Karena mantan pacarnya, di mata Elizabeth semua pria itu sama saja. Bahkan setelah putus, dia tidak ingin menjalin hubungan asmara lagi. Namun, seorang pria berhasil membuatnya terpesona meski hanya satu kali bertemu.
"Aku tidak akan tertarik dengan pria tua seperti dia!"
Tapi, sepertinya dia akan menjilat ludahnya sendiri.
"Kenapa aku tidak boleh dekat-dekat dengannya? Bahkan tersenyum atau menatapnya saja tidak boleh!"
"Karena kamu adalah milik saya, Elizabeth."
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
"Makan yang banyak, Sayang."
Elizabeth mengangguk menanggapi ucapan Asteria. Siang ini dia makan di mansion orang tua bosnya, tentu saja untuk memenuhi permintaan Gaby.
"Setelah makan, aku ingin mengajak Kakak ke belakang rumah, akan aku tunjukkan padamu sesuatu yang ada di sana!" ujar Gaby.
"Baiklah," balas Eliza seadanya. Sepertinya meski tidak di kantor, dia tetap akan lelah hari ini.
Ergino dan Altezza tidak ada di mansion. Altezza tentu saja dia berada di kantor, sedangkan Ergino sedang ada perjalanan bisnis ke luar kota dan baru bisa pulang esok hari.
****
Esoknya, Elizabeth bekerja seperti biasa. Tadi malam dia menginap di rumah Sadipta, dengan alasan ingin menonton film bersama Katya. Geisha dan Austin belum pulang, katanya mereka baru pulang besok lusa. Eliza tak masalah selagi mereka membawakan oleh-oleh.
Karena Altezza tidak jadi ke LA, Elizabeth merasa tenang. Meski agak heran karena Altezza sering sekali berubah pikiran dengan cepat.
Karena semua pekerjaan sudah selesai, Eliza berniat pulang. Lagi pula sekarang sudah jam pulang kerja. Kakinya melangkah ke luar, dan tepat saat itu, Altezza juga keluar dari ruangannya. Mereka berdua tanpa sadar saling menatap.
"So— eh?" Sapaan Eliza terpotong karena Altezza berlalu begitu saja. "Kenapa dia?" gumamnya bingung. Eliza melanjutkan langkahnya sambil berpikir apa yang terjadi dengan bosnya itu.
"Oh iya!" Mengingat sesuatu, Eliza segera mengejar Altezza yang hendak masuk ke dalam lift.
"Pak, tunggu!!" serunya.
Altezza yang hendak memencet tombol lift pun mengurungkan niatnya, dia membiarkan Eliza masuk lebih dulu lalu memencet tombol menuju lantai dasar.
Matanya melirik Eliza yang sedang mengobrak-abrik tasnya.
"Ini flashdisk nya, Pak." Eliza menyerahkan benda mungil berwarna hitam dengan gantungan lucu pada Altezza. Flashdisk itu berisi file yang sudah Eliza kerjakan.
Altezza tanpa sadar mendengus. "Saya pikir kamu mau menyerahkan bekal," gumamnya setelah menerima flashdisk tersebut.
"Heuh?" Eliza menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bekal? Ini kan sudah sore, Pak."
Altezza mendengus ke sekian kalinya. Apakah Eliza mendadak pikun? Pagi tadi gadis itu tidak memberikan dia bekal seperti biasa. Altezza merasa aneh saat tidak menerima bekal dari sekretaris nya itu. Padahal dia sengaja tidak sarapan pagi hanya karena ingin memakan bekal dari Elizabeth.
"Astaga!" Eliza menepuk keningnya setelah sadar. Pantas saja Altezza menagih bekal! Dia baru ingat kalau hari ini lupa membawakan bekal untuk Altezza.
"Maaf, Pak. Saya lupa!" Eliza meringis. "Besok saya bawa bekal double untuk Pak Al. Tadi pagi saya makan di rumah kakak saya, jadi tidak sempat membawa bekal dari rumah," jelas Eliza agar Altezza mengerti.
Altezza hanya diam. Dia sudah kepalang kesal karena tidak diberi jatah bekal hari ini. Melihat Altezza yang tetap diam, Eliza semakin merasa bersalah. Ia menarik ujung jas Altezza hingga membuat pria itu menunduk untuk menatapnya.
"Maaf, Pak ...," ucapnya dengan bibir melengkung ke bawah.
"Sebagai gantinya, bagaimana kalau saya memasak makan malam untuk Bapak?" lanjut Eliza menawar.
Tepat saat itu, pintu lift terbuka. Altezza melangkah lebih dulu, dan Eliza buru-buru mengikutinya di belakang dengan langkah sedikit tergesa.
"Pak! Jawab dulu tawaran saya!" seru Eliza.
Altezza berdiri di samping mobilnya, matanya menatap datar Eliza yang terlihat ngos-ngosan.
"Saya akan datang ke rumah kamu jam tujuh malam," ujarnya, setelah itu dia masuk ke dalam mobil, meninggalkan Eliza yang mengembangkan senyum lebar.
"Siap! Sampai nanti, Bos!" seru Elizabeth seraya melambaikan tangannya ke arah mobil Altezza yang sudah melaju.
Baiklah, sekarang Eliza sedang bingung memikirkan menu apa yang akan dia buat untuk makan malam Altezza.
****
"Tempe goreng, ayam bakar, telur balado, dan tumis buncis dan udang! Oke, sudah siap!"
Eliza menghela nafas lelah, tapi bibirnya tersenyum puas, dia puas dengan masakannya. Tentu saja semuanya dia sendiri yang memasak, para pembantu hanya bertugas mencuci peralatan yang kotor saja. Khusus telur balado, Eliza meminta resep dari bibi pelayan.
"Bibi, tolong buatkan kopi satu cangkir, lalu letakkan di sini, ya," pinta Eliza pada pelayan.
"Baik, Nona."
Setelah memastikan semuanya siap, Eliza segera membersihkan diri, jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sesampainya di rumah tadi, Eliza langsung pergi ke dapur tanpa berganti pakaian atau istirahat.
Di sisi lain, Altezza menuruni tangga dengan langkah santai.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Asteria yang pertama melihat Altezza.
"Ke luar," jawab pria itu, dia mencium kening ibunya sebelum menggandeng tangan Asteria menuju ruang keluarga yang sudah ada Gaby di sana.
"Mau ke mana, Kak? Ikut!" seru Gaby saat melihat kakaknya sudah rapi, kaos hitam polos dengan celana kain panjang berwarna hitam, tak lupa jam tangan mahalnya melingkar apik di pergelangan.
"Sudah malam, Gaby. Biarkan kakakmu pergi sendiri," sahut Asteria.
Gaby cemberut, jika mommy sudah bicara, Gaby tidak bisa membantah lagi.
"Kalau begitu aku berangkat sekarang. Kalian langsung makan malam saja, tidak usah menungguku pulang," ujar Altezza.
"Hati-hati di jalan," kata Asteria.
Altezza mengangguk, ia pun segera keluar menuju mobilnya yang sudah terparkir di halaman rumah. Malam ini tidak terlalu dingin, jadi meski hanya memakai kaos lengan pendek, Altezza tidak merasa kedinginan.
Lima belas menit dalam perjalanan, Altezza sudah sampai di rumah Elizabeth. Dia mengangguk pelan untuk menyapa satpam yang membuka pintu gerbang. Di teras ada Eliza yang menunggu dengan senyum lebar, kakinya juga terlihat beberapa kali menghentak kecil, seperti bocah yang menyambut kedatangan ayahnya, tanpa sadar Altezza tersenyum melihat pemandangan itu.
"Selamat malam, Pak!" sapa Eliza saat Altezza mendekat.
"Malam."
"Ayo, kita masuk!"
Mereka berdua berjalan beriringan menuju meja makan.
Eliza meringis melihat meja makan yang terdapat makanan sederhana buatannya. Apakah Altezza akan menyukainya? Mengingat pria itu berasal dari kalangan atas, membuat Eliza agak ragu.
"Saya hanya bisa memasak ini, semoga Bapak suka, ya," ucapnya. "Tapi, meskipun hanya masakan sederhana, ini tidak beracun!" lanjutnya cepat.
Altezza mengangguk pelan. Perutnya berbunyi meski hanya melihat hidangan di atas meja. Untung saja tidak terlalu keras bunyinya.
Tiba-tiba Altezza meletakkan sebuah paper bag ke atas meja. "Untuk kamu," ujar Altezza.
Mata Eliza seketika berbinar. "Wahh ... apa itu?! Seharusnya Pak Al tidak perlu repot-repot membawakan sesuatu. Saya jadi tidak enak." Ia meringis.
"Saya bukan bapak kamu, Elizabeth," ujar Altezza tak nyambung.
"Ha? Kan Bapak atasan saya," balas Eliza.
"Di luar kantor, jangan panggil saya seperti itu." Altezza menyeruput kopinya, meski Eliza belum menyuruh.
"Lalu?" Eliza semakin bingung. Bahkan tanpa sadar dia menggaruk kepalanya.
"Panggil nama saya, Elizabeth." Altezza meletakkan cangkir nya dengan pelan, tatapan matanya tertuju pada Eliza.
"Do it," lanjutnya berbisik.
Eliza menelan kasar ludahnya, tatapan Altezza benar-benar membuatnya merinding, dia merasa diintimidasi meski hanya lewat tatapan.
"A–Altezza?" Suara Eliza terdengar pelan. Tapi, Altezza merasa suara Eliza begitu lembut mendayu-dayu dan tanpa sadar dia tersenyum tipis, merasa puas karena Eliza melakukan yang dia minta.
"Bagus. Di luar jam kerja, kamu tidak perlu bersikap formal," kata Altezza.
"Oke, Altezza. Bisakah kita makan sekarang?" tanya Eliza berusaha untuk tidak canggung.
Altezza mengangguk dan membiarkan Elizabeth mengambilkan makanan untuknya. Matanya terus menatap ke arah Eliza, tatapan mata yang tajam namun terlihat tulus.
Bersambung...