik."
Grace mengangguk percaya diri. "Dan kau tetap akan membacanya."
Raveena mengambil novel itu, lalu menyelipkannya ke dalam tas kerjanya dengan raut malas. "Tapi jangan salahkan aku jika buku ini berakhir terapung di bak kamar mandi."
Grace hanya tersenyum. Ia tahu, Raveena akan membaca novel itu sampai habis.