Elizabeth bukanlah gadis yang anggun. Apa pun yang dilakukannya selalu mengikuti kata hati dan pikirannya, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Dan ya, akibat ulahnya itu, ia harus berurusan dengan Altezza Pamungkas—pria dengan sejuta pesona.
Meski tampan dan dipuja banyak wanita, Elizabeth sama sekali tidak tertarik pada Altezza. Sayangnya, pria itu selalu memiliki seribu cara agar membuat Elizabeth selalu berada dalam genggamannya.
"Aku hanya ingin berkenalan dengannya, kenapa tidak boleh?"
"Karena kamu adalah milikku, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Semenjak Elizabeth akan menjadi istrinya, Altezza benar-benar menjaga gadis itu. Berusaha agar tidak bersikap kasar atau mengabaikannya seperti dulu. Prinsip Altezza, apapun yang akan menjadi miliknya tidak akan dia lepaskan, akan dia jaga sebaik mungkin, meskipun Altezza dan Elizabeth menikah karena dipaksa. Altezza ingin membuat Elizabeth nyaman ketika berada di sisinya, tapi, sayangnya seseorang telah membuat Elizabeth-nya lecet, tentu saja Altezza tidak akan membiarkan orang itu menghirup udara dengan tenang.
"Bukankah dia harus dihukum, Bunny?"
Elizabeth kembali menyembunyikan wajahnya di dada bidang Altezza, takut menatap mata tajam Altezza.
"Y-ya ...," balas Elizabeth dengan lirih.
"Apa yang harus aku lakukan? Hukuman apa yang cocok untuknya?" tanya Altezza, tangannya mengelus rambut Elizabeth dengan lembut.
Perlakuannya membuat Elizabeth terbuai. Tidak munafik, Elizabeth merasa nyaman berada di pelukan Altezza. Dada bidang Altezza seolah seperti perisai yang dapat melindungi Elizabeth.
"Aku tidak tau, terserah kamu saja."
Kata-kata andalan para perempuan ya 'terserah'. Tapi, Elizabeth memang tidak tau hukuman apa yang pantas untuk Arhan. Pria itu benar-benar membuat Elizabeth kesal, perkataannya pun membekas dalam ingatan Elizabeth.
"Kamu yakin?" tanya Altezza.
Mereka melangkah ke luar saat pintu lift terbuka, tangan Altezza berada di pinggang Elizabeth, merangkulnya dengan mesra. Sedangkan Elizabeth memilih memperhatikan sekitarnya yang cukup ramai.
"Tentu. Aku tidak mau lagi berurusan dengannya," jawab Elizabeth. Dia masuk ke dalam mobil ketika Altezza membukakan pintu. Hah ... waktunya terbuang sia-sia hanya karena meladeni Arhan, sebentar lagi Elizabeth harus bertemu dengan keluarga Altezza tanpa istirahat lebih lama.
Altezza menyerahkan sebotol air mineral pada Elizabeth dan diterima oleh si gadis. Elizabeth meminum air tersebut hingga sisa setengah.
"Seharusnya aku datang lebih cepat," celetuk Altezza. Matanya melirik Elizabeth yang memejamkan mata, lalu kembali fokus mengemudi.
"Apa dia menamparmu? Memukul atau menendang? Bagian mana yang sakit? Apa lenganmu masih terasa nyeri?"
"Astaga, sejak kapan kamu jadi banyak bicara seperti ini?" cibir Elizabeth. "Aku tidak apa-apa. Sudahlah, jangan dipikirkan. Lebih baik percepat laju mobilnya, aku tidak memiliki waktu banyak. Bukankah kita harus bertemu dengan keluargamu?"
"Kalau begitu biar aku cari tau sendiri," putus Altezza.
Elizabeth berdeham sebagai jawaban, dia kembali menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sembari memejamkan mata. Pergelangan tangannya masih sakit, kalau terlalu banyak digerakkan, akan terasa nyeri yang begitu menyiksa. Tenaga Arhan memang tidak main-main, beruntungnya Elizabeth karena tidak menikah dengan pria seperti itu.
Tanpa berlama-lama lagi, Elizabeth segera bersiap, sedangkan Altezza menunggu di ruang tamu— mengobrol dengan Geisha. Pertemuan kali ini memang khusus Elizabeth seorang, mungkin nanti akan diadakan lagi makan malam untuk pertemuan dua keluarga.
Setelah selesai bersiap, mereka langsung berangkat dan Elizabeth tidak sempat sarapan. Jam sudah menunjukkan pukul 09:15, artinya Elizabeth tidak tepat waktu. Untungnya Altezza memaklumi, biarlah pria itu yang menjelaskan pada keluarga kenapa mereka bisa telat.
