NovelToon NovelToon
Gadis Yang Kalian Singkirkan

Gadis Yang Kalian Singkirkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Mengubah Takdir / Cewek Gendut
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: nita kinanti

Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.

Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Canggung

Pandu duduk di balkon kamarnya. Tatapannya kosong menerawang jauh ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak ada ujungnya.

Permohonan Arin untuk tinggal di rumahnya tidak bisa dia abaikan begitu saja. Pandu tidak tega melihat mata gadis itu berkaca-kaca.

Terlepas dari apa yang sudah dia lakukan, Pandu sebenarnya sangat menyayangi Arin. Hanya saja, kerakusannya akan materi mengalahkan segalanya.

Ketika Pandu tengah larut dalam lamunannya, Fatma muncul. Perempuan itu telah mengganti pakaiannya dengan baju tidur berbahan sutra. Riasan menor yang selalu menempel di wajahnya pun juga sudah dihapus, memperlihatkan wajah aslinya yang pucat dan terlihat keriput meski sudah rutin melakukan perawatan mahal.

"Anak itu semakin hari semakin tidak tahu diri! Sama sekali tidak punya sopan santun, apalagi menghormati orang yang lebih tua," keluh Fatma, menghempaskan tubuhnya di kursi di sebelah Pandu. Wajahnya masih saja terlihat masam meski Arin sudah meninggalkan rumah itu hampir tiga jam yang lalu.

"Papa terlalu lunak sama anak itu makanya dia jadi terlalu berani. Lain kali bersikaplah lebih tegas. Mama malu sama Gama. Untung dia tadi cuma sendirian. Bagaimana kalau tadi Gama datang bersama calon besan? Mau ditaruh mana muka mama?!"

"Seharusnya mama tadi bisa mengendalikan emosi mama," kata Pandu tanpa menoleh ke arah istrinya. Ada hal yang lebih berat yang memenuhi pikirannya dibandingkan keluhan Fatma tentang Arin yang tidak pernah ada habisnya.

"Tapi anak itu sudah keterlaluan, Pa!"

"Justru mama yang keterlaluan. Dia tadi hanya bertanya, seharusnya mama tidak perlu berlebihan menanggapinya," balas Pandu malas-malasan, enggan meladeni istrinya.

"Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiranmu! Memang dia keponakanmu, tetapi aku istrimu! Kalau mau membela, seharusnya kamu membela istrimu, bukan keponakanmu!" gusar Fatma dengan nada mulai meninggi diikuti tatapan berapi-api. Semakin Pandu membela Arin, semakin Fatma benci gadis itu.

Menurut Fatma, seharusnya hubungan Pandu dan Arin putus begitu orang tua Arin meninggal. Tetapi Pandu seperti tidak bisa terlepas dari gadis itu.

"Aku hanya khawatir reaksi mama yang seperti tadi akan menimbulkan kecurigaan." Pandu akhirnya menoleh menatap Fatma dan menanggapi istrinya itu dengan lebih serius agar kemarahannya tidak semakin menjadi-jadi.

"Mama marah karena dia membahas masalah itu di meja makan. Mana kita tahu urusan pembantu?!" Fatma masih bersungut-sungut. "Lagipula, apa yang mau dicurigai? Mama tidak melakukan apa-apa! Mama memang mendorong Darsih, tapi cuma pelan, papa juga lihat sendiri waktu itu! Tiba-tiba saja dia pingsan!"

"Kalau mama dorong dia sampai kepalanya membentur sesuatu terus berdarah, baru itu salah mama! Ini kan, tidak?! Dia mati karena penyakitnya sendiri, bukan karena mama!"

Pandu diam. Dia tahu betul tidak ada gunanya mendebat istrinya.

"Lagi pula, papa pasti sudah mengurus semuanya. Iya, kan?"

"Semua sudah beres, mama tenang saja," jawab Pandu tidak mau memperpanjang masalah. Fatma pun terlihat lega.

Kemudian keduanya sama-sama diam, hingga akhirnya Pandu kembali membuka suara. "Ma, bagaimana kalau kita ijinkan Arin tinggal di sini?"

Amarah yang tadinya sudah meredam pun kembali menyala. "Apa papa sudah gila?!" tanya Fatma.

* * *

Arin sedikit terkejut melihat seorang laki-laki bersandar di dinding pagar tembok, di sudut gang menuju rumahnya.

Penampilan laki-laki itu masih sama seperti tadi pagi ketika mereka bertemu, hanya saja rambutnya sedikit berantakan.