Altezza melirik Elizabeth yang berkali-kali menghela nafas berat, bibirnya tersenyum geli melihat pemandangan itu.
"Gugup?"
Elizabeth berdecak mendengar pertanyaan Altezza. "Pertanyaan konyol. Jelas saja aku gugup!" balasnya ngegas.
"Tidak usah gugup," ujar Altezza dengan santainya.
Elizabeth berdecak. "Terserah!" Dia melipat tangannya di dadda sambil memandang jalanan yang lumayan padat.
Hari ini keduanya tidak ke kantor karena Elizabeth akan bertemu dengan keluarga Altezza. Selain itu, Altezza juga tidak terlalu sibuk, jadi Baskara masih bisa meng-handle pekerjaan untuk sementara. Dan tentang pernikahan Altezza dan Elizabeth— karyawan kantor belum ada yang tau, kecuali Baskara tentunya. Nanti saja memberitahu karyawan kanto, saat pembagian undangan pernikahan.
Elizabeth memegang perutnya yang terasa mules. Kalau gugup, dia pasti akan merasakan hal itu. Apalagi saat mobil yang dia tumpangi memasuki gerbang mansion, wajah Elizabeth semakin pucat. Dia buru-buru memeriksa bibirnya, lip tint nya masih ada, oke aman.
"Ada apa?" tanya Altezza saat melihat Elizabeth menekan perutnya. Pria itu mematikan mesin mobil dan membuka sabuk pengaman.
"Tidak apa-apa," jawab Elizabeth.
"Sudah kubilang, jangan gugup. Kamu tidak perlu se-gugup itu hanya karena ingin bertemu keluargaku. Mereka tidak akan menginterogasi dirimu seperti polisi." Altezza melepaskan sabuk pengaman Elizabeth, karena gadis itu hanya diam. "Ayo." Dia keluar lebih dulu dan membukakan pintu mobil samping Elizabeth.
"Rileks," katanya saat Elizabeth menatapnya dengan takut.
"Tanganku dingin." Elizabeth menerima uluran tangan Altezza. "Aku takut ...," rengeknya sambil menghentikan langkah. Dia benar-benar gugup kali ini. Yang ia temui bukan hanya Asteria dan Ergino, tapi keluarga Altezza yang lain juga.
"Elizabeth," tegur Altezza. Tatapan matanya datar dan penuh peringatan.
Elizabeth menghela nafas pelan, berusaha untuk tenang. Apapun yang akan dia hadapi di dalam sana, tatapan Altezza lebih menakutkan. Setelah tenang, Elizabeth berdiri tegak dan berusaha tersenyum.
Altezza tersenyum tipis melihat tingkah calon istrinya, ia pun menggandeng tangan Elizabeth masuk ke dalam mansion. Semua orang berkumpul di ruang keluarga, di atas meja ada banyak hidangan, dan dua orang pelayan juga berjaga di depan pintu ruang keluarga, agar ketika sang tuan membutuhkan sesuatu, mereka tidak perlu berteriak memanggil.
Elizabeth tersenyum menyapa semua orang, dia melepaskan gandengannya dan menyalami para orang tua di sana. Ada tujuh orang, kakek, nenek, daddy, mommy, aunty dan uncle, serta Garuda. Keluarga Pamungkas memang tidak banyak, karena Holden dan Vievie hanya memiliki dua anak saja, Ergino dan Maxwell, uncle Altezza yang merupakan ayah Garuda.
Para wanita di sana tersenyum melihat kesopanan Elizabeth, dan Asteria merasa bangga karena calon menantunya begitu sopan.
"Bagaimana kabar kamu, Sayang?" tanya Asteria.
"Baik, Mom," jawab Elizabeth dengan senyum terbaiknya. Dia duduk di sofa yang sama dengan Altezza, hanya berdua.
"Syukurlah kalau begitu." Asteria tersenyum lega.
Tak hanya Asteria, Elizabeth pun ikut basa-basi. Dia berusaha mengakrabkan diri dengan keluarga Altezza. Nenek Vievie ternyata tidak galak, padahal Elizabeth sempat gugup karena terus ditatap olehnya. Hanya wajah Nenek Vievie saja yang terlihat jutek, aslinya benar-benar ramah seperti Asteria. Ada juga Mae, istri dari Maxwell yang merupakan ibu Garuda.
Nyatanya meskipun Elizabeth gugup, Altezza selalu mendukung dan berusaha menenangkan, dan keberadaan pria itu di samping Elizabeth, membuat Elizabeth merasa tenang, juga dia merasa tidak takut atau gugup lagi.
Meski awalnya Elizabeth dibuat kesal oleh Arhan, sekarang dia bisa melupakan kejadian itu karena Altezza. Hanya dengan tatapan saja, Elizabeth mampu dibuat tak berkutik. Aura seorang Altezza Pamungkas memang bukan kaleng-kaleng.
Setelah bertemu dengan keluarga Altezza dan makan siang bersama, Elizabeth diantar pulang oleh Altezza. Ah tidak, tidak pulang, Altezza mengajak Elizabeth jalan-jalan lebih dulu. Kapan lagi mereka bisa menghabiskan waktu berdua seperti ini? Selagi libur kerja, tidak ada salahnya bersenang-senang.
Siang-siang begini, Altezza mengajak Elizabeth ke sebuah tempat wisata. Sebuah danau yang di bagian pinggir nya ada gazebo berjajar. Udara di sana sangat sejuk, mereka juga boleh membawa makanan dari luar. Oleh sebab itu, Elizabeth membeli beberapa jajanan sebelum masuk ke sana. Tentu saja Altezza yang membawakan jajanan nya, sedangkan dia tersenyum lebar menghirup udara segar.
Elizabeth duduk terlebih dahulu, lalu disusul oleh Altezza. Nampaknya Altezza sedang bahagia sekarang, terbukti sedari tadi dia terus tersenyum tipis saat melihat gerak-gerik Elizabeth
"Kamu pernah makan ini?" Elizabeth menyodorkan kebab pada Altezza.
Altezza mengangguk. "Hm. Gaby pernah memberiku ini." Dia menerima kebab tersebut dan membuka kotaknya, lalu ia berikan pada Elizabeth kembali.
"Terima kasih," ucap Elizabeth dengan senyum malu, dia tidak menyangka jika Altezza akan membukakan bungkusnya, padahal niatnya dia memang memberikan pada Altezza bukan untuk minta tolong dibukakan bungkusnya.
"Kamu juga makan ini, aku membeli dua." Elizabeth mengeluarkan kebab satunya sambil mengunyah.
Bukannya menerima kebab yang diambilkan oleh Elizabeth, Altezza malah menunduk untuk menggigit kebab yang Elizabeth makan, satu kebab untuk berdua.
"Al!" Elizabeth memekik pelan, tangannya reflek mencubit perut Altezza, meski yang dia dapat malah perut yang keras.
"Ini bekas gigitanku! Makan yang ini!" kesal Elizabeth sembari mendorong kebab yang masih utuh ke arah Altezza.
Altezza menahan senyumnya. Melihat wajah kesal Elizabeth membuatnya senang. "Satu untuk berdua lebih enak," balasnya dengan wajah menyebalkan, hal itu membuat Elizabeth menggeram kesal.
"Jangan dekat-dekat, menjauh dariku!" Elizabeth menggeser tubuhnya hingga ke sudut gazebo. Namun bukannya menjauh, Altezza malah mendekatkan diri pada Elizabeth.
"Altezza!"
"Yes, Bunny?"
Elizabeth memukul pelan lengan Altezza. "Jauh-jauh!"
"Tidak mau."
Karena sudah malas meladeni, pada akhirnya Elizabeth memakan kebabnya dalam diam, tanpa menghiraukan Altezza yang terus menatapnya.
"Berhenti menatapku atau aku akan—"
Perkataan Elizabeth terhenti saat Altezza meletakkan sebuah kotak mungil berwarna hitam ke atas meja. Kunyahan Elizabeth terhenti, dia menatap kotak mungil itu dan Altezza secara bergantian.
"Apa itu?" tanyanya bingung.
"Bukalah." Altezza mengambil alih kebab di tangan Elizabeth dan memakannya dengan tenang, sedangkan Elizabeth mengabaikan Altezza dan fokus pada kotak tersebut.
Dan saat kotak terbuka, mata Elizabeth terbelalak, shock. Sebuah cincin berlian mengkilap indah di kotak hitam yang ada di tangannya. Indah sekali, sederhana tapi Elizabeth yakin itu adalah cincin mahal.
"Suka?" tanya Altezza.
Tanpa sadar kepala Elizabeth mengangguk. "Ini indah sekali." Dia memasang cincin itu ke jari manisnya. Bibir Elizabeth tersenyum melihat cincin tersebut terasa pas di jemarinya, sangat cocok.
Namun, sedetik kemudian senyum Elizabeth luntur, dia menatap Altezza dengan kening mengerut.
"Heuh? Apakah kamu sedang melamarku?"
Bersambung...