Arin mengabaikan laki-laki itu dan terus berjalan melewatinya.

Laki-laki itu tidak bersuara. Dia mengekor di belakang Arin hingga sampai di depan rumah.

"Aku tidak ingin melihatmu lagi! Pergilah!" ucap Arin sambil membuka kunci pintu.

"Bisa kita bicara?"

"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" jawab Arin tanpa mau menoleh. Tangannya tidak berhenti memutar-mutar kunci yang entah kenapa tiba-tiba rusak padahal biasanya baik-baik saja.

"Aku datang sebagai pengacaramu. Jadi, sudah pasti ada yang harus kita bicarakan." Ken mendekat lalu meraih kunci dari tangan Arin.

"Aku sudah katakan aku akan mencari pengacara lain!" ucapnya sambil bergeser pelan.

Arin tidak ingin Ken mendengar detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. Ken sangatlah tampan dan berkharisma. Hal itu pula lah yang dulu membuat jantung Arin selalu berdebar jika laki-laki itu di dekatnya.

Ken memasukkan kembali kunci itu ke lubang kunci dan dalam sekali putar pintu langsung terbuka.

Arin tidak punya pilihan. Dia pun mempersilahkan Ken masuk.

"Apa yang ingin dibicarakan?" tanya Arin langsung pada intinya.

Ken mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. "Aku sudah mencari tahu tentang rumahmu. Sertifikat rumah itu masih resmi atas nama ayahmu. Tidak ada catatan di pengadilan jika rumah itu berubah kepemilikan," tuturnya memberikan kertas itu pada Arin.

Arin membaca satu persatu bukti yang diberikan Ken kepadanya. "Berarti masih ada harapan rumah itu bisa kembali menjadi milikku?" tanyanya.

"Tentu saja," jawab Ken diam-diam memperhatikan Arin yang sedang fokus membaca.

Rasa bersalah itu terus saja menghantuinya meski dia sudah meminta maaf. Seandainya dulu dia tahu kisah hidup Arin, tentu dia akan berpikir ribuan kali untuk mempermalukan Arin malam itu.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Tidak ada," jawab Ken singkat. "Kamu tidak perlu melakukan apa-apa, Rin. Aku akan melakukan semuanya untukmu," lanjutnya dalam hati.

Arin kembali diam. Ken juga diam. Suasana terasa sangat canggung.

Arin memutuskan pergi ke dapur untuk membuatkan teh, meski tidak ikhlas. Anggap saja ini adalah caranya berterima kasih atas usaha Ken. Bagaimanapun juga berita yang Ken bawa sangat berarti bagi Arin.

"Dari mana kamu tahu aku masih tinggal di sini?" tanya Arin meletakkan teh di atas meja. Raut wajahnya dingin belum sepenuhnya menerima kehadiran Ken di rumahnya.

Arin tahu Ken mengetahui alamat rumahnya. Laki-laki itu pernah mengantar Arin pulang.

Waktu itu Arin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sampai malam. Tidak ada angkutan umum yang lewat untuk membawanya pulang. Ken merasa kasihan lalu menawarkan diri untuk mengantar Arin.

"Dari papa," jawab Ken asal, lalu menyeruput teh yang disajikan Arin. "Teh buatanmu enak," pujinya.

"Dimana-mana teh rasanya sama saja," jawab Arin dingin, tanpa mau menatap Ken. "Kalau sudah tidak ada yang ingin dibicarakan sebaiknya kamu pulang!" Arin berjalan ke arah pintu lalu berdiri di sana.

"Baiklah, aku akan pulang." Ken tahu Arin masih membencinya. Dia tidak menyalahkan Arin jika sikapnya sedingin itu karena Ken sadar betul dengan kesalahannya.

"Berkas-berkas itu aku tinggal, siapa tahu kamu ingin membacanya lagi nanti," ucapnya menunjuk beberapa lembar berkas yang dia letakkan di atas meja.

Arin menatap berkas-berkas itu, mengabaikan Ken yang berdiri di hadapannya.

"Apa kamu akan tetap tinggal di sini?" tanya laki-laki itu.

"Memangnya mau dimana lagi?" balas Arin tidak mengerti.

1
Makhfuz Zaelanì
ini lanjut ga sih thor🤔
Randa kencana
Ceritanya Sangat menarik
Soraya
heran knp bukan pandu yang merawat Arin pdhl dia pamannya Arin kok malah mbok Darsih yang merawat Arin
Soraya
good Airin
Soraya
penasaran lanjut thor
Soraya
mampir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